Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Pertama
Kepala Merzi mulai pusing setelah meneguk minuman berwarna ungu pekat yang disodorkan Lulu padanya. Awalnya Merzi yang bertanya bagaimana rasa minuman beralkohol itu lalu Lulu langsung menyodorkan gelasnya.
"Aku tidak tahu bagaimana mengatakan rasa anggur ini padamu. Jika ingin kau boleh mencobanya."
Merzi ragu dan melirik Ebha yang kelihatan sedang berbicara dengan dua orang perempuan. Gadis itu sempat heran dan fokus melihat Ebha yang ternyata asyik mengobrol. Setelah itu Merzi tak ambil pusing.
Tujuannya ke bar ini adalah mencoba hal baru di usia legalnya untuk masuk dan mencicipi minuman keras disini.
"Ini."
Gelas sudah ditangan Merzi. Dia menatap Sonya seperti meminta dukungan.
"Terserah kau saja, Mer. Tapi pertama kali meneguknya tenggorokanmu akan terasa panas." Ucap Sonya.
"Makanya teguk perlahan." Sambung Lulu memberi tahu.
Perlahan gelas itu menyentuh bibirnya. Fokusnya pada Sonya dan Lulu yang memberi tampang meyakinkan. Tapi tidak gadis itu sadari bahwa Ebha terus mengawasi bahkan ingin menghampiri.
"Ugh, ini menyakitkan." Merzi memegang tenggorokannya. Matanya berair menahan perih.
Melihat Merzi yang mengeluh kesakitan membuat beberapa perhatian tertuju padanya. Merzi itu bagai cahaya meteor yang jatuh ke bumi. Hadirnya sering menjadi sorotan tanpa disadarinya.
Diantara siswa-siswi itu ada Wilson yang segera mendekat ingin menahan tapi Merzi meneguk untuk kedua kalinya.
"Hey! Siapa yang memberikanmu ini?" Gelas itu langsung direbut Wilson dari Merzi.
"Ah, Wilson, kamu menggangguku!"
"Siapa yang memberikanmu wine ini, Merzi?" Tanya Wilson dari dengan tampang marah.
"Aku." Balas Lulu mengambil kembali gelasnya dan meneguk habis sisa anggur dari gelasnya. "Merzi hanya ingin mencoba."
Wilson mengarahkan tatapan kesalnya pada Lulu. "Tapi kau memberi kadar yang tinggi, Lulu!"
Lulu hanya merotasikan matanya malas.
"Sudahlah, Wilson. Jangan memarahi Lulu. Akulah yang menginginkannya sendiri."
Wilson menghela napas lalu mengangguk. Acara kembali berlanjut heboh. Pemuda itu memilih berdiri didekat Merzi karena tahu alkohol yang diminum gadis itu mulai bekerja.
Sejenak muda-mudi itu bergembira ria, bergoyang mengikuti irama. Ada Wilson dan Merzi yang menjadi pusat karena acara akhir pekan ini adalah ide dari Wilson sendiri.
"Kau terlihat begitu cantik malam ini, Merzi. Bajumu indah." Ujar Wilson menatap dalam mata Merzi.
Gadis dengan rambut putih panjang itu bersemu merah, entah karena minuman alkohol atau karena gombalan Wilson.
"Jadi yang cantik aku atau bajuku?"
Wilson tertawa kecil. "Tentu saja kau."
"Buaya!"
Makin kuat tawa Wilson. "Bergoyang lah seperti ini." Wilson menunjukkan gerakannya dan Merzi mengikuti. Mereka semakin dekat.
"Begini?"
"Ya!"
Lalu tangan Merzi diambil keatas lalu Wilson memutar tubuhnya. Mereka berdua tergelak.
Merzi menikmati malamnya walau matanya mulai berkunang. "Kepalaku pusing, Wil." Adunya memegang kepalanya. Gerakan Merzi memelan.
Wilson menahan pinggang Merzi dan menarik satu tangan gadis itu agar memegang dadanya. "Kau ingin pulang?"
Merzi menggeleng. "Tidak." Dia tersenyum menatap Wilson. "Omong-omong kau juga tampan malam ini."
"Benarkah? Terima kasih."
Tubuh mereka terdorong oleh desakan teman-teman. Merzi dengan keadaan setengah sadar mengalungkan tangannya dileher Wilson dan pemuda itu memeluk pinggang dan sesekali mengelus punggungnya yang tertutupi kain tipis.
"Kurasa mereka akan berciuman."
"Akhirnya Wilson bergerak cepat."
"Ayo, Wil! Kudengar Merzi masih digantung oleh bodyguard-nya."
Mendengar sorakan temannya membuat Wilson menggeleng dengan kekehan kecil.
Sedangkan Merzi menunduk sebentar lalu menatap Wilson kembali.
"Teman-temanmu gila."
"Mereka memang gila dan kehabisan obat."
"Jangan kau dengarkan mereka, Wil. Aku tak ingin kau cium."
Wilson diam sejenak. Sorotnya berubah gelap. Merzi ada didepan matanya sekarang. Badannya mereka berpelukan. Pemuda itu hanya tinggal menunduk dan menggapai ranum merah merona Merzi.
"Bagaimana jika aku mendengarkan mereka?"
"Yang menyorakimu untuk menciumku?"
"Ya. Apakah kau akan marah?"
Merzi mengedikkan bahu. Tangannya perlahan turun dari leher Wilson tapi temannya itu menahannya.
"Tidak tahu?"
"…. Mungkin."
"Kalau begitu jangan marah karena aku menyukaimu dan ingin menciummu, Merzi."
Sakit kepala Merzi mendadak hilang. Matanya melotot. Wilson bukan hanya berkata tapi langsung bertindak. Bibirnya dicium!
Heboh teriakan teman-teman mereka membuat semangat Wilson keluar. Dia tak membiarkan Merzi berpikir untuk melepaskan diri. Pemuda itu melumat pelan menjadi naik level mencium bibir Merzi.
"Mmm! Wil!" Berontak Merzi dalam pelukannya.
Akalnya seketika hilang. Juga karena pengaruh alkohol Wilson bertindak berani padahal sebelumnya hanya untuk memegang tangan Merzi saja dia takut karena gadis itu selalu diikuti bodyguardnya. Tapi entah dimana sekarang lelaki bertubuh tambun tapi berotot keras itu.
Bibir Merzi manis—
BUGH!
Pupus langsung apa yang akan keluar dalam otaknya tentang mulut Merzi yang berada dalam kendalinya beberapa detik lalu.
Kejadiannya begitu cepat. Wilson langsung terduduk akibat pukulan di pipinya.
"Bocah sialan!"
Umpatan itu menuju pada Wilson dari Ebha yang murka. Lalu Wilson merasakan tendangan kuat di bokongnya yang lagi-lagi dari Ebha.
"Beraninya kau menyentuh dia!" Ebha ingin kembali melayangkan pukulan, tapi tangannya yang ditahan oleh kulit halus membuat niatnya urung.
"Ebhaaa."
Apalagi setelah mendengar suara lirih dari Merzi. Lelaki itu langsung tersadar dan menoleh pada gadis yang sedang memegang kepalanya.
"Nona Merzi." Paniknya.
Lalu tubuh kecil Merzi diangkatnya. Mengabaikan seluruh tatapan ketakutan dari teman-teman perempuan pun laki-laki Merzi. Mungkin karena baru kali ini dia memperlihatkan aksi pukulnya didepan mereka dan pada pembuat acara. Wilson.
Suasana sesak penuh manusia itu berganti dengan keheningan dan terang yang Ebha bawa.
"Kepala Merzi sangat sakit, Ebha."
"Kita akan sampai diparkiran, Nona."
Dengan kakinya yang panjang dan membawa langkah yang lebar, Ebha membuka pintu mobil dan memasukkan Merzi ke dalam lalu dia ikut masuk.
Mata Merzi semakin berkunang-kunang. Dia melihat Ebha yang menunduk sedang memasang sabuk pengaman untuknya.
"Kenapa Ebha memukul Wilson?"
Mendengar pertanyaan Merzi membuat pergerakan Ebha terhenti tapi kemudian dia melanjutkannya hingga keluar suara klik dari sabuk pengaman.
Ebha membiarkan posisinya didepan tubuh Merzi. Lelaki itu menyingkirkan anak rambut Merzi yang menutupi pipinya.
"Anda bertanya kenapa, Nona?"
Merzi mengangguk lemah. "Hm." Gumamnya.
"Tidakkah anda sadar apa yang baru saja anak laki-laki itu lakukan?"
"Tapi tidak harus memukulnya."
"Lalu apa?" Tatapan Ebha jatuh pada bibir Merzi yang belepotan oleh lipstik. "Memberi tepuk tangan karena berhasil mengambil ciuman pertama dari kekasihku?" Jempolnya besarnya mengusap warna lipstik dibibir Merzi.
"Atau membiarkannya melihat anda yang bergerak gelisah? Yang mana, Nona Merzi? Hm?"
Dibalik kepalanya yang pusing, Merzi tetap berusaha mencerna kalimat panjang Ebha. Tunggu sebentar, jika tak salah dengar Ebha mengatakan 'kekasihku' tadi.
Kekasihku?
Siapa? Apakah Ebha sudah mempunyai kekasih?
Kalau benar, sungguh ini adalah patah hati pertama Merzi. Tangannya menyilang didepan dada lalu mengalihkan pandangan ke samping. "Siapa suruh Ebha selalu menolak permintaan ciuman dari Merzi?"
Raut wajah Ebha melunak. Jika tahu akan berakhir seperti ini, dari pertama kali Merzi meminta mencium bibirnya tentu Ebha akan langsung setuju.
Ebha memang dagu Merzi dan mengarahkannya untuk kembali melihatnya. "Maafkan saya untuk itu, Nona. Saya akan menebusnya sekarang."
Merzi gugup ditatap dalam begini oleh Ebha. Apalagi lelaki itu sesekali memandang bibir tipisnya.
"M—maksud, Ebha? Menebus apa?"
"Ciuman dibibir." Ebha memiringkan wajahnya. "Ini akan tetap menjadi ciuman pertama yang kamu nikmati, Marjeta."
CUP!
Lima detik Ebha membiarkan bibirnya menempel diatas bibir Merzi. Dia menunggu reaksi darinya. Dan sudut bibirnya terangkat sedikit melihat Merzi yang berkedip-kedip.
Gadis itu diam dan menurut Ebha itu adalah sebuah ijin. Perlahan lidahnya terulur menjilat mulut Merzi, menghilangkan bekas anak laki-laki sialan kurang ajar itu. Ebha dendam pada anak muda itu.
Jantung Merzi berdetak tak karuan kala Ebha menarik dagunya ke bawah dan lidah lelaki itu melesak masuk ke dalam rongga mulutnya.
"Nikmati, Marjeta, pejamkan matamu."
Ucapan itu bagai mantra sihir. Tepat setelah Merzi memejam, Ebha memperdalam ciumannya. Tidak perlu terburu, dia akan memberikan kesan lembut dan nyaman untuk pengalaman pertama Merzi.
Waktu seakan berhenti untuk Ebha dan Merzi. Sang lelaki begitu tenang menghadapi sang perempuan yang masih diam tak bergerak. Hanya napasnya saja yang beradu didepan wajahnya.
Selang beberapa menit, Ebha menjauhkan mulutnya. Matanya menatap kelopak Merzi yang perlahan membuka. Wajah gadis itu semakin merah, mulutnya masih terbuka. Ebha lagi-lagi menyentuh bibir Merzi membuat gadis itu melihat jemarinya.
"Ebha … mencium Merzi?" Mata indah itu berkedip sekali. Merzi menyentuh sendiri mulutnya. Ciuman pertamanya diambil Ebha. Ya. Ebha. Jangan sebut nama lain selain Ebha.
Ebha menurunkan tangannya. Tapi Merzi menahannya. "Maaf, Nona."
"Tidak!" Merzi menggeleng. "Cium sekali lagi!"
Ebha mengecup bibir Merzi.
"Seperti tadi, Ebha."
"Anda yang meminta, Nona Merzi. Kali ini dan seterusnya setiap anda meminta saya akan mengabuli."
Tangan Ebha menarik leher Merzi. Jempol dan telunjuknya mengunci rahang kecil Merzi. Wajahnya maju bersiap melanjutkan candu baru untuk Merzi. "Balas ciuman saya, Marjeta. Buka mulutmu."
Hiruk pikuk club dilantai paling atas di Mall itu mereka abaikan. Parkiran dengan cahaya minim menjadi saksi tempat Merzi mendapatkan ciuman pertamanya.
Ciuman pertama dari cinta pertama.
Ebha.