NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:965
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14.Obsesi Tanpa Batas

Langit Menteng dipenuhi mendung keperakan, seperti samudra awan yang menunggu saatnya pecah. Di balik kaca lebar kamar utama, Aurora menatap kota yang perlahan menyala dalam lampu petang. Gaun rumah satin sehalus bisikan menempel di kulitnya, tapi hawa di dadanya justru membara—campuran cemas dan sesuatu yang lebih rapuh: harapan yang enggan lahir.

Tristan masuk tanpa suara, membawa harum cedar tipis dari parfum senja. Di tangannya buket hydrangea biru pucat—bunga yang, tanpa ia beritahukan, pernah ia sebutkan sebagai mimpi masa kecil: buket pengganti boneka. Bunga itu kontras dengan jas hitamnya yang rapi, seolah warna lembut di antara belati.

“Untukmu,” ucapnya pelan, meletakkannya di meja rias. “Hydrangea berubah warna tergantung tanah. Katanya, cinta juga begitu—dibentuk keadaan, bukan sekadar niat.”

Aurora menelan napas. “Dan tanah di rumah ini?”

“Subur oleh obsesi,” Tristan menjawab, tidak menunduk, tidak menantang, hanya jujur dengan dingin yang anehnya hangat. “Aku tidak akan menyangkalnya. Aku terhilir di sungai kepalaku sendiri, tapi muaranya selalu ke namamu.”

Ia menawari tangannya, bukan untuk menggenggam, melainkan sekadar isyarat. Aurora tak bergerak. Ia masih menghitung setiap detak jam, menakar apakah jarak sanggup menahan badai.

“Beri aku kesempatan menjelaskan cintaku,” pinta Tristan. “Jika tetap menakutkan, aku mundur selangkah—namun tidak pergi.”

Mereka duduk berhadapan di ruang baca yang hangat oleh api perapian. Dinding dihias rak kayu tua; di salah satu sudut, lukisan ibunda Tristan tersenyum sendu. Tristan menuang teh ke cangkir porselen; aroma earl grey bercampur madu mengisi udara.

“Ketika Ibu meninggal,” ia memulai, suaranya sehalus bisikan hujan di kaca, “dunia kehilangan pusat gravitasinya. Sejak itu, aku mengisi ruang hampa dengan kontrol. Harta, perusahaan, keputusan orang lain. Sampai kau datang—menggugat logikaku dengan kebohongan yang kau akui di depan mataku.”

Aurora meneguk teh yang tiba-tiba hambar. “Kau jatuh cinta pada kebohonganku?”

“Pada keberanianmu berbohong dengan mata jujur.” Tristan tersenyum tipis. “Bayangkan betapa menakutkan bagi seseorang yang memegang semua kebenaran palsu, bertemu gadis yang bersenjatakan dusta namun hati bersih.”

Aurora menahan tatapannya. “Itu pujian atau vonis?”

“Keduanya,” balasnya. “Cintaku tidak berbunga, Aurora. Cintaku berakar di tanah curam. Aku mengekang mu dengan hadiah, pengawal, kamera—karena aku takut kehilangan. Bukan takut kau pergi; takut aku kembali kosong.”

Pernyataan itu mengguncang lebih dalam daripada ancaman. Aurora memejam mata sejenak, merasakan letih menyeruak.

“Obsesi bukan cinta.”

“Benar,” Tristan mengakui. “Tapi obsesi dapat berubah jika diizinkan berakar di hati yang sama.”

Ia berdiri, berjalan ke rak, menarik gulungan kanvas. Dengan hati-hati, ia buka di lantai: potret Aurora—dilukis cepat, garis-garis arang kasar namun hidup. Mata Aurora di kanvas memandangnya balik, setengah marah, setengah takut, sepenuhnya nyata.

“Setiap malam setelah kau tertidur, aku melukis satu goresan,” bisiknya. “Aku ingin memahami mu bukan lewat catatan kamera, melainkan garis tanganku sendiri.”

Aurora tersentak. “Kamera di kamar—”

“Direkam keamanan. Aku tak pernah menonton saat kau berganti pakaian. Hanya saat kau bicara sendiri, menangis… Aku butuh tahu titik rawanmu agar tidak ku sentuh.”

“Bukankah itu juga bentuk kontrol?”

“Bentuk penjagaan.” Tristan menatapnya mantap. “Jangan terima atau tolak sekarang. Lihat caraku menjaga: jika salah, ajari. Jika benar, izinkan.”

Aurora berdiri. Jarak di antara mereka terasa seperti jalan licin: satu langkah ceroboh, keduanya jatuh.

“Bagaimana kalau aku tak pernah mencintaimu?” suaranya bergetar.

Tristan menahan diri untuk tidak mendekat. “Maka aku akan tetap mencintai. Tapi aku akan mencintai dari jarak yang kau tetapkan. Obsesiku akan menjadi pengarang puisi yang hanya bisa menulis, tidak menyentuh.”

Perlahan-lahan, Aurora menurunkan pandang ke kanvas. Goresan arang itu bukan karya agung, tetapi penuh kesabaran: garis rambut, cekung pipi, bahkan bekas luka kecil di pelipisnya—detail yang jarang dibaca orang lain.

Air mata menggantung di matanya. “Aku tak tahu apakah hatiku cukup besar menampung luka baru. Atau cinta sebesar mu.”

Tristan mengangkat tangan sedikit, berhenti di tengah udara—mengajak tanpa menarik. “Kalau begitu biarkan obsesi ini mengecil sesuai ruangnya. Biarkan ia jadi lilin, bukan api.”

Aurora ragu, lalu menyentuh ujung jari Tristan—sekilas, seperti testing arus listrik. Dan memang, ada aliran hangat menjalar, bukan membakar, hanya mengingatkan bahwa mereka sama-sama hidup.

Hari berganti. Tristan mulai mencintai dengan cara aneh: ia menempel post-it di cermin kamar, menulis kalimat puisi pendek—sebaris Sapardi, sebaris Chairil, kadang petikan lagu jazz. Ia mengatur alarm Aurora di pagi buta dengan suara rekaman: “Selamat pagi, bernafaslah perlahan.”

Aurora membalas dengan humor: menggambar kumis di potret dirinya, menaruh bawang putih di jasnya, menyelipkan pantun receh di rapat direksi (“Pak Direksi makan pepaya—semoga laba kita tak jadi maya”). Tawa muncul di rumah besar itu, menempel di dinding marmer seperti sulur tanaman liar.

Suatu malam, listrik padam akibat badai. Rumah gelap, hanya lampu darurat redup. Aurora mencari Tristan dan menemukannya di lorong, memegang lampu minyak kecil.

“Gelap menakutkan mu?” tanyanya.

“Gelap mengingatkanku pada panti,” sahut Aurora, jujur. “Langit bocor, tikus berlari, anak-anak menangis.”

Tristan mengulurkan lampu. “Mari kita nyalakan langit kecil.”

Di balkon, mereka memungut lilin aromaterapi dari laci, menyalakannya satu per satu, menata seperti buruj di lantai ubin. Ketika angin membawa wangi vanila dan hujan jadi gemerisik, Aurora berkata dengan suara patah,“Aku membencimu… karena kau membuatku lupa membenci.”

Tristan memandangnya—mata obsidian itu kali ini berkilau terang, bukan karena refleksi cahaya, tetapi sesuatu yang lebih lembut. “Kalau begitu bencilah sambil duduk di sisiku. Aku tak keberatan.”

Aurora tertawa, air mata menetes bersamaan. Ia menghapusnya cepat, tapi Tristan melihat. Ia tidak menyentuh—ia hanya duduk lebih dekat, hingga bahu mereka berserempet.

Di langit, petir sesekali menyambar, tetapi dalam lingkar lilin, dunia terasa lebih sunyi. Dan di keheningan itu, Aurora menyadari: ia masih takut, tetapi takutnya mulai memiliki bentuk yang bisa ditawar, bukan jurang tak bernama.

Catatan Aurora, larut malam:

Obsesi Tristan seperti air—bisa menenggelamkan, bisa menenangkan. Aku harus belajar berenang, bukan terus berlari.

Aku belum siap membuka pintu sepenuhnya, tetapi mungkin membiarkannya terbuka satu inci.

Cinta datang dalam bahasa aneh. Jika kubiarkan, mungkin kata-kata baru tercipta.

Aurora menutup buku, menghembus napas panjang. Ia melihat ke bantal benteng—masih tegak, namun malam ini tampak lebih rendah.

Di sisi lain pintu, Tristan berdiri sejenak, mendengarkan desah tenang di dalam kamar. Ia tidak mengetuk. Ia hanya menempelkan punggung tangan ke kayu, berbisik, “Selamat malam, Aurora. Biarkan lukamu tidur.”

Hujan mereda. Lilin-lilin di balkon padam satu per satu, tetapi aroma vanila tinggal di udara—menggantikan bau ketakutan dengan sesuatu yang belum bernama: kemungkinan.

.

.

.

Bersambung

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!