NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:849
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penderitaan Vani

Di sebuah kafe, Pak Agus dan Bu Tutik tengah menikmati makan malam bersama. Keduanya sengaja bertemu karena memang memiliki kedekatan khusus. Namun, hubungan itu tak ditunjukkan di sekolah, karena dianggap kurang bijak.

Dua piring spageti hampir habis, ditemani satu gelas jus alpukat dan jus mangga. Mereka masih mengobrol ringan, sesekali menatap panggung mini tempat band indie mengisi suasana dengan musik live.

Obrolan mulai mengarah ke kejadian tadi di sekolah. Bu Tutik menceritakan bahwa Vani sampai melempar buku karena ketakutan saat melihatnya. Apalagi ketika didekati, gadis itu semakin histeris.

"Kesurupan, gak, sih, Mas?" tanya Bu Tutik.

"Mungkin. Tapi siapa tahu Vani masih capek setelah kemah kemarin, jadi bikin dia nggak fokus," jawab Pak Agus.

Bu Tutik mengangkat gelas berisi jus alpukat, menyesapnya hingga tersisa sedikit, lalu meletakkan kembali gelas itu. "Ini yang ingin aku tanyain, Mas. Apa nggak ada hal aneh selama kemah kemarin?"

"Maksudnya hal aneh gimana, Tik?"

"Iya, siapa tahu ada sesuatu yang bikin penghuni Gunung Merbabu marah, terus mereka ngikutin anak-anak."

Pernyataan itu dibantah Pak Agus. Ia yakin, semua kegiatan di tempat kemah terkendali dengan baik. "Terus sudah dijampi juga sama Ki Wangsit, jadi amanlah."

"Yang kata Mas Agus itu kuncen gunung, ya?"

"Heem."

"Oke. Ya mungkin cuma perasaanku aja sih, ngerasa ini efek kalian kemah kemarin. Tapi menurutku, tetap waspada juga penting. Takutnya, ada sesuatu yang keinjek sama anak-anak selama di sana. Kita kan manusia biasa, gak bisa lihat mereka," jelas Bu Tutik.

Pria di hadapannya hanya mengangguk, fokus menyelesaikan makanan yang tersisa satu suap. Ia meyakinkan bahwa semua akan aman karena kegiatan sudah sesuai prosedur.

Pak Agus pun bercerita satu hal baru, tentang Vani yang pernah pingsan di hutan. Alasannya karena kecapaian. Menurutnya, kejadian sekarang pun kemungkinan besar sama.

Karena merasa khawatir dengan Vani, Bu Tutik berencana menengok gadis itu ke rumahnya besok. Ia meminta Pak Agus mengantar, tentu saja jika memang tidak keberatan.

"Tapi kita lihat dulu perkembangan besok gimana, Wid. Kalau bisa, kamu deketin anak-anak yang ikut eskul gambar. Siapa tahu ada hal yang mereka lakukan," ujar Pak Agus.

"Iya, besok aku ke ruang seni. Kalau nggak salah, Ratna suka ada di sana, kan?" balas Bu Tutik.

Akhirnya Pak Agus pun setuju. Keduanya kembali menikmati alunan musik sambil membahas hal lain.

......................

Sementara itu, di kediaman Vani. Setelah dijemput dari sekolah, suhu badan gadis itu sedikit meningkat. Karena ibunya sedang di butik, Vani dirawat oleh Kania—kakaknya. Beberapa kali Kania mengompres dan memberinya obat, namun suhu tubuh Vani tetap tinggi.

"Lu kenapa, sih, bisa sakit gini? Kan gue udah bilang, jangan ikut kemah. Anak manja kayak lu mah nggak cocok hidup di gunung. Jadinya nyusahin gue dah!" gerutu Kania.

Mata Vani sedikit terbuka, menoleh ke arah kakaknya. Meski terpejam sejak tadi, ia tetap bisa mendengar gerutuan Kania.

"Berisik banget lu, Kak. Gak ada ikhlasnya jadi orang." Napas Vani terasa sesak, bahkan ritmenya tak teratur.

"Gue jadi nggak masuk kerja gara-gara lu. Mana hari ini ada acara lagi di kantor."

Sambil mencebik, Kania mencelupkan sapu tangan ke baskom berisi air, kemudian memerasnya dengan hati-hati. Kain basah itu ia letakkan di dahi Vani. Tak lama kemudian, ia keluar sebentar, kembali dengan satu piring nasi goreng dan satu piring bubur polos.

"Makan dulu, biar cepat sembuh," ucap Kania lembut.

Setelah terus-menerus diomeli, Vani perlahan menggeser tubuhnya untuk duduk, tentu dengan bantuan kakaknya. Ia bersandar pada bantal yang lebih tinggi, sedikit lega meski tubuhnya masih terasa lemah. Meski marah-marah, Kania tetap menyuapi dengan telaten, seolah perhatian itu menutupi kekesalannya.

"Kenapa lu nggak ke kantor aja, Kak? Kan di sini ada Bibi," tanya Vani setelah suapan pertama masuk ke mulutnya.

"Enggaklah. Kalo lu kenapa-napa gimana? Kalo butuh dokter gimana?"

Bibir pucat Vani tersenyum tipis. Meski kakaknya terlihat galak, tapi rasa sayang yang terselip begitu nyata. Sejak siang hingga malam, Kania enggan beranjak dari kamar itu, bahkan menyelesaikan tugas kantornya pun tetap di sana.

Tak lama kemudian, terdengar langkah sepatu dari luar. Ketukan pintu membuat kedua gadis itu menoleh. Bu Mely mengintip sebentar, lalu masuk membawa totabag berisi slice cake untuk kedua putrinya.

"Ya Allah, Sayang, maaf Mama baru bisa pulang. Tadi di butik rame banget. Gimana keadaan kamu sekarang?"

Bu Mely langsung melepas kain kompresan, meletakkan punggung tangannya di dahi Vani. "Udah nggak panas, kok. Sembuhnya nanti juga."

Vani mengangguk pelan. Ia menolak bubur yang disodorkan Kania karena perutnya sudah terasa penuh. Ia hanya meminta segera minum obat agar bisa beristirahat. Sebenarnya, ia agak enggan berkomunikasi terlalu banyak dengan sang Mama, karena di situasi seperti ini pikirannya lebIh fokus pada pekerjaan.

"Mau Mama temenin tidurnya?" tanya Bu Mely.

"Gak usah, Ma. Aku sama Kak Kania aja," jawab Vani datar.

Sontak Bu Mely menoleh ke arah Kania. Gadis berambut panjang itu mengangkat bahu, memilih menyantap nasi goreng buatan Bibi ketimbang memprotes permintaan Vani.

"Besok kita ke dokter, ya. Atau mau dipanggil ke rumah aja?"

Pertanyaan itu dijawab dengan gelengan kepala Vani. Ia membalikkan badan, menatap jauh ke arah lain, membelakangi sang Mama. Bu Mely hanya tersenyum, lalu membereskan peralatan kompres serta piring bekas makan putrinya.

Vani yang pura-pura terpejam, tiba-tiba terlonjak ketika merasakan pundaknya disentuh lembut. Padahal, ia bisa mendengar Kania dan Bu Mely sibuk mengobrol sambil membereskan piring.

Sontak Vani menoleh dan menjerit, melihat dua makhluk menyeramkan menatapnya. Semua bantal, guling, dan selimut beterbangan ke sekeliling. Gadis itu melompat dari ranjang, meraih apa saja yang bisa dijadikan senjata.

Kania dan Bu Mely kaget melihat tingkah Vani. Mereka ikut berteriak sambil menyuruhnya istigfar. Sulit mendekat karena terus-menerus dilempari benda-benda, sementara takut jika bunga atau figura ikut terlempar.

"Vani, lu kenapa sih? Lu gila, ya?" teriak Kania panik.

"Pergi! Gue gak mau mati! Pergi!" Vani menjerit sambil menangis. Telinganya berdengung, seolah dua makhluk itu mengajak Vani ikut mereka. Itulah sebabnya ia selalu menolak bicara soal kematian.

Benar saja, Vani meraih pas bunga kaca dengan tergesa. Kania segera menarik Bu Mely untuk keluar, lalu mengunci kamar dari luar. Si sulung begitu gesit memindahkan kunci yang semula tergantung di bagian dalam ke sisi luar pintu.

Terdengar suara pecahan kaca dekat pintu. Mereka terperanjat. Telat sedikit saja, pasti sudah celaka. Bu Mely menangis, mengetuk pintu sambil berkata, "Kamu kenapa, Sayang? Kamu mau apa? Coba bilang sama Mama."

Tidak ada jawaban pasti, yang terdengar hanya jeritan yang menyayat hati. Baru kali ini mereka mendengar Vani menangis sehisteris itu. Apalagi yang membuat khawatir, suhu tubuh Vani sedang kurang stabil.

"Na, Mama masuk aja kayaknya. Kasian Vani sendirian," rengek Bu Mely. Pipinya sudah basah kuyup.

"Enggak, Ma. Nanti Mama kenapa-napa. Udah, biarin dulu Vani tenang."

"Tapi kasian Vani, dia butuh kita, Na."

Kania berdecak. "Kita panggil ustad aja deh, itu anak kesurupan."

Bu Mely langsung menolak. Ia yakin Vani hanya mengalami halusinasi akibat demam. Sementara Kania punya pendapat lain; sorot mata Vani yang kosong membuatnya merinding.

Bi Inah yang sedang di dapur mendengar kegaduhan dari lantai atas, segera naik dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Bu? Neng Vani kenapa?"

"Kesurupan," jawab Kania singkat.

"Ya Allah, mau dipanggilin Pak Amat?" Setahu Bi Inah, Pak Amat yang bekerja sebagai tukang kebun bisa melihat hal-hal gaib. Pria paruh baya itu sering dimintai tolong oleh warga kampung saat ada yang kesurupan. Tempat tinggalnya berada di belakang perumahan, sehingga Bi Inah bisa langsung menyusul.

"Gak usah, Bi. Anak saya cuma sakit, bukan kena gangguan setan. Istigfar, Kania!" bentak Bu Mely tegas.

Suasana mulai tenang, tidak terdengar lagi suara benda-benda berjatuhan. Isak tangis Vani terdengar lebih lirih, merintih, bukan lengkingan seperti sebelumnya. Kania mulai memberanikan diri membuka pintu, perlahan mendorongnya.

Keadaan Vani sungguh menyedihkan. Ia duduk di samping ranjang, memeluk lutut, menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan. Bu Mely segera mendekat, berjongkok, lalu mengusap rambut putrinya dengan lembut. "Kamu kenapa, Sayang? Cerita sama Mama."

Vani mendongak. Bawah matanya menghitam, wajahnya tampak kelelahan. Ia langsung memeluk sang Mama sambil berkata, "Vani takut, Ma, Vani gak mau mati."

"Gak akan, Sayang, gak akan. Insya Allah kamu panjang umur." Air mata Bu Mely menetes. Ia menciumi ubun-ubun putrinya beberapa kali.

"Besok kita ke psikiater, ya. Mama yang temenin. Maaf, selama ini Mama kurang perhatian. Mama sayang sama Vani. Sayang banget," ucap Bu Mely, dekapannya semakin erat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!