Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Sementara itu, Aluna duduk di dekat jendela apartemen dengan cemas. Senja telah turun, dan Zayyan belum juga pulang. Ia sudah memasak sesuatu yang sederhana, berharap bisa menyambut pria itu dengan kehangatan setelah hari yang melelahkan. Tapi sekarang, makanan itu sudah dingin di atas meja.
Ketika bel apartemen berbunyi, Aluna sontak berdiri.
Begitu membuka pintu, ia terpaku.
Zayyan terbaring di pelukan rekannya, wajahnya pucat, napasnya lambat.
"Apa yang terjadi?!" teriak Aluna panik.
"Dia pingsan setelah misi penyelamatan. Dokter sudah memeriksanya, dia baik baik saja... kami pikir lebih baik dia istirahat di rumah."
Aluna segera membantu membuka jalan. Mereka membaringkan Zayyan di sofa, lalu salah satu dari mereka memberi Aluna beberapa pesan penting dari dokter sebelum akhirnya pamit.
Kini hanya tinggal mereka berdua.
Aluna duduk di lantai di samping Zayyan, memegang tangannya yang hangat namun lemah.
"Zayyan... tolong bangun..."
Wajah pria itu terlihat damai, namun sorot matanya—meski terpejam—memancarkan rasa sakit yang sangat dalam.
Dalam keheningan malam, Aluna menyeka peluh di keningnya dengan lembut. Ia tidak tahu cerita masa lalu Zayyan secara lengkap, namun malam ini, ia merasakannya. Luka yang dalam. Trauma yang belum sembuh.
Dan entah sejak kapan, Aluna merasa bahwa hatinya ikut tenggelam di dalam luka itu.
"Aku nggak tahu siapa yang kau lihat di kobaran api tadi... tapi sekarang, kau di sini, aman... dan aku akan menunggumu sadar."
Di luar jendela, hujan mulai turun pelan. Seolah langit pun ikut merasakan nyeri yang tersembunyi dalam jiwa seorang pria yang memilih menyelamatkan dunia meski jiwanya sendiri tak pernah benar-benar terselamatkan.
...----------------...
Malam kian larut ketika Aluna melangkah pelan melewati ruang tengah apartemen yang diterangi hanya oleh lampu gantung temaram. Wajahnya terlihat lelah, tetapi pikirannya tetap gelisah. Zayyan masih belum sadar sejak teman-temannya membawanya kembali dari lokasi pemadaman. Lelaki itu tertidur tak bergerak di atas sofa panjang, tubuhnya terbalut sisa debu dan aroma asap yang samar-samar masih menempel.
Dengan hati-hati, Aluna berjalan ke arah kamar untuk mengambil selimut yang tadi ia lipat dan letakkan di atas tempat tidur. Namun saat tangannya baru saja menyentuh kain selimut itu, suara lirih yang begitu memilukan membuat langkahnya terhenti.
"Alya... jangan tinggalkan aku... jangan... aku janji aku akan datang... aku janji..."
Aluna terdiam. Suara itu lirih, rapuh, dan nyaris tercekik oleh luka yang tampaknya belum pernah benar-benar sembuh. Ia membalikkan badan, bergegas kembali ke ruang tengah, mendapati Zayyan yang masih dalam tidurnya namun wajahnya terlihat begitu gelisah. Dahi lelaki itu berkerut, seolah tengah bertarung dalam mimpi buruk yang terus menghantuinya.
"Alya... aku minta maaf... aku datang terlambat... aku tak bisa menyelamatkanmu... maafkan aku..."
Air mata perlahan menggenang di mata Aluna. Ia tak tahu siapa Alya, tapi dari cara Zayyan mengigaukan namanya, dari kepedihan yang terpancar di suaranya, ia bisa merasakan betapa besar luka itu. Hatinya terhimpit oleh rasa iba yang dalam. Tanpa berpikir panjang, ia segera duduk di lantai, tepat di samping Zayyan, dan meraih tangan lelaki itu, menggenggamnya erat.
"Zayyan..." bisiknya pelan.
Lelaki itu menggeliat sedikit, tetapi masih terpejam. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan tidak teratur.
Aluna mendekatkan wajahnya, matanya memandangi sosok yang tampak begitu rapuh itu. Tanpa sadar, ia mengangkat tangan kanannya, lalu mengusap rambut Zayyan dengan lembut, menyisir anak-anak rambut yang menempel di dahinya.
"Sadarlah, Zayyan... semua itu sudah berlalu," bisiknya, suaranya serak namun hangat. "Jangan takut... jangan takut. Semua akan baik-baik saja."
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/