Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan Di Kafe
Kafe kecil di pinggiran kota itu terasa sunyi, aromanya kuat dengan pahitnya kopi dan manisnya croissant. Mulia duduk di sudut, menanti. Ia tahu pertemuan ini akan sulit. Di seberangnya, Satria muncul, wajahnya tampak lelah, mata hitamnya dilingkari bayangan kurang tidur. Ia mengenakan kemeja kasual, jauh dari kesan pria itu yang seharusnya.
"Terima kasih sudah mau datang, Mulia," ujar Satria, suaranya pelan.
"Tidak masalah, Satria. Aku senang melihatmu baik-baik saja," balas Mulia, nadanya formal namun lembut. Ia baru saja melewati badai yang melibatkan keluarga pria di hadapannya.
Setelah pesanan kopi datang, keheningan panjang merayap di antara mereka, tebal dan sarat dengan perasaan tak terungkap.
Satria meletakkan cangkirnya, pandangannya terkunci pada Mulia. "Aku minta maaf soal Dinda. Soal Mama. Soal semuanya. Kami pantas menerima ini."
"Aku sudah memaafkan Tante Soraya dan Dinda," kata Mulia. "Mereka korban. Sama sepertiku."
"Bukan itu yang ingin aku bicarakan," Satria menarik napas dalam-dalam, matanya tampak gelisah. "Aku ingin bicara jujur, Mulia. Jujur yang seharusnya kulakukan sejak awal."
Mulia menduga ke mana arah pembicaraan ini, dan ia merasakan jantungnya berdebar.
"Aku... aku tahu kamu akan menikah dengan Ikhsan. Tapi aku harus mengatakan ini," Satria berbisik, suaranya gemetar. "Sejak lama, sejak kita masih berteman, aku juga menyukaimu, Mulia."
Mulia terkejut, meskipun ia sudah menduganya. Rasa suka Satria selalu terasa seperti listrik tak terlihat di antara mereka. "Satria..."
"Biarkan aku selesai. Aku pengecut. Aku terlalu takut menghadapi Mama. Aku terlalu takut kehilangan kenyamanan dan posisiku di Menggara Group. Aku selalu tahu kamu wanita yang kuat dan tulus, dan aku selalu membandingkanmu dengan Dinda," Satria mengaku, menundukkan kepalanya.
"Tapi saat ibumu meninggal, saat kamu pindah, dan saat Ikhsan datang, aku tersadar. Aku cemburu, Mulia. Aku cemburu setengah mati. Aku melihat Ikhsan melakukan semua yang tidak pernah berani kulakukan."
Satria mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi harapan yang menyakitkan. "Jujur, Mulia, ketika teror itu terjadi di pernikahanmu... saat itu, ada sebagian kecil diriku yang berharap pernikahanmu dengan Ikhsan gagal total."
Pengakuan itu menghantam Mulia seperti tamparan. Mulia menatap Satria, tidak marah, tetapi sedih.
"Aku berharap, jika pernikahan itu gagal, kamu akan kembali padaku. Aku akan berani melindungimu. Aku akan berani melawan Mama. Aku tahu ini egois, tapi itu kebenaran yang aku simpan selama ini. Dan sekarang, setelah semua kekacauan ini, setelah Dinda sakit, dan Tante Hanim di penjara... aku bebas. Aku bisa bersamamu, Mulia."
****
Air mata Mulia tidak menetes, tetapi matanya berkaca-kaca karena kepedihan yang terasa nyata. Ia merasakan ketulusan di mata Satria, tetapi pengakuan ini datang terlambat—terlambat setelah begitu banyak darah, air mata, dan kebohongan.
"Satria, aku menghargai kejujuranmu. Aku tahu ini sulit bagimu," Mulia berbicara dengan suara pelan dan mantap. "Aku melihat kamu adalah pria yang baik. Tapi aku tidak bisa."
"Kenapa, Mulia? Karena kamu mencintai Ikhsan?" tanya Satria, suaranya sedikit putus asa.
Mulia menatap cincin di jarinya, cincin yang diberikan Ikhsan, bukan sebagai hadiah cinta, melainkan sebagai janji perlindungan.
"Aku tidak bisa membatalkan pernikahanku dengan Ikhsan," jawab Mulia. "Bukan hanya karena dia melindungiku, bukan hanya karena dia mempertaruhkan nyawanya untukku. Tapi karena wasiat mendiang ibuku."
Satria terkejut. "Wasiat?"
"Ya. Sebelum Ibu meninggal, dia memintaku berjanji. Dia memintaku menikah dengan Ikhsan. Ibu tahu bahaya apa yang mengintaiku, mengintai kami semua. Ibu tahu aku tidak punya siapa-siapa lagi, dan dia melihat ketulusan pada Ikhsan, bahkan saat kami masih asing," jelas Mulia.
Mulia menarik napas dalam-dalam. "Ibu ingin aku aman, Satria. Ibu ingin aku memiliki keluarga yang bisa melindungiku dari kejahatan. Ikhsan, dan keluarganya, adalah satu-satunya yang tersisa yang mampu melakukan itu."
"Jadi, ini hanya perjanjian? Hanya perlindungan?" Satria mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya penuh pertanyaan. "Lalu, apakah kamu... apakah kamu mencintai Ikhsan?"
Mulia menatap Satria, matanya dipenuhi kejujuran yang pahit. "Saat ini, aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku mencintainya dengan gairah yang sama seperti kamu mencintaiku."
Ia melanjutkan, kata-katanya penuh tekad. "Tetapi, aku akan mencoba mencintai Ikhsan setelah aku menikah dengannya."
****
Pengakuan itu—bahwa ia akan mencoba mencintai Ikhsan—membuat Satria terpukul, namun juga bingung.
"Mencoba? Kenapa kamu mengatakan itu dengan begitu yakin, Mulia? Kenapa kamu memilih menikah dengan seseorang yang belum kamu cintai, padahal kamu tahu aku mencintaimu di sini?" tanya Satria, suaranya meninggi. "Kenapa kamu mau memaksakan dirimu?"
Mulia meletakkan tangannya di atas tangan Satria, menahannya agar tetap tenang.
"Karena cinta sejati, Satria, adalah tentang pilihan dan komitmen," jawab Mulia. "Cinta itu tidak hanya datang dari rasa yang meledak-ledak. Cinta itu muncul dari melihat seseorang mempertaruhkan segalanya untukmu. Ikhsan telah melakukannya."
"Aku mungkin belum mencintai Ikhsan dengan hati, tapi aku menghormati Ikhsan dengan seluruh jiwaku. Aku berutang padanya, dan aku terikat padanya oleh janji, oleh wasiat, dan oleh darah yang ia tumpahkan untukku," kata Mulia, suaranya tegas. "Dan aku tahu, aku bisa membangun cinta dari penghormatan dan rasa terima kasih yang sedalam ini. Itu adalah jenis cinta yang tidak akan mudah dihancurkan oleh kebencian siapapun."
Mulia menarik tangannya. "Kamu butuh waktu untuk sembuh, Satria. Dinda juga butuh kamu. Keluarga kalian hancur. Fokuslah untuk membangun kembali. Jangan libatkan dirimu dalam pertarungan yang sudah selesai ini."
Mulia bangkit dari kursinya. Ia menatap Satria untuk terakhir kalinya, matanya penuh harapan untuk masa depan Satria yang lebih baik.
"Aku harus pergi. Ikhsan menungguku," Mulia berbisik, memutus sisa-sisa harapan yang mungkin tersisa di mata Satria.
Satria hanya bisa menatap punggung Mulia yang menjauh, membawa serta wasiat pahit dan janji untuk mencintai seorang pria yang telah membuktikan cintanya, sebuah janji yang kini terasa lebih kuat daripada perasaan murni apapun. Satria tahu, ia telah kalah sepenuhnya. Bukan karena Ikhsan lebih baik, melainkan karena ia terlalu lambat dan terlalu takut untuk berjuang demi wanita yang ia cintai.
****
Di kamar isolasi Rumah Sakit Jiwa Cendana, suasana kembali mencekam. Meskipun telah diberi penenang, efek obat pada Bu Hanim tampaknya mulai memudar, digantikan oleh gelombang amarah dan keputusasaan yang lebih kuat. Ia terus meracau tentang pengkhianatan suaminya, kehancuran Dinda, dan yang paling utama, kemenangan Mulia.
Dokter Surya bersama dua perawat masuk untuk melakukan pemeriksaan rutin. Dokter Surya berdiri di tengah ruangan, mencoba berbicara dengan nada tenang dan meyakinkan.
"Bu Hanim, saya di sini untuk membantu Anda. Mari kita bicara tentang perasaan Anda," ujar Dokter Surya.
Bu Hanim yang tadinya duduk meringkuk, mendongak. Matanya yang merah dan cekung menatap Dokter Surya dengan kebencian luar biasa. Di benaknya, dokter itu adalah perwakilan dari sistem yang mengurungnya, sama seperti Mulia yang ia yakini sebagai dalang di balik semua penderitaannya.
"Membantu? Kalian semua adalah alat iblis itu!" teriak Bu Hanim. "Kalian mengurungku! Kalian bilang aku gila hanya karena aku ingin membalas dendam pada wanita sialan itu!"
"Anda perlu menerima pengobatan, Bu Hanim. Kebencian ini merusak Anda," balas Dokter Surya, menjaga jarak aman.
"Kebencianku adalah satu-satunya yang tersisa! Kebencianku adalah kebenaran!"
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Bu Hanim melompat dari kursi. Ia bergerak dengan kecepatan dan kekuatan brutal yang didorong oleh kegilaan. Ia menerjang ke arah Dokter Surya, meneriakkan sumpah serapah.
"Mati! Kamu dan semua yang melindungi Mulia harus mati!"