NovelToon NovelToon
Dijodohin Dengan Kepala Desa

Dijodohin Dengan Kepala Desa

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cintamanis / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: komurolaa

Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

[ BAB 17 ] Benturan Dua Dunia

Pagi itu, Olivia bangun ketika matahari sudah lama menyinari jendela kamarnya. Tubuhnya masih betah berselimut, enggan melepaskan sisa hangat tidur yang melekat. Perlahan, matanya terbuka, menyesuaikan dengan cahaya yang menembus tirai tipis. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya sambil menghela napas panjang, seakan tengah mengumpulkan nyawa sebelum benar-benar memulai hari.

Tatapannya melayang ke sofa di sudut kamar, tempat biasa Maalik tidur. Kosong. Hanya bantal yang terguling dengan bekas lekuk kepala. Olivia berdecak pelan, lalu melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Begitu keluar, ia mendapati suaminya tengah berdiri di atas tangga lipat di ruang tengah.

“Ngapain lo?” tanya Olivia spontan, suaranya masih serak sisa tidur.

Maalik menoleh ke bawah, senyumnya tenang. “Perbaiki lampu,” jawabnya lembut.

Olivia hanya menyandarkan tubuh di dinding, memperhatikan bagaimana Maalik bekerja. Tangannya cekatan, sederhana, tapi tetap hati-hati. Setelah selesai, Maalik turun, merapikan perkakas, lalu meletakkannya ke sudut ruangan.

“Mau sarapan?” tanyanya ramah.

“Nggak. Gue mau minum susu aja,” sahut Olivia singkat.

Maalik menghela napas lirih. Istrinya itu memang selalu begitu. Sulit sekali membujuk Olivia untuk makan nasi atau makanan berat lainnya. Alasannya selalu sama: diet dan menjaga bentuk tubuh. Padahal, terkadang Olivia hanya bertahan dengan segelas susu kedelai seharian penuh.

“Saya buatin nasi goreng ya? Kamu harus makan nasi, Olivia...” ucap Maalik lembut.

“Nggak mau! Lo aja yang makan nasi goreng. Gue cuma mau minum susu,” balas Olivia keras kepala.

Maalik tak langsung menjawab. Dalam hatinya, ia tahu harus mencari cara lain untuk membuat istrinya terbiasa makan dengan benar. Nanti akan ia pikirkan. Untuk saat ini, ia memilih membuatkan segelas susu kedelai.

Olivia mengikuti Maalik ke dapur, duduk di kursi dengan santai seperti seorang ratu menunggu hidangan. Tak lama, Maalik kembali membawa dua gelas: susu kedelai untuk Olivia dan secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Mereka menikmatinya dalam diam. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di antara mereka.

Setelah menyesap kopi terakhirnya, Maalik angkat bicara. “Hari ini saya mau ke pasar. Kamu mau ikut?”

“Nggak,” jawab Olivia tanpa pikir panjang.

“Ya sudah. Kalau begitu, nanti kalau ada pak tukang datang, tolong suruh langsung ke belakang ya. Semen dan lainnya sudah siap,” jelas Maalik.

Olivia menaikkan sebelah alis. “Pak tukang?”

“Iya,” Maalik tersenyum kecil. “Saya mau buat gazebo di belakang.”

Memang, sejak lama ia berencana membuat gazebo di halaman belakang rumah. Tempat sederhana untuk bersantai. Diam-diam, ia ingin menciptakan sudut nyaman yang bisa membuat istrinya betah tinggal di desa.

Olivia berpikir sejenak. “Kenapa nggak lo aja yang bilang? Lo tungguin mereka dulu sebelum ke pasar.”

“Tidak bisa, Olivia. Mereka datangnya sekitar tiga puluh menit lagi. Sementara saya harus buru-buru ke pasar, ada ikan titipan yang harus saya ambil,” jawab Maalik sabar.

“Males banget...” gumam Olivia. Ia menggeliat kecil, lalu mendengus. “Ya udah, gue ikut lo deh. Gue males interaksi sama orang kampung.”

Maalik menatapnya dalam, lalu menegur lembut, “Jangan begitu, Olivia...”

Olivia hanya memutar bola matanya malas. “Yaudah ayo ke pasar. Keburu panas.”

Maalik memperhatikan penampilan istrinya, lalu berdehem pelan. Seperti biasa, Olivia mengenakan pakaian yang terlalu berani untuk suasana desa. Hari ini ia memakai slip dress berbahan satin berwarna nude, dengan potongan lurus dan longgar menyerupai kamisol panjang. Tali spaghetti tipis menggantung di bahunya, sementara renda halus menghiasi bagian leher berbentuk V dan ujung bawah gaunnya. Kain itu jatuh lembut di tubuh mungilnya, menampilkan kesan sensual yang jelas tidak cocok untuk pergi ke pasar.

Maalik menegakkan tubuh, menahan diri agar tetap tenang. “Kamu... ganti baju dulu kan?” tanyanya hati-hati.

Olivia menoleh, menaikkan sebelah alis. Matanya melirik ke slip dress yang ia kenakan, lalu mendecak pelan. “Lo pikir gue gila pakai lingerie ke pasar?”

----

Maalik dan Olivia melaju di jalan desa dengan motor trail. Udara pagi masih segar, meski jalanan mulai ramai oleh warga yang hendak berbelanja. Seperti biasa, hampir di setiap tikungan selalu ada orang yang menyapa Maalik. Senyum tulus dan sapaan hangat itu tak pernah absen, membuat suasana perjalanan terasa akrab.

Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai di pasar. Maalik turun lebih dulu, lalu dengan sigap membantu Olivia turun dari motor. Sentuhan tangannya lembut, namun Olivia tetap kaku, enggan memperlihatkan kelembutan hatinya.

Begitu menapakkan kaki, Olivia tertegun. Pandangannya menyapu suasana pasar yang hiruk-pikuk. Bau ikan asin bercampur dengan aroma sayur-mayur, teriakan pedagang bersahut-sahutan, dan lorong-lorong sempit dipenuhi orang yang berdesakan. Baginya, tempat ini terasa sesak, bising, dan jauh dari kata nyaman.

Maalik yang menangkap raut wajah istrinya segera meraih tangan Olivia, menggenggamnya erat agar tidak terlepas di keramaian. Olivia menelan ludah, hatinya bergetar aneh, tapi ia tetap mengikuti langkah suaminya tanpa protes.

“Assalamualaikum, Pak Desa... Wah, belanja manten baru ya, Pak?” sapa seorang pedagang tua dengan senyum lebar.

“Waalaikumsalam, Pak. Iya, sekalian mau ambil ikan,” jawab Maalik sopan.

Seorang ibu penjual sayur ikut menyahut sambil menatap Olivia dengan tatapan kagum. “Masyaallah, istrinya cantik sekali, Pak Desa...”

Maalik tersenyum ramah. “Alhamdulillah, terima kasih, Bu Parmi.”

Beberapa pedagang lain pun tak kalah antusias.

“Istrinya Pak Desa kayak artis... cantik bening.”

“Cocok sekali, Pak Desa ganteng, istrinya cantik.”

“Kayak pasangan dari sinetron aja, Masyaallah...”

“Cantiknya bikin iri, Pak... kulitnya mulus banget!”

“Wah, rejeki besar, Pak Desa, dapet istri secantik ini.”

Pujian demi pujian menghujani Olivia. Namun Olivia hanya diam, perutnya justru mual karena bau amis ikan, darah ayam segar, dan aroma pasar yang bercampur. Ia menggenggam tangan Maalik lebih erat, ia benar-benar menahan diri agar tidak muntah.

Perjalanan berlanjut menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di belakang pasar. Lorong sempit yang mereka lewati agak sepi, hanya diterangi cahaya samar. Di sana nyamuk berterbangan, menyerang kulit Olivia yang terbuka.

Hari itu Olivia memakai atasan rajut tanpa lengan, model crop knit tank top berwarna krem lembut. Bahannya mahal dan tipis, menempel di kulit, memperlihatkan lekuk tubuh mungilnya. Dipadukan dengan celana pendek selutut, penampilannya jelas kontras dengan lingkungan pasar yang becek. Nyamuk-nyamuk pun segera berpesta, meninggalkan bentol-bentol merah di kulit mulusnya.

Maalik memperhatikan dengan iba. Ia mengusap lembut lengan istrinya, berusaha mengurangi rasa gatal yang mulai mengganggu. “Maaf ya, jadi digigit nyamuk. Tapi jalannya cuma ini...” ucapnya lirih.

Olivia hanya diam, menahan kesal.

Sesampainya di TPI, suasana lebih ramai lagi. Lantai basah oleh air bercampur sisik ikan, suara pedagang bersahutan dengan riuh tawa nelayan. Bau amis semakin menusuk.

Maalik menghampiri seorang pria paruh baya. “Assalamualaikum, Pak Nono.”

“Wah, Pak Desa! Waalaikumsalam,” sambut Pak Nono dengan ramah, lalu matanya melirik Olivia.

Maalik masih menggenggam tangan istrinya erat. “Gimana, Pak, ikannya? Ada?” tanyanya sopan.

“Wah, jelas ada, Pak. Spesial untuk Bapak,” jawab Pak Nono sambil mengangkat seekor nila besar yang masih segar. “Ini ikannya...”

“Wah, terima kasih, Pak,” ujar Maalik tulus.

“Saya bungkusin dulu ya, Pak.”

Maalik mengangguk, kemudian menoleh ke Olivia. Wajah istrinya pucat, matanya berair. Lengan dan betisnya penuh bentol merah karena nyamuk, sementara kakinya yang berbalut sandal mahal kini kotor oleh lumpur pasar. Maalik menggenggam tangannya lebih erat, rasa iba menyelimutinya.

Tak lama, Pak Nono kembali dengan ikan yang sudah dibungkus rapi. “Ini, Pak Desa.”

“Berapa, Pak?” tanya Maalik.

“Seratus dua puluh ribu saja, Pak.”

Maalik mengambil dompet, lalu menyerahkan seratus lima puluh ribu. “Terima kasih, Pak.”

“Kembaliannya, Pak...”

“Buat uang bensin Bapak,” jawab Maalik sambil tersenyum.

Pak Nono tertegun, lalu mengangguk penuh syukur. “Wah, terima kasih banyak, Pak Desa.” Tatapannya kembali pada Olivia. “Ini istri Bapak, ya? Cantik sekali, Pak...”

“Iya, Pak. Namanya Olivia,” jawab Maalik, senyumnya menenangkan.

Setelah berbasa-basi sebentar, Maalik pamit. Namun sepanjang perjalanan keluar TPI, sapaan tak berhenti. Para nelayan menyapa hangat, sementara nelayan muda tak segan melontarkan pujian kagum untuk Olivia.

Ketika melewati lapak ikan hidup, seekor nila besar tiba-tiba melompat keluar dari wadah, mengenai lengan Olivia. Gadis itu menjerit kaget, tubuhnya gemetar. Air matanya akhirnya pecah. Maalik buru-buru mengambil ikan itu, menyerahkannya kembali pada pemilik lapak.

“Saya minta maaf, Olivia...” bisiknya lirih sambil mengelus lengan istrinya yang memerah, ada sedikit goresan dari sisik tajam ikan.

Tangis Olivia semakin deras. Saat mereka hendak keluar dari pasar, Olivia berhenti mendadak. Genggamannya pada tangan Maalik melemah.

“Mau muntah...” suaranya parau, penuh air mata.

Maalik panik, segera menuntun istrinya menjauh. Ia membawa Olivia ke dekat ledeng pasar yang cukup bersih, airnya mengalir jernih. Di sana, Olivia benar-benar tak mampu menahan diri. Ia muntah-muntah, tubuhnya gemetar.

Maalik berdiri di sampingnya, sabar menepuk dan mengurut pelan tengkuk istrinya, menenangkan setiap hembusan napasnya.

Setelah puas mengeluarkan isi perut, Olivia terduduk lemas di pinggir ledeng. Nafasnya tersengal. Tanpa berkata apa-apa, Maalik meraih kakinya yang belepotan lumpur. Dengan hati-hati, ia membasuhnya ke dalam air, membersihkan sela-sela jemari hingga kembali bersih.

1
Titik Sofiah
awal yg menarik ya Thor /Good/
komurolaa: terimakasih kak💗
total 1 replies
Gái đảm
Endingnya puas. 🎉
Hoa xương rồng
Teruslah menulis dan mempersembahkan cerita yang menakjubkan ini, thor!
komurolaa: terimalasih kak
total 1 replies
Dani M04 <3
Menggugah emosiku.
komurolaa: terimakasih sudah mampir kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!