Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Di rumah lama Arlena dimana Arlena didudukkan paksa di depan cermin kecil yang retak.
Tangannya masih terikat, mulutnya masih dibungkam kain.
Wajahnya memucat, matanya sembab. Ia hanya bisa menangis dalam diam.
Ibunya memulas bedak ke wajah Arlena sambil bergumam:
“Kamu akan menikah dengan Semo. Dia orang kaya, dia yang mau menanggung semua utang keluarga kita.”
“Bahagiakan keluarga kita, Arlena. Jangan jadi anak durhaka lagi.”
Arlena terus menggelengkan kepalanya. Air matanya tak berhenti jatuh.
“Kau pikir hidup itu tentang cinta? Tidak! Ini tentang bertahan. Kalau kau kabur lagi, kami semua bisa masuk penjara!”
Ryan dan Dimas berdiri di ambang pintu dengan jas sewaan, tersenyum licik.
“Semo sudah siap di ruang tamu. Penghulu sebentar lagi datang. Paksa saja dia menikah. Toh dia nggak punya siapa-siapa.”
Arlena menangis sesenggukan. Dalam hatinya ia memanggil satu nama.
“Tuan Aldric… tolong aku…”
“Saya terima nikahnya…”
“TUNGGU!!”
Suara keras dan tegas itu memecah suasana. Semua orang menoleh termasuk Semo yang hampir menggenggam tangan Arlena. Pintu rumah mendadak terbuka lebar.
Aldric berdiri di sana.
Matanya tajam. Nafasnya memburu karena berlari. Di belakangnya, dua pria berpakaian hitam mengikuti, siap siaga.
“Apa yang kalian lakukan pada wanita ini?”
Ibu Arlena, Ryan, Dimas, dan Semo semua terpaku.
“Siapa kamu?!” bentak Semo.
“Aku… orang yang akan menghancurkan hidup kalian kalau tidak melepas dia sekarang juga.”
Aldric berjalan mendekat tanpa rasa takut. Ia langsung menunduk dan membuka ikatan kain yang menutup mulut Arlena.
“Tuan… Aldric…” suara Arlena parau, tubuhnya gemetar.
“Maaf aku terlambat,” bisik Aldric, lalu menatap tajam ke arah Semo.
“Kau hampir menghancurkan masa depan wanita ini. Dan kalian semua…” tatapannya beralih ke keluarga Arlena yang sudah melewati batas
Semo melangkah maju dengan marah, tapi anak buah Aldric langsung menghadangnya.
“Tangkap mereka. Bawa ke kantor polisi. Termasuk ibunya.”
Ryan dan Dimas mencoba melarikan diri, tapi anak buah Aldric lebih cepat.
Arlena hanya bisa menangis saat Aldric melepaskan ikatan di pergelangan tangannya dan memeluknya lembut.
“Kau tidak sendiri lagi, Arlena.”
Di dalam mobil, suasana hening. Hanya suara AC dan deru mesin yang terdengar pelan. Arlena duduk dengan tangan gemetar di pangkuannya, matanya terus menatap ke bawah.
Aldric meliriknya sekilas, lalu merogoh saku jasnya dan mengulurkan sapu tangan putih bersih.
“Hapus riasanmu. Kau terlihat seperti ondel-ondel.”
Arlena terkejut. Seketika ia menatap Aldric, dan untuk pertama kalinya setelah kejadian tadi, ia tertawa kecil.
Tawa yang masih bercampur air mata.
“Ondel-ondel?”
Suara Arlena serak namun diselingi senyum malu.
Ia menerima sapu tangan itu dan perlahan menghapus wajahnya yang penuh bedak dan lipstik murahan.
“Terima kasih, Tuan…”
“Aku... aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Anda tidak datang.”
Aldric menatap jalan di depan mereka, rahangnya mengeras, lalu berkata tenang:
“Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi. Kau milikku sekarang. Dan siapapun yang mencoba mengambilmu… akan berhadapan denganku.”
Arlena menunduk, hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Sesampainya di rumah, Arlena turun dari mobil dengan langkah pelan.
Rumah besar itu kini terasa berbeda bukan hanya megah, tapi juga memberikan rasa aman yang selama ini tidak ia miliki.
Aldric membuka pintu rumah lebih dulu, lalu menoleh ke belakang.
“Masuk. Kau perlu istirahat.”
Arlena mengangguk, masih menggenggam sapu tangan milik Aldric yang kini sudah penuh sisa riasan dan air mata.
Ia melangkah masuk dan langsung disambut hangat oleh dua staf kepercayaannya.
“Nona Arlena! Kami khawatir sekali!”
“Kau tidak apa-apa, kan?”
Arlena hanya tersenyum lemah, lalu berkata lirih,
“Aku hanya ingin tidur…”
Aldric mengangguk pada stafnya.
“Bawa dia ke kamarnya. Pastikan dia tidak diganggu malam ini.”
Sesaat sebelum Arlena masuk ke kamarnya, ia menoleh pada Aldric dan berbisik pelan,
“Terima kasih, Tuan… untuk semuanya.”
Aldric hanya mengangguk, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang dalam.
Saat pintu kamar tertutup, ia berdiri sejenak, menghela napas panjang.
“Aku tidak akan membiarkanmu jatuh lagi, Arlena. Aku janji.”
Beberapa hari setelah kejadian itu, Arlena mulai bangkit.
Luka di hatinya memang belum sepenuhnya sembuh, tapi ia sadar terpuruk hanya akan membuat orang-orang jahat merasa menang.
Ia tidak ingin membuat Aldric sedih, apalagi ia sudah menyelamatkan hidupnya dua kali.
***
Pagi itu, Arlena bangun lebih awal. Ia mengenakan apron dan masuk ke dapur dengan semangat yang baru. Dua staf rumah tersenyum melihatnya.
“Pagi Nona Arlena. Senang melihatmu tersenyum lagi.”
“Hari ini spesial,” jawab Arlena sambil tersenyum,
“Aku akan masak ayam bakar dan sayur asam. Dan... salad buah juga.”
Tangannya lincah menyiapkan semua bahan. Aroma wangi bumbu rempah perlahan memenuhi dapur.
Ayam dipanggang dengan sempurna, sayur asam mendidih pelan, dan buah-buahan segar dipotong rapi untuk salad.
Ia juga menyempatkan diri berdandan rapi dan mengenakan seragam pelayan yang telah disiapkan oleh Aldric.
“Bu Retno pasti datang hari ini,” gumamnya sambil menatap pantulan dirinya di cermin dapur.
“Aku harus menunjukkan padanya bahwa aku kuat.”
Tak lama kemudian, suara mobil terdengar di halaman depan.
Bu Retno telah datang.
Arlena menarik napas panjang dan mengangguk pada dirinya sendiri.
“Aku bukan Arlena yang dulu lagi.”
“Selamat pagi, Bu Retno.”
Suara ramah Aldric menyambut kedatangan pelatih etika itu. Bu Retno masuk dengan langkah tegap dan senyuman khasnya.
Di ruang makan, meja sudah tertata rapi dengan hidangan yang menggoda selera: ayam bakar yang terlihat juicy, sayur asam hangat dalam mangkuk besar, dan semangkuk salad buah warna-warni yang segar.
Aldric menarik kursi untuk Bu Retno dan duduk di ujung meja.
“Ayo kita sarapan dulu.”
Bu Retno mengangkat alisnya melihat penyajian makanan yang cantik.
“Siapa yang memasak semua ini?”
Aldric menoleh ke Arlena yang berdiri ragu di sisi meja.
“Ini semua kamu yang masak?” tanyanya sambil tersenyum kecil.
Arlena mengangguk pelan. “Iya, Tuan. Saya ingin mencoba membuat sesuatu yang berbeda hari ini.”
“Dia memang jago masak,” ucap Aldric bangga.
“Kau harus coba ayam bakarnya, Bu Retno.”
Bu Retno mengambil sepotong ayam, mencicipinya perlahan. Seketika matanya membulat.
“Wah... ini luar biasa enak, Arlena!”
Arlena tersenyum malu dan menunduk.
“Terima kasih, Bu.”
Suasana sarapan pagi itu hangat dan tenang. Tidak ada ketegangan, hanya kekaguman pada Arlena yang kini perlahan tumbuh menjadi wanita yang mandiri, kuat, dan... spesial.
Aldric melirik Arlena diam-diam.
“Senyum itu... akhirnya kembali.”
“Wah, wah... harum sekali dari luar sudah kecium.”
Sebuah suara riang terdengar dari arah pintu utama. Arlena yang sedang membereskan gelas menoleh cepat, dan Bu Retno ikut menoleh dengan kening sedikit mengernyit.
Aldric berdiri dari kursinya.
“Kau datang juga, Raka.”
Seorang pria dengan jas kasual, wajah tampan dan senyum santai masuk sambil mengendus-endus udara.
“Serius, ini rumah apa restoran bintang lima?” ucap Raka sambil tertawa kecil.
Matanya tertuju pada meja makan yang masih penuh dengan sisa sarapan. Lalu ke arah Arlena.
“Kamu yang masak semua ini?” tanyanya, tampak tak percaya.
Arlena mengangguk malu-malu.
“I-iya.”
“Hebat banget.” Raka menoleh ke Aldric. “Kamu simpan berlian, Ric.”
Aldric hanya tersenyum tipis. “Dia bukan untuk dipamerkan, apalagi untuk dikomentari berlebihan.” Ucapannya terdengar tenang, namun cukup membuat Raka mengangkat tangan seolah menyerah.
“Oke, oke. Aku cuma kagum.”
Bu Retno mengangguk setuju. “Dan kamu harus mencicipi masakannya. Sungguh, ini masakan rumah terbaik yang pernah saya makan.”
Raka duduk di kursi kosong, mengambil salad buah.
“Kalau gitu, aku diundang sarapan kedua dong, ya?”
Arlena tertawa kecil. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa dirinya benar-benar dihargai. Rumah ini, perlahan, mulai terasa seperti rumah yang sebenarnya.