bijak dalam memilih bacaan!
"Kamu... siapa?" bisik Zeya lirih, tangan kirinya memegangi kepala yang berdenyut hebat.
Pria itu tersenyum lembut, menatapnya seolah ia adalah hal paling berharga di dunia ini.
"Aku suamimu, sayang. Kau mungkin lupa... tapi tenang saja. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi...seperti dulu."
*****
Zeya, seorang mahasiswi kedokteran, tiba-tiba terbangun di dunia asing. Ia masih dirinya yang sama,nama, wajah, usia..tak ada yang berubah.
Kecuali satu hal, kini ia punya suami.
Ares Mahendra. Dosen dingin yang terlalu lembut saat bicara, terlalu cepat muncul saat dibutuhkan… dan terlalu mengikat untuk disebut sebagai “suami biasa.”
Zeya tidak mengingat apa pun. Tapi dokumen, cincin, dan tatapan Ares terlalu nyata untuk disangkal. Ia pun mulai percaya...
Hingga satu rahasia terkuak,zeya bukan istri nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azida21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Saat Rasa Aman Menjadi Perangkap
Zeya membuka laci kecil di meja samping tempat tidur. Iseng, atau mungkin karena dorongan yang tak bisa dia jelaskan. Di sana hanya ada obat tidur, hand sanitizer, dan selembar kertas kecil.
Dia membuka kertas itu.
Seketika napasnya tertahan.
“Kalau kamu membaca ini, artinya kamu belum percaya padanya. Dengarkan instingmu. Jangan terbuai wajahnya.”
Tulisan tangan itu bukan milik Ares.
Zeya berdiri dengan tangan gemetar.
Siapa yang menulis ini?
Kapan?
Kenapa bisa ada di rumah ini?
Pikirannya masih sibuk merangkai kalimat di kertas kecil yang baru saja ia temukan,peringatan yang mengoyak kewarasan yang selama ini ia pertahankan.
Langkah Ares makin dekat. Zeya buru-buru menyelipkan kertas itu kembali ke tempat semula dan menutup laci dengan gerakan nyaris tak bersuara.
Pintu kamar terbuka perlahan.
“Sayang?” suara Ares terdengar lembut. Terlalu lembut.
Zeya menoleh dengan cepat. “Iya?”
Ares berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus rumah tipis dan celana santai. Senyum tipis tergambar di bibirnya, tapi matanya… matanya seperti sedang memindai wajah Zeya. Seolah mencoba membaca sesuatu dari rautnya.
“Kamu terlihat gelisah,” ucapnya sembari masuk ke kamar.
Zeya mencoba tersenyum. “Cuma masih sedikit capek.”
Ares mendekat, duduk di pinggir ranjang. “Kamu belum minum obatmu?”tanya Ares perhatian.
Zeya menggeleng pelan.
Ares mengambil botol kecil di atas meja dan mengulurkan satu tablet pada Zeya bersama segelas air. “Minumlah. Biar kamu cepat sehat… dan semoga saat kamu bangun besok pagi..kamu menjadi lebih percaya padaku.”
Zeya ragu, tapi akhirnya mengambil obat itu dan berpura-pura menelannya. Ia tahu Ares mengawasi, jadi ia meneguk air dan menelan dengan ekspresi netral.
“Pintar,” bisik Ares sambil tersenyum, tangannya mengelus rambut Zeya sebentar sebelum ia berjalan ke sisi lain ranjang dan berbaring di samping istrinya.
Zeya memunggunginya, menarik napas pelan, berusaha tenang. Tapi kemudian ia merasa tangan Ares meraih pinggangnya dari belakang, memeluknya.
“Sayang…” suara Ares terdengar berat tapi tenang. “Boleh aku tanya sesuatu?”
Zeya bergeming. “Apa?”
“Kamu bahagia kan tinggal bersamaku sekarang?” tanyanya. “Maksudku… di sini. Hidup bersamaku.”
Zeya menggigit bibir. Sebuah jebakan. Dia tahu itu. Tapi dia tetap menjawab pelan, “Aku… belum tahu.”jawab Zeya ragu.
Ares tertawa kecil, pendek dan hambar. “Setidaknya kamu jujur.”
Lalu ia diam sejenak, sebelum melanjutkan, “Dulu kamu selalu bilang hidupmu akan hancur kalau aku pergi. Kamu ingat itu?”
Zeya menegang. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Ares terus berbicara, suaranya lembut dan menyeramkan sekaligus. “Kamu pernah bilang, kamu nggak punya siapa-siapa selain aku. Nggak ada keluarga. Nggak ada tempat kembali. Dunia ini terlalu kejam buat kamu. Dan aku… satu-satunya tempat amanmu.”
Zeya menelan ludah. Tubuhnya makin kaku.
Ares mencium pucuk rambutnya. “Sekarang kamu berubah. Kamu mulai mempertanyakan banyak hal. Aku bisa lihat itu di matamu.”
Zeya menahan napas. Ares tahu. Dia tahu Zeya mulai curiga.
“Tapi aku nggak marah,” lanjutnya. “Aku paham. Kamu bingung. Kamu takut. Dan semua itu normal.”
Ia mengeratkan pelukannya. “Tapi kamu harus percaya satu hal sayang. Semua yang kulakukan… semua karena aku mencintaimu.”
Zeya menggigit bibir. Pikirannya menjerit, tapi mulutnya tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Ares melanjutkan, “Aku tahu kamu nemuin sesuatu hari ini.”
Zeya membeku. “Maksudmu?”
“Kamu buka laci meja itu, kan?” suara Ares terdengar lembut, tapi di baliknya ada tepi tajam yang menusuk.
Zeya memutar tubuh pelan, menatap wajah Ares yang kini hanya berjarak beberapa sentimeter darinya. “Aku… cuma iseng.”
Ares mengangguk pelan. “Tentu. Rasa ingin tahu itu wajar. Apalagi setelah apa yang kamu alami. Tapi kamu harus hati-hati, Sayang. Pikiranmu bisa menipumu.”
Zeya menelan ludah. “Apa maksudmu?”
“Kadang kita membaca sesuatu, mendengar sesuatu, dan mengira itu kebenaran. Padahal bisa jadi… itu hanya tipuan,” bisik Ares sambil menyentuh dagunya dengan lembut. “Aku cuma takut kamu termakan kata-kata yang salah.”ucap nya seolah tau apa yang Zeya baca.
Zeya menggeleng pelan. “Tapi tulisan itu—”
“Siapa pun bisa menulis surat seperti itu,” potong Ares cepat. “Bisa saja seseorang yang iri padaku. Atau seseorang yang ingin menghancurkan kebahagiaan kita.”
Matanya menatap tajam, dalam. “Apa kamu ingin percaya pada secarik kertas tanpa nama… atau pada pria yang sudah merawatmu, tidur di sampingmu setiap malam, dan memelukmu meski kamu menatapnya seperti orang asing?”
Zeya terdiam. Kata-kata Ares seperti tali halus yang melilit pikirannya.
“Sayang...” suara Ares melembut, seperti luka yang sengaja dibuka perlahan. “Aku kehilangan kamu sekali. Rasanya seperti mati perlahan. Aku nggak akan sanggup kehilangan kamu lagi. Jadi, tolong… jangan dorong aku menjauh.”
Zeya mengangguk kecil. “Aku nggak bermaksud…”
Ares mencium keningnya. “Aku tahu.”
Mereka kembali berbaring. Tapi kali ini Ares tak lagi berkata apa-apa. Ia hanya memeluk Zeya dalam diam. Namun napasnya panjang, pelan, dan berat,menggantung di udara seperti beban tak terlihat.
Di kepala Zeya, suara Ares masih terngiang
"Aku tahu kamu nemuin sesuatu hari ini"
Jadi… dia tahu. Tapi bagaimana? Sejak kapan dia tahu?
Apakah kamar ini dipasangi kamera?
Apakah semua geraknya diawasi?
Zeya memejamkan mata. Tapi otaknya tak berhenti bekerja. Satu demi satu pertanyaan bermunculan, mencabik ketenangan semu yang Ares ciptakan.
Dan di dalam hatinya, instingnya berteriak lebih keras dari sebelumnya.
Kamu harus keluar dari sini,sebelum semuanya terlambat.