Kalandra merupakan siswa pintar di sekolah dia selalu datang tepat waktu, Kalandra bertekad untuk selalu membahagiakan ibunya yang selama ini sendiri menghidupinya. Kalandara ingin memiliki istri yang sifatnya sama seperti ibunya dan setelah dia berkata seperti itu, ternyata semesta mendengar doanya Kalandra bertemu seorang gadis cantik ketika dia membaca buku di perpustakaan. Kalandra terpesona oleh gadis itu yang belakangan di ketahui bernama Aretha. Apakah Aretha juga punya perasaan yang sama seperti Yang Kalandra rasakan. Jangan lupa selalu tunggu cerita menarik dari Kalandra dan Aretha ya...!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hani Syahada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 CPPP
Aku pun memegang tangan Aretha dan berbicara kepadanya, kalau jangan takut karena ada aku di sini.
“Oke Retha, kita jalan sekarang! Kamu jangan takut ya.. ada aku di sampingmu, sekarang pegangan yang erat oke!" Ujarku yang berusaha menenangkan Aretha agar dia tidak panik.
Kami berdua kembali melanjutkan perjalan, namun yang bikin aku takjub adalah jalan menuju rumah neneknya tidak seseram yang aku bayangkan, malahan jalan menuju ke tempat nenek Aretha, di penuhi dengan lampu-lampu cantik berwarna-warni, apalagi pintu gapuranya juga di hiasi ornamen-ornamen unik khas desa itu.
Pantas saja Aretha bilang dia tidak takut jika jalan sendiri pulang, karena desanya seindah ini tetapi setelah di pikir-pikir menurutku lebih baik Aretha aku antar, karena jalan sebelum desa ini sangat minim penerangan, jadi mana mungkin aku membiarkan dia jalan naik motor sendiri.
“Retha, desamu ini unik ya.. punya ciri khas gitu, bagus banget tahu!"
Ucapku, sambil memandangi lampu-lampu indah di sepanjang jalan, menuju rumah nenek Aretha.
"Iya dong, desa nenekku memang sangat indah apalagi para warganya sangat kreatif, meskipun desa ini tidak sebesar desamu! Tetapi para warga berusaha untuk membangun desa ini menjadi lebih baik, kamu juga bisa kok! Sering-sering ke sini, nanti aku temani keliling desa deh..!”
Ucap Aretha yang begitu antusias menceritakan desa neneknya.
Setelah perjalan yang panjang menuju desa nenek Retha, akhirnya kita berdua tiba di rumah, Retha pun segera mengetuk pintunya dan setelah menunggu beberapa menit, nenek Retha pun membuka pintu dan saat membuka pintu, aku kira nenek Retha sudah berusia 60 atau 70 tahun tapi ternyata neneknya masih muda, usianya sekitar 40 tahunan, kenapa aku bisa menebak usia neneknya karena ketika aku melihat pintu rumahnya terdapat biodata diri, mungkin saja itu untuk memudahkan dalam sensus penduduk. Dan itu berarti orang zaman dahulu menikah di usia yang relatif muda.
Setelah kami bersalaman, nenek Aretha pun mempersilahkan aku masuk.
“Ayo.. Nak, masuk dulu! nenek buatkan kalian minuman, pasti kalian capek habis perjalanan jauh!"
Ujar nenek Retha yang mukanya sangat mirip dengannya seperti ibu dan anak, pantas saja Aretha cantik sekali karena itu ternyata turunan dari neneknya.
Aku pun tidak bisa berlama-lama di rumah Retha karena hari sudah gelap, apalagi ibuku sendirian di rumah.
“Tidak usah Repot-repot Nek, saya lansung pulang saja, soalnya ibu saya sendirian di rumah! Ucapku sambil melangkah keluar untuk pulang.
Namun sebelum aku pamit pulang, nenek Retha memintaku untuk menunggu sebentar karena dia ingin membawakan aku oleh-oleh terang bulan manis buatannya.
“Nak, tunggu sebentar ya.. nenek kasih kamu oleh-oleh, nanti kamu makan sama ibumu ya.. karena ibumu suka sekali oleh-oleh ini, dulu ibumu sering main ke sini dan tidak pernah ketinggalan dengan terang bulan buatan nenek!" Ujar nenek Retha sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil terang bulan.
Jadi oleh-oleh yang di maksud nenek Retha adalah terang bulan, aku baru tahu kalau ibuku sering ke sini tapi kenapa ibu tidak cerita sama aku, apa mungkin karena sebelumnya aku belum mengenal Retha, sehingga ibuku tidak memberitahukannya.
Namun setahuku, ibu tidak terlalu suka makanan manis, apa mungkin selama ini aku kurang peka tentang makanan kesukaan ibuku sendiri.
Sehingga membuat aku merasa bersalah sama ibu karena aku tidak tahu makanan kesukaannya, sepertinya mulai sekarang aku harus lebih peka, tapi yang bikin aku bingung adalah aku kan belum memperkenalkan diriku sama nenek Retha tapi dari mana neneknya tahu kalau aku anaknya siti.
“Nek, kok! Bisa tahu kalau saya anaknya siti teman ibunya Retha? Ucapku dengan penuh penasaran sambil melirik terang bulan yang nenek Retha bawa.
“Nenek, tentu tahu dong! Dari mukamu saja sudah plek ketiplek kopian ibumu! Apalagi saat ibumu masih muda, mirip banget sama kamu cuma beda jenis kelamin saja! Asal kamu tahu ya.. dulu tempat nenek ini sudah menjadi rumah ke dua bagi mereka, setiap hari setelah pulang sekolah ibumu selalu mampir ke sini!" Ujar nenek Retha, sambil membungkus terang bulan.
Dan karena aku masih penasaran, aku pun menanyakan kembali sama nenek tentang mereka, karena nenek Retha bilang kalau rumahnya sudah menjadi rumah ke dua bagi mereka. Aku ingin tahu mereka ini apakah merujuk pada ibu dan paman Malik saja atau ada teman lain.
“Maaf Nek, kalau boleh saya tahu, teman ibu Retha selain ibu saya dan ayahnya apakah ada lagi nek? Ujarku sambil memakai helm karena aku harus cepat pulang.
Aku bertanya seperti itu karena berharap kalau ayahku Panji juga berteman sama mereka, aku ingin sekali mendengar cerita tentang ayahku karena selama ini ibuku jarang sekali mengungkitnya. Ibuku hanya bilang kalau ayahku adalah orang baik.
“Oh.. kalau untuk teman lain, nenek kurang tahu nak! Karena yang biasa datang ke sini ya... cuma ibumu dan ayah Retha! Nenek, tidak tahu pertemanan yang lain di luar pertemanan ibumu dan ibu Retha!”
Ucap nenek Retha, sambil mengambil beberapa sisa terang bulan yang ada di ruang tamu.
Perkataan nenek Retha itu, tiba-tiba membuat hatiku menjadi sedih karena aku masih berharap mendapat info tentang ayahku tetapi sepertinya nenek Retha tidak mengenal ayahku, aku pun segera pamit pulang.
”Nek, saya pamit pulang dulu ya..! Ucapku yang kemudian menaiki motor.
“Iya nak, hati-hati ya.. Retha masih mandi! Jadi nenek yang mewakilinya untuk bilang hati-hati jangan ngebut-ngebut!” ujar nenek Retha yang melambaikan tangannya kepadaku.
Aku pun segera pergi dari rumah neneknya Retha, di sepanjang perjalanan aku masih saja memikirkan tentang persahabatan ibuku dan ibu Retha yang ternyata sudah terjalin sangat lama.
Waktu itu, memang ibuku pernah bercerita tentang ini namun aku kira hanya teman kuliah saja tapi ternyata pertemanan itu sudah ada dari sekolah SMA, bahkan ibuku sering ke rumah neneknya Retha, pantas saja ibu marah sama aku, ketika aku lama mengantar Retha, karena jalan menuju ke rumah nenek Retha jauh dan gelap dan hanya jalan di desa Retha saja yang terang.
Namun jika nenek Retha hanya tahu ibuku dan ayahnya Retha, lantas bagaimana ibu dan ayahku bisa bertemu, apa mungkin mereka teman kuliah atau teman kerja, aku tidak tahu karena memikirkannya saja membuatku pusing.
Namun aku masih penasaran tentang sosok ayahku karena dia mampu membuat ibuku tidak menikah lagi, aku penasaran sekuat apa cinta mereka karena aku juga ingin belajar bagaimana mencintai dengan tulus, tetapi jika aku ingin mengetahui soal ayahku, orang yang paling tahu adalah ibuku tapi apa mungkin, ibuku mau bercerita karena jujur saja sampai saat ini, aku belum berani mengulik lebih dalam kisah ibu dan ayahku.
Aku takut membuka luka lama yang telah ibu pendam, tapi aku kan anaknya, masak aku tidak boleh tahu ayahku, tapi waktu yang tepat kapan, apa mungkin besok saja karena kebetulan hari libur tapi tidak tahu kenapa aku ragu tentang hal itu.
Namun jika aku tidak bicara besok, aku akan terus bertanya-tanya dan bingung sendiri perihal info ayahku, padahal aku hanya ingin ibu lebih terbuka sama aku karena bagaimanapun aku ini anak kandungnya dan suatu saat aku juga akan menjadi seorang suami dan juga ayah, aku hanya ingin belajar menjadi laki-laki yang bertanggung jawab sama seperti ayahku.