sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 11
Ibu Mega merasakan dongkol dalam hatinya kemudian menelpon Arga.
“Arga, di mana kamu rawat Melati?” tanyanya. Rasa kesal masih ada dalam dada, harus dilampiaskan, dan orang yang paling tepat tentu saja Melati.
“Rumah Sakit Hermina, Bu,” jawab Arga singkat.
“Keren sekali kamu bawa istri bodoh kamu itu ke rumah sakit elit.”
“Rujukannya memang ke situ, Bu. Kalau berobat di tempat lain aku harus bayar.”
“Di kamar apa?” tanya Ibu Mega lagi.
“Kamar Tulip No. 1.”
Sambungan telepon diputus sepihak oleh Ibu Mega. Ia bangkit dari kasur, mengganti baju, dan akan ke rumah sakit. Bukan untuk menjenguk, tapi untuk melabrak.
Dengan lincah tangan Ibu Mega memesan taksi online.
Tak butuh waktu lama, sebuah mobil Xenia warna putih sudah datang.
“Sesuai aplikasi?” tanya driver.
“Tentu saja,” ketus Ibu Mega.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
Sesampainya di rumah sakit, Ibu Mega langsung menanyakan ruangan Melati.
Perawat mengantar Ibu Mega.
“Biasanya kelas 3 ada di bawah, kenapa aku dibawa ke lantai 4?” gumam Ibu Mega saat ia berada di dalam lift bersama perawat.
Lift terbuka, Ibu Mega menuju sebuah ruangan.
“Ini kelas 3 kok bagus banget,” tanya Ibu Mega.
“Ini kelas VIP, Bu,” jawab perawat sopan. Senyumnya sangat menawan, harusnya Ibu Mega senang diperlakukan sopan seperti itu, tapi hatinya dongkol mendengarnya kalau Melati di kamar VIP.
Ibu Mega masuk ke kamar Melati, tampak Melati sedang tertidur.
“Melati, enak banget ya kamu tiduran di sini, sedangkan aku kelelahan di rumah!” suara Ibu Mega langsung meninggi bagaikan guntur di siang hari.
Perawat terperanjat.
“Ibu tidak boleh membuat keributan, pasien sedang istirahat,” ucap perawat. Raut mukanya sekarang jadi masam.
“Dia menantuku, terserah aku dong,” jawab sombong Ibu Mega.
Melati mengerjapkan matanya, menoleh ke Ibu Mega. Tadi Melati mimpi dicekik Mak Lampir, ternyata ibu mertuanya yang berteriak.
“Ada apa, Bu?” lirih Melati masih terbaring di kasur.
“Pindahkan menantu saya ke kelas 3!” perintah Ibu Mega.
“Tidak bisa, ini sudah prosedur. Pasien kelas VIP sesuai asuransi. Nanti kami dikomplain pihak asuransi kalau memindahkan ke kelas 3.”
“Alah, alasan! Tinggal dipindahkan saja apa repotnya, yang penting kan asuransi nggak tahu,” Ibu Mega mengajarkan bohong pada perawat.
“Bisa saja, tapi pasien jadi kelas umum, dan bayar seperti biasa,” jawab perawat.
“Peraturan macam apa itu? Harusnya kan rumah sakit untung pasien dirawat VIP, jadinya di kelas 3.”
“Maaf, kami mengutamakan integritas,” jawab perawat.
“Menyebalkan sekali rumah sakit ini, nanti aku viralkan juga.”
“Ya, silakan saja. Kami akan senang kalau viral karena melakukan prosedur dengan benar,” jawab enteng perawat.
“Kamu itu menyebalkan sekali!” bentak Ibu Mega ke perawat. “Pergilah!” usir Ibu Mega.
“Tidak bisa, perilaku Ibu buruk, saya takut Ibu membahayakan pasien,” jawab perawat.
Ibu Mega mengepalkan tangannya, ingin sekali ia menjambak jilbab perawat itu.
“Melati, aku nggak mau tahu! Kamu harus segera pulang, jangan nyusahin Arga terus!” ucap Ibu Mega marah.
“Baik, Bu,” lirih Melati. Ingin sekali Melati menangis, siapa sih yang mau sakit. Walau di kamar VIP, tetap saja yang namanya sakit itu ya tidak enak.
“Awas kamu kalau tidak pulang!” geram Ibu Mega.
Membalikkan badan, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Melati. Perawat mengekor dari belakang.
Ibu Mega tidak fokus berjalan.
“Ibu, arah sana ke arah kamar jenazah,” ucap perawat.
Bulu kuduk Ibu Mega berdiri.
“Kenapa nggak bilang?” kesal Ibu Mega.
“Kenapa nggak nanya?” jawab perawat.
“Kamu itu menjawab saja!”
“Ibu nanya ya saya jawab,” perawat masih tersenyum, entah geli, entah kesal, entahlah.
Di ruangan Melati dirawat, Rini datang menghampiri Melati.
“Itu ibu mertua kamu?” tanya Rini. Dua hari dirawat membuat Rini dan Melati jadi akrab.
“Iya,” jawab Melati singkat.
“Kejam sekali ibu mertua kamu.”
“Sebenarnya dia baik,” jawab Melati, tidak mau menggibah ibu mertuanya.
“Kamu baik sekali, Melati. Padahal aku lihat dengan kepalaku sendiri kalau ibu mertua kamu itu kejam.”
Melati hanya tersenyum. Mau menyangkal pun tidak ada gunanya, penglihatan kadang lebih kuat dari apa yang dibicarakan.
“Yang kuat ya,” ucap Rini.
“Insyaallah,” jawab Melati.
Rini menggenggam tangan Melati.
“Kalau ada apa-apa hubungi aku ya,” ucap Rini. Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Melati. Ia harus berkeliling untuk memeriksa pasien.
Setelah Rini pergi, Melati termenung memikirkan rumah tangganya.
“Tak sepenuhnya aku hidup sendiri, masih banyak orang baik padaku.” Melati meremas seprai, mulai terpikir untuk berniat cerai dengan Arga. Tapi setahu dia cerai itu dibenci Tuhan, jadi ia urungkan niat cerai, kecuali kalau Arga memang berkhianat. Barulah Melati cerai, ya walau dibenci Tuhan, tapi Tuhan juga tidak suka kedzaliman, dan berkhianat itu dzalim, kan?
,,
Ibu Mega sampai di rumah, sebungkus nasi Padang sudah ia beli tadi.
Masuk ke rumah, melihat piring kotor berserakan di meja makan membuat Ibu Mega dongkol setengah mati.
“Tika!” pekik Ibu Mega.
Kartika keluar dari kamar dengan masih menggunakan masker seperti pocong.
“Kalau habis makan itu cuci piringnya, kenapa dibiarkan begitu saja?”
“Astaga, Bu, cuma piring kotor saja sudah ribut. Tinggal Ibu cuci saja, apa susahnya?” Kartika tak kalah sengit karena maskernya jadi retak-retak.
“Kurang ajar kamu!” bentak Ibu Mega dan membanting piring hingga pecah berserakan.
Lalu pergi ke kamarnya sambil membawa nasi bungkus.
“Brak!” terdengar pintu kamar dibanting.
“Ih, dasar Mak Lampir,” gumam Kartika masuk ke kamar. Tak ada niat sedikit pun membersihkan pecahan piring yang berserakan.
Ibu Mega membuka nasi bungkus, mukanya merah, matanya melotot. Ingin marah tapi pada siapa?
Ia makan nasi Padang, hanya lima kali suapan sudah habis. Ya, begitulah kalau orang sedang marah, makan bersama setan.
Ibu Mega keluar, hatinya semakin dongkol. Serpihan pecahan piring masih berserakan.
Ibu Mega berjalan ke dapur mengambil sapu dan serok, lalu membersihkan serpihan piring.
Dengan telaten ia membersihkan serpihan kaca itu, dilanjutkan dengan mencuci piring yang sudah menggunung.
“Prang… preng… prong…” suara cuci piring sudah seperti arena dentuman kemarahan, sedangkan Kartika hanya mendecih kesal.
Waktu menunjukkan jam 5 sore. Ibu Mega menonton TV, sedangkan Kartika tak keluar kamar. Kalau keluar pasti terjadi perang.
Sebuah ketukan pintu terdengar, Ibu Mega membuka pintu.
“Risma,” ucap Ibu Mega.
“Ya, Bu…” ucap Risma masuk dengan membawa beberapa paper bag yang berisi makanan mahal.
“Ini siapa, Risma?” tanya Ibu Mega melihat sosok perempuan dengan hijab modis, cantik, dan berkelas.
“Mmm… masa Ibu lupa… ini Mawar loh, Bu,” ucap Risma.
“Oh, mantan pacar Arga ya… mmm, sayang sekali kamu malah menikah dengan orang lain,” ucap Ibu Mega memegang pundak Mawar.
“Dia janda sekarang, Bu,” Risma yang menjawab. Lalu mereka duduk di ruang tamu.
“Mawar sekarang kerja apa, Nak?” tanya Ibu Mega sopan.
“Saya dosen, Bu,” jawab Mawar sopan.
“Mmm… mantap sekali. Jadi kamu lanjut kuliah setelah menikah?” tanya Ibu Mega.
“Ya, Bu. Aku sekarang malah lagi daftar di doktoral, Bu.”
“Hebat sekali kamu, Nak.”
“Bu… Mawar masih mencintai Arga… tolong restui Mawar, Bu,” ucap Risma.