PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
"Apa benar ini kamu?" Mahesa menatap Ranu dengan tajam dari atas sampai bawah.
Ranu tentu saja bingung dengan dengan sikap Mahesa dan Atika yang seperti sudah lama tidak bertemu dengannya, "Kalian berdua ini kenapa? Baru juga satu hari kita tidak bertemu, tapi kenapa sikap kalian seperti sudah lama tidak bertemu?"
"Satu hari?" Mahesa mengerutkan dahinya, "Kau sudah pergi hampir satu bulan. Coba tanya Arika kalau tidak percaya!"
Ranu menoleh kepada Arika yang mengangguk menguatkan ucapan Mahesa.
Ranu menggaruk kepalanya tidak percaya, yang dia rasakan malah tidak sampai satu hari dia bepergian.
"Apa mungkin di sana durasi waktunya jauh lebih lambat dari pada di sini?" tanya Ranu dalam hati.
Dari dalam rumah, ayah Arika terlihat berjalan keluar setelah mendengar suara laki-lain selain Mahesa, "Apakah kamu yang bernama Ranu?"
"Bagaimana Paman bisa tahu namaku?"
"Arika yang cerita kepada Paman. Katanya kau dan Mahesa yang menyelamatkan dia," jawab ayah Arika.
"Itu kebetulan saja kami berada di sana, Paman," balas Ranu sembari tersenyum tipis.
"Ada yang mau aku tanyakan, Paman," lanjutnya.
"Silahkan saja. Aku akan menjawabnya kalau bisa?"
"Apakah Paman tahu di mana letak kota Wentira?"
Ayah Arika mengernyitkan dahinya, dia tidak menyangka Ranu akan menanyakan tentang kota itu, "Nanti malam saja kita bicara berdua. Paman tidak bisa menjawabnya sekarang," jawabnya.
Ranu Mengangguk pelan. Kebetulan dia juga sudah merasa lelah dan ingin beristirahat.
***
"Kenapa kau ingin mengetahui tentang kota Wentira?"
tanya ayah Arika di sebuah gubuk kecil di belakang. Sengaja dia mengajak Ranu untuk berbicara berdua saja agar tidak ada lagi yang mengetahui tentang kota itu.
"Apa Paman tahu tentang kota itu?" Ranu bertanya balik.
"Kalau tahu secara langsung sih tidak, Ranu. Tapi Paman pernah mendapat cerita tentang kota Wentira itu dari seorang Kakek tua yang aku temui, ketika sedang berteduh di sebuah gubuk di dalam hutan."Ranu kemudian teringat dengan kakek tua yang ditemuinya di sebuah tempat makan. Dia berharap agar kakek itu adalah orang yang dimaksud ayah Arika.
"Apakah ciri-ciri kakek tua itu berpakaian serba hitam, bercaping bambu dan membawa tongkat kayu?"
Ayah Arika mengernyitkan dahinya, "Bagaimana kau bisa tahu tentang kakek itu, Ranu.
"Beberapa hari lalu aku bertemu dengan kakek itu, Paman. Beliau juga yang memberi tahu tentang adanya gerbang menuju langit yang ada di gunung Soputan."
Lelaki setengah baya bertubuh tegap itu tampak semakin tertarik untuk berbicara dengan Ranu lebih jauh, "Kau tahu juga tentang mitos itu, Ranu?"
"Gerbang menuju langit itu bukan mitos, Paman. Tapi benar adanya."
"Benar adanya bagaimana maksudmu?" ayah Arika belum bisa mencerna ucapan Ranu yang ganjil menurutnya.
Ranu sedikit berpikir untuk menceritakannya atau tidak kepada Ayah Arika. Namun dia juga masih butuh informasi tentang keberadaan kakek tua yang dicarinya itu.
Setelah cukup lama diam untuk mempertimbangkannya, Ranu memutuskan untuk menceritakannya kepada ayah Arika.
"Paman tadi siang mungkin mendengar ketika Arika dan Mahesa yang bilang kalau aku sudah pergi hampir satu bulan lamanya." kata Ranu yang disambut anggukan kepala lelaki setengah baya di hadapannya itu.
"Padahal seingatku aku hanya pergi bahkan tidak sampai satu hari, Paman," lanjutnya.
"Jadi kau ...!?" sahut ayah Arika terkejut.
Ranu mengangguk, "Benar Paman. Aku memasuki gerbang itu. Dan mungkin Paman tidak akan percaya ke mana di balik pintu gerbang itu?"
"Memangnya ke mana?"
"Alam para dewa, Paman," jawab Ranu singkat.
Ayah Arika menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Meskipun Ranu tidak memberikan bukti tentang adanya kebenaran yang diucapkannya, tapi ayah Arika seperti sangat sulit untuk tidak mempercayai kata-kata Ranu.
"Dan tentang kota Wentira itu, Paman, ada salah satu dewa yang memberitahu dan menyuruhku untuk menemukannya," tambah Ranu.
"Baiklah, aku akan menceritakan sedikit tentang apa yang kutahu tentang kota itu, Ranu." Ayah Arika mengambil mengambil napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
"Konon ceritanya, Kota Wentira itu dijuluki sebagai kota emas, Karena sebagian besar bangunan di kota itu terbuat dari emas. Ada yang bilang kota Wentira adalah peninggalan terakhir suku Atlantis sebelum suku itu musnah. Mereka adalah peradaban tertinggi yang pernah ada" lanjutnya.
"Lalu di mana posisinya kota itu, Paman?"
Ayah Arika menggeleng pelan, "Tidak ada yang tahu persis di mana lokasinya, Ranu. Kota itu pun sudah lama menghilang."
"Menghilang juga?" Ranu seketika lemas mendengar jawaban ayah Arika.
Ayah Arika tertawa melihat ekspresi Ranu yang seperti kehilangan semangat, "Tenang, Ranu. Mencari sesuatu apalagi yang tidak ada bentuk fisiknya di alam nyata ini memang sangat sulit. Tapi jika memang salah satu dewa ada yang menyuruhmu untuk mencarinya, maka jalan keluar itu pasti ada."
"Berarti aku harus menemukan kakek tua itu, Paman?"
Ayah Arika mengangguk, "Aku bertemu dengannya di hutan Karaenta ketika sedang mencari dedaunan untuk ramuan obat. Tapi..." ayah Arika kembali menarik napas panjangnya.
"Apakah hutan itu terkenal angker, Paman?" tanya Ranu dengan sikap yang sangat santai.
"Hahaha ... sepertinya kau sudah terbiasa menjelajahi tempat-tempat angker, Ranu."
"Asal kita bisa menjaga sikap, aku yakin mereka tidak akan mengganggu kita, Paman! Bukankah kita juga hidup berdampingan dengan mereka meski berbeda alam?" tandas Ranu.
"Kau benar. Tapi di hutan Karaenta itu penunggunya tidak memandang apa dan bagaimana sikap kita. Kalau dia sedang ingin, dia akan membunuh siapapun yang masuk ke dalam hutan itu."
"Tenang saja, Paman. Aku sudah punya solusi untuk meredamnya," sahut Ranu. Dia sangat yakin bisa meredam emosi penunggu hutan Karaenta.
Ayah Arika tersenyum kecil. Dia lalu menggambar sebuah peta arahan menuju hutan Karaenta.
"Ketika kau sudah tiba di perempatan ini, kau ambil jalan lurus saja! Ketiga jalur ini sama-sama mengarah ke hutan Karaenta, tapi jalur yang lurus itu lebih dekat ke lokasi tempat pertemuanku dengan kakek tua itu," papar ayah Arika.
"Ternyata Paman kalau mencari dedauan untuk ramuan sangat jauh juga jaraknya," ucap Ranu kagum.
"Tidak tentu Ranu, tapi biasanya untuk dedaunan yang langka itu tumbuhnya di daerah yang wingit dan angker.Dan biasanya para tabib enggan jika harus mencari mencari di tempat-tempat seperti itu."
"Baik, Paman. Besok aku akan langsung berangkat ke sana. Semoga nanti aku ada waktu untuk kembali ke sini lagi," balas Ranu
***
Keesokan paginya, Ranu dan Mahesa sudah bersiap di atas kudanya masing-masing. Atika dan ayahnya mengantarkan keberangkatan mereka di depan rumah.
"Kalau ada waktu, kembalilah ke sini lagi. Ada yang ingin Paman bicarakan dengan kalian, khususnya kamu, Ranu!" kata ayah Arika.
"Baik, Paman. Semoga dewata memberi kita kesempatan untuk bertemu lagi," balas Ranu. Dia menoleh sebentar ke arah Arika sambil tersenyum sebelum memacu kudanya.
Seperti para gadis lainnya yang kepincut dengan Ranu, Arika pun merasakan kesedihan yang sama. Gadis cantik itu berharap nanti bisa bertemu lagi dan kalau mungkin menikah dengan Ranu.
Berbekal peta yang di berikan ayah Arika, Ranu dan Mahesa melaju cepat menyibak jalanan berbatu dan juga rerumputan yang menghiasi jalanan setapak menuju hutan Karaenta.
Selain untuk mempercepat perjalanan keduanya, ayah Arika juga menghindarkan mereka dari gangguan seperti begal atau perampok yang sering muncul di jalanan umum.
Jarak yang cukup jauh juga menjadi pertimbangan bagi Ranu dan Mahesa untuk memacu kuda mereka dengan kuat dan cepat.
Malam tiba tanpa terasa, Ranu dan mahesa memutuskan untuk bermalam di sebuah kaki bukit di pinggiran sebuah hutan. Gemericik air yang terdengar menandakan tempat mereka berhenti tidak jauh dari sebuah aliran sungai.
Seperti biasa, di saat mereka bermalam di tempat terbuka, Ranu harus selalu terjaga untuk menjaga Mahesa yang kalau tidur seperti orang mati.
Udara yang semakin dingin membuat Ranu menambahkan ranting kecil ke dalam perapian, tujuannya agar api semakin besar dan bisa mengusir hawa dingin yang menyerang.
Tepat di tengah malam, tanpa sengaja mata Ranu menangkap sinar keemasan yang sangat terang melintas di angkasa.
Andai dia sendirian, tentunya dia akan mengejar sinar keemasan itu. Dia menduga sinar keemasan itu ada hubungannya dengan kota Wentira yang sedang dicarinya.
"Arah sinar itu ke utara, bisa jadi kota Wentira itu ada di utara," gumam Ranu.
Sampai menjelang pagi, tidak ada kejadian lagi yang dialami keduanya. Ranu memutuskan untuk memejamkan mata sebentar setelah Mahesa membuka matanya.
Dua jam berlalu, Ranu sudah terbangun dari tidurnya. Setelah mencuci mukanya di sebuah aliran sungai kecil yang tak jauh dari tempat mereka beristirahat, dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Rencananya mereka berdua akan mencari makan di kampung terdekat yang mereka singgahi.
Namun hingga siang hari dan matahari tepat di atas kepala, mereka berdua baru bisa menemukan sebuah kampung kecil yang terletak di tengah sebuah hutan.
"Kita cari makan di sana!" Ranu menunjuk warung kecil yang terlihat cukup ramai.
Perut yang kosong dan kondisi sedikit lelah membuat Ranu dan Mahesa memesan makanan lebih banyak. Jika tidak ada kendala di perjalanan, Ranu memperkirakan mereka akan tiba di hutan Karaenta menjelang malam tiba.
Seusai menghabiskan makanan yang sudah mereka pesan dan beristirahat sebentar, Ranu dan Mahesa melanjutkan perjalanan. Fisik yang sudah pulih membuat mereka berdua begitu bersemangat memacu kuda yang mereka naiki dengan kecepatan tinggi.