Menikah sekali seumur hidup hingga sesurga menjadi impian untuk setiap orang. Tapi karena berawal dari perjodohan, semua itu hanya sebatas impian bagi Maryam.
Di hari pertama pernikahannya, Maryam dan Ibrahim telah sepakat untuk menjalani pernikahan ini selama setahun. Bukan tanpa alasan Maryam mengajukan hal itu, dia sadar diri jika kehadirannya sebagai istri bagi seorang Ibrahim jauh dari kata dikehendaki.
Maryam dapat melihat ketidaknyamanan yang dialami Ibrahim menikah dengannya. Oleh karena itu, sebelum semuanya lebih jauh, Inayah mengajukan agar mereka bertahan untuk satu tahun ke depan dalam pernikahan itu.
Bagaimana kelanjutan pernikahan mereka selanjutnya?
Ikuti kisah Maryam dan Ibra di novel terbaru "Mantan Terindah".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba Husnudzan
Maryam menyampirkan tas selempang di tempatnya. Hari ini dia lelah sekali, bukan hanya lelah fisik tetapi fakta yang baru saja dia lihat tentang suaminya yang bersama Tasya ternyata jauh lebih melelahkan.
Saat ini perasaan Maryam merasa tengah dipermainkan. Sikap Ibra yang berangsur berubah lebih baik akhir-akhir hingga membuat Maryam mulai berharap pernikahan mereka bertahan selamanya kini seolah hancur dengan fakta itu. Ibra nyatanya tidak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang masa lalunya.
Kalau dipikir-pikir, mungkin memang tidak mudah untuk Ibra menghilangkan rasa yang telah tertanam begitu kuat dalam hatinya untuk Tasya, dan juga sangat sulit untuknya menyisihkan sedikit ruang untuk mengukir nama Maryam di hatinya.
Jika seperti itu bagaimana Maryam bisa mengambil alih tempat di hati suaminya. Padahal sangat tidak sulit bagi Maryam untuk jatuh cinta pada suaminya, apalagi seumur hidupnya dia belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.
Walau pun di masa sekolah sampai kuliah banyak yang mendekatinya dengan berbagai modus namun Maryam selalu berusaha membentengi diri dari menjalin hubungan tidak halal itu. Prioritasnya adalah pendidikan, dia ingin seperti kedua kakaknya yang berpacaran setelah menikah.
Saat perjodohan terjadi Maryam berusaha menerima dengan lapang dada, berharap rumah tangga yang dijalaninya kelak menjadi media ibadahnya sepanjang hayat hingga ke surga, namun melihat respon dan gerak gerik suaminya Maryam tahu jika rasa dan pemikiran yang sama seperti dirinya tidak bisa dipaksakan pada Ibra hingga muncullah ide kesepakatan tidak tertulis itu.
Beberapa hari lagi menjelang Ramadan dan setelah Ramadan Maryam tahu apa yang harus dilakukannya.
"Baiklah, kita nikmati dulu hari ini, selesaikan apa yang bisa diselesaikan, ikuti saja alurnya dan nikmati setiap prosesnya."
"Bismillah Yaa Allah, aku percaya Engkau telah mengatur takdir terbaik untukku dan Kang Ibra." Maryam berdiri dari sofa yang ada di kamarnya, dia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sejak pulang tadi dia malah larut dalam lamunan tentang kehidupan rumah tangganya dengan Ibra, untung saja salat Magrib sudah dilakukan saat perjalan pulang tadi bersama teman-temannya.
Ceklek ...
Maryam membuka pintu kamar mandi dengan menggunakan handuk kimono dan kepala yang berbalut handuk.
Dia tidak membawa baju ganti karena dipikir kamarnya hanya ada dirinya, namun ternyata Ibra sudah duduk di sofa dan menatap tajam ke arahnya.
"Akang sudah pulang? Mau mandi dulu, sebentar aku siapkan dulu air hangatnya.
Maryam berbalik masuk lagi ke dalam kamar mandi, walau pun dia tadi sempat terkejut karena keberadaan suaminya di kamar namun dengan cepat Maryam mengendalikan hati dan raut wajahnya kembali seperti biasanya.
"Sudah Kang, silakan." Maryam keluar dan berjalan menuju lemari pakaian untuk mengambil baju ganti.
"Iya" singkat, hanya iya yang keluar dari mulut Ibra menanggapi istrinya. Sampai saat ini sikap datar dan irit bicaranya masih melekat begitu erat.
"Heum, seperti itulah suamiku." gumam Maryam yang melanjutkan niatnya untuk berpakaian.
Kumandang adzan Isya sudah berlalu satu jam yang lalu namun Maryam baru menggelar sajadah untuk melaksanakan salat Isya, selain terlalu larut dalam lamunan dia juga cukup lama berada di kamar mandi.
Ceklek, suara pintu kamar mandi yang terbuka.
"Kamu belum salat Isya?" tanya Ibra dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Maryam sejenak menoleh lalu kembali mengalihkan tatapannya ke atas sejadah.
"Belum." jawabnya tanpa melihat Ibra.
"Kalau gitu tunggu aku, kita salat berjamaah." Ibra setengah berlari menuju tempat tidur dimana baju tidurnya sudah berada di atas kasur disiapkan Maryam.
"Iya." Maryam mengambil baju koko dan kain sarung lalu menyimpannya di atas tempat tidur, dia pun mengambil sajadah baru dan menghamparkannya untuk sang suami.
Tanpa canggung Ibra memakai bajunya di sisi tempat tidur, dan di sisi lain Maryam memilih duduk di atas sajadah sambil menunduk karena tahu Ibra sedang memakai baju.
Walaupun mereka pernah berada di bawah selimut yang sama tanpa sehelai kain pun yang melekat di tubuh keduanya namun Maryam masih saja malu jika melihat Ibra seperti itu.
"Ayo!" seru Ibra.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar ..." Maryam melafalkan lafal iqamah dengan Ibra yang sudah berdiri di hadapannya bersiap untuk menjadi imam.
"Allohu Akbar." suara takbir yang diucapkan Ibra menggema mengisi setiap sudut kamar mereka.
Di saat seperti ini ada ketenangan batin yang Maryam rasakan, sejenak dia lupa dengan prahara yang tengah melanda rumah tangganya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Ibra bergeser merubah posisi duduknya menjadi menyamping hingga dia dapat melihat Maryam yang tengah mengucapkan salam terakhir.
"Kang." dengan takdzim Maryam mencium tangan Ibra dan dibalas dengan kecupan kening oleh Ibra.
Nyesssss ... Hatinya terasa sejuk, hawa panas dan sesak yang sempat membuat sempit dadanya seketika sirna dengan perlakuan manis imamnya.
"Akang, bagaimana bisa akang berlaku manis seperti ini padaku sementara beberapa jam yang lalu akan bersama wanita yang sangat akang cintai." batin Maryam dengan mata hampir berkaca-kaca.
"Kamu kenapa?" tanya Ibra yang menghentikan dzikir nya karena melihat Maryam melamun.
"Hah, tidak apa-apa." Maryam mengelak, dia buru-buru berdiri untuk melaksanakan salat sunnah rawatib ba'da Isya.
"Akang mau makan? Atau ..."
"Aku sudah makan tadi." jawab Ibra memotong pertanyaan Maryam. Seketika Maryam mengatupkan bibirnya, pikirannya langsung menerka jika Ibra pasti sudah makan malam bersama Tasya.
"Baiklah." Maryam beringsut dari tempatnya duduk di atas sajadah, dia membuka mukenanya dan diganti dengan hijab instan pendek yang tidak menutupi semua area dadanya, hanya bagian atas. Dia meraih selimut dan menariknya untuk menutupi tubuhnya.
"Loh, kenapa pake baju piama gitu?" Maryam yang sudah berada di atas tempat tidur dan hendak memejamkan mata kembali terbangun mendengar ucapan suaminya dengan nada yang tidak suka.
"Kenapa? Ini piama, baju tidur Kang. Gak ada yang salah." jawab Maryam dengan intonasi merendah.
"Enggak enggak, jangan pakai yang itu tidurnya ganti sama daster tanpa lengan kayak semalam." titah Ibra membuat Maryam menghela nafas.
"Itu lagi kenapa mau tidur pake jilbab, buka." titah Ibra lagi,
Maryam diam, dia tidak buru-buru menuruti kemauan suaminya.
"Kenapa? Kamu marah sama aku?" tanya Ibra dengan nada mulai merendah, dia merangkak naik ke atas tempat tidur dan mendekati Maryam.
"Kamu marah karena tadi aku gak jadi jemput kamu?"
"Maaf, tadi aku benar-benar ada kerjaan mendadak yang harus diselesaikan jadi enggak bisa jemput kamu." Maryam kembali menghela nafas, bayangan kebersamaan Ibra dan Tasya di lobby rumah sakit Harapan Kita kembali melintas di pikirannya.
Maryam masih terdiam, dia menunggu apakah Ibra akan menceritakan kebersamaannya dengan Tasya atau tidak.
"Akang sepertinya capek sekali, istirahatlah." balas Maryam berusaha mengukir senyum di bibirnya. Dia tidak menanggapi permintaan maaf Ibra. Hatinya sempat berharap Ibra cerita tentang pertemuan atau kebersamaannya dengan Tasya tapi ternyata tidak.
"Tapi kamu belum memaafkan aku."
"Tidak perlu minta maaf, akang tahu mana yang lebih harus diprioritaskan."
"Maryam, aku tidak bermaksud ..."
"Iya Kang, aku ngerti, pekerjaan akang sangat sibuk. Aku tidak apa-apa, aku sudah memaafkan akang. Sekarang mari kita istirahat, akang pasti lelah apalagi ada kerjaan yang tiba-tiba dan harus selesai, pasti sangat menguras energi dan emosi."
"Tapi kamu ganti baju dulu dong."
"Aku lelah Kang." ucap Maryam dengan tatapan sendunya membuat Ibra tak mampu lagi berkata dan menganggukan kepala.
"Heumm, tidurlah." Ibra mengusap puncak kepala Maryam, namun saat hendak mengecup keningnya Maryam keburu merubah posisinya dari duduk menjadi tidur.
"Akang kali ini aku akan tetap berhusnudzan dengan apa yang kamu lakukan bersama Tasya, jika ada kebohongan selanjutnya, maaf jika aku mengambil tindakan." Maryam membatin, dilafalkannya do'a sembari memejamkan mata.
Ibra menatap wajah istrinya yang sudah memejamkan mata, dia belum mengantuk. Beberapa menit kemudian posisi tidur Maryam berubah menjadi membelakanginya membuat Ibra seketika bangun dari posisi tidurannya.
makin nyut2tan hati ini,gmn ibra perasaan mu stlh tau semua yg kau lakukan tak dpt d sembunyikan dr istri,krn perasaan istri itu sangat peka.....
maryam semangat😭💪