Seorang gadis remaja yang kini duduk di bangku menengah atas. Ia bernama Rona Rosalie putri bungsu dari Aris Ronaldy seorang presdir di sebuah perusahaan ternama. Rona memiliki seorang kakak lelaki yang kini sedang mengenyam pendidikan S1 nya di Singapore. Dia adalah anak piatu, ibunya bernama Rosalie telah meninggal saat melahirkan dirinya.
Rona terkenal karena kecantikan dan kepintarannya, namun ia juga gadis yang nakal. Karena kenakalan nya, sang ayah sering mendapatkan surat peringatan dari sekolah sang putri. Kenakalan Rona, dikarenakan ia sering merasa kesepian dan kurang figur seorang ibu, hanya ada neneknya yang selalu menemaninya.
Rona hanya memiliki tiga orang teman, dan satu sahabat lelaki somplak bernama Samudra, dan biasa di panggil Sam. Mereka berdua sering bertengkar, namun mudah untuk akur kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosseroo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rona meminta Jeda
Di kelas, esok harinya
Rona duduk di bangkunya, tersenyum kecil saat Mely, Cika, dan Rita bercanda. Tapi senyum itu tipis, lebih mirip topeng. Begitu teman-temannya sibuk, ia melirik layar ponsel, foto-foto Erina masih menempel jelas di pikirannya. Ia cepat-cepat mengunci layar, menarik napas panjang.
Saat bel istirahat, Samudra sempat menunggu di depan kelas. Tapi ketika Rona keluar, ia pura-pura sibuk membuka buku, berjalan melewati Samudra tanpa menyapa. Tatapan matanya datar, seakan Samudra hanyalah orang asing.
Samudra hanya bisa menoleh pelan, menelan keras-keras rasa sakitnya.
Samudra berbisik “Berapa lama lagi aku harus lihat kamu begini, Na...”
Dari jauh, Rico mengamati sahabatnya yang makin rapuh. Ia menghela napas panjang.
“Lo kuat, Sam... tapi gue nggak tahu, lo bisa tahan sampai kapan kalau Rona terus dingin begini.”
Senja hari, di halaman belakang sekolah
Langit sudah mulai jingga, suasana sepi. Hanya terdengar suara burung-burung pulang ke sarang. Rona berdiri sambil memeluk tasnya erat-erat. Samudra berdiri di hadapannya, menatap penuh harap meski wajahnya jelas lelah.
Rona menarik napas dalam, suara bergetar.
“Sam… aku nggak bisa terus begini. Setiap kali aku lihat wajahmu… yang terbayang cuma foto itu. Aku capek, Sam… aku butuh jeda. Tolong, kasih aku waktu sendiri.”
Samudra langsung menggeleng keras, langkahnya maju setengah, mendekati Rona.
Samudra tegas, nyaris putus asa.
“Jeda? Kamu sadar nggak apa yang kamu bilang? Kita ini bukan anak-anak lagi, Na. Kita udah bertunangan. Aku janjiin masa depan sama kamu! Masa kamu mau tarik semua itu cuma karena jebakan konyol yang bahkan bukan salahku?”
Rona menggigit bibir, matanya basah. Ia ingin percaya, tapi hatinya remuk.
“Aku nggak bilang mau tarik janji, Sam. Aku cuma… terlalu sakit. Aku nggak bisa pura-pura kuat di sampingmu, seolah aku nggak lihat apa-apa. Jadi, tolong… kasih aku ruang.”
Samudra menutup wajahnya dengan tangan, lalu menurunkannya perlahan. Tatapannya tajam, tapi juga penuh luka.
Samudra dengan suara rendah, emosional.
“Tidak, Na. Aku nggak akan kasih kamu pergi. Kamu milikku, tunanganku. Kalau aku biarin kamu menjauh sekarang… itu sama aja aku nyerahin kamu ke tangan mereka yang pengen lihat kita hancur.”
Rona terdiam, air mata jatuh juga meski ia cepat-cepat mengusapnya.
“Kalau kamu sayang aku… kenapa kamu nggak biarin aku bernapas dulu?”
Hening. Angin sore berembus, membawa ketegangan yang terasa menusuk. Samudra hanya bisa menatap Rona, lalu berbalik tubuh, melangkah pergi dengan langkah berat, meninggalkan gadis itu terisak sendiri
Malam hari, di apartemen kamar Samudra.
Lampu kamar menyala redup. Samudra duduk di tepi ranjang, masih memakai seragam sekolah yang sudah kusut. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya menutupi wajah. Pikirannya berputar-putar, terus terbayang tatapan dingin Rona dan kalimat “aku butuh jeda.”
Pintu kamar diketuk keras. Tanpa menunggu jawaban, Rico masuk begitu saja. Ia membawa sebotol minuman dingin, lalu meletakkannya di meja belajar.
Rico dengan nada tegas.
“Sam. Lo mau sampai kapan diem di kamar kayak mayat hidup? Lo pikir kalau lo hancur begini, Rona bakal balik sama lo?”
Samudra mengangkat wajah, matanya merah, suaranya serak.
“Dia minta jeda, Ric… dia bener-bener mau jauh dari gue. Padahal gue udah janji jagain dia. Rasanya kayak… semua udah selesai.”
Rico langsung mendengus keras, melipat tangan di dada.
“Belum selesai, tolol. Justru sekarang lo harus bangun. Lo udah pegang bukti emas. Kalau lo terus diem, lo beneran bakal kehilangan Rona. Mau?”
Samudra terdiam, dadanya naik turun. Tangannya mengepal di atas lutut.
Samudra berkata lirih, penuh luka.
“Gue nggak mau kehilangan dia, Ric, dia segalanya buat gue.”
Rico melangkah maju, menepuk bahu Samudra keras-keras.
“Nah, kalau gitu berhenti tenggelam di penyesalan. Waktunya kita mainin rekaman itu. Lo butuh timing pas. Gue janji, kita bikin semua orang lihat kebenarannya. Dan saat itu tiba… Rona nggak akan bisa lagi ragu sama lo.”
Samudra menatap Rico, matanya berkaca-kaca tapi ada sedikit api kembali di dalamnya. Ia mengangguk pelan.
“Oke… gue nggak akan diem lagi. Besok, kita siapin langkah.”
Rico tersenyum tipis, puas melihat sahabatnya mulai bangkit.
“Good. Gue nggak mau liat lo kalah gara-gara cewek licik kayak Erina. Lo harus rebut lagi Rona… dengan bukti ini.”
Samudra menggenggam ponsel Rico yang berisi rekaman, menatap layar itu dengan sorot tekad.
Pagi hari, kelas XII IPA
Suasana kelas riuh. Beberapa siswa bercanda, sebagian sibuk dengan buku. Rona baru masuk bersama Mely, Cika, dan Rita. Ia mencoba tersenyum, walau matanya tampak lelah.
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dengan keras. Samudra berdiri di sana, wajahnya tegang, napasnya berat. Semua siswa langsung menoleh.
Mely berbisik ke Rona.
“Na… Sam nyari kamu.”
Rona meremas tali tasnya, berusaha cuek. Tapi Samudra langsung melangkah ke arahnya, menembus kerumunan tatapan teman-teman kelas.
Samudra dengan suara bergetar, tapi tegas.
“Rona… kita perlu bicara. Sekarang.”
Rona menghela napas panjang, menatap Samudra dengan dingin.
“Aku sudah bilang, Sam. Jangan paksa aku. Aku nggak mau dengar apa-apa lagi.”
Kelas mendadak hening. Semua murid menahan napas, menunggu. Samudra menatapnya dalam-dalam, matanya nyaris pecah.
“Kalau kamu nggak percaya aku… kalau kamu pikir aku sengaja—”
Rona memotong cepat, suaranya tajam.
“Sam! Aku sudah lihat fotonya! Aku capek harus membohongi diriku sendiri. Jadi, tolong… berhenti.”
Samudra terdiam. Kata-kata itu seperti pisau menusuk dadanya. Ia menelan ludah, berusaha menahan emosi.
Dari belakang, Rico yang sudah sejak tadi berdiri di ambang pintu melangkah maju, menepuk bahu Samudra pelan.
Rico berkata lirih tapi mantap.
“Sam… ini waktunya. Kalau nggak sekarang, lo beneran bakal kehilangan dia.”
Samudra menoleh ke Rico, lalu kembali menatap Rona dengan sorot mata penuh tekad.
“Baik. Kalau kamu nggak mau dengar aku… maka biar kamu lihat sendiri kebenarannya.”
Kelas makin riuh. Beberapa murid saling berbisik, merasa sesuatu besar akan terjadi.
ciyeee yang murahan cium cium cowok orang