Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Sisi Lain Nathan
Seharusnya hari itu terasa sempurna. Nathan baru saja melewati hari-hari manis bersama Clarissa—gadis yang selama ini ia kagumi dalam diam, dan kini resmi menjadi kekasihnya. Segalanya tampak berjalan sesuai harapan.
Namun, semakin hari, ada satu sosok lain yang semakin sulit diabaikan.
Celeste.
Wanita itu muncul tiba-tiba dalam hidupnya, dengan gaya bicara yang lugas tapi tetap santun, penuh semangat namun tak pernah melewati batas. Awalnya, Nathan menganggap kehadirannya sebagai gangguan. Tapi kini, ia mulai menyadari sesuatu.
Celeste terlalu baik. Terlalu ringan tangan, terlalu murah senyum. Terlalu… tidak biasa.
Siapa, sih, orang yang dengan rela membantu pria yang sedang ia jodohkan… untuk bisa bersama wanita lain?
Malam itu, Nathan tak bisa tidur. Ia duduk di balkon kamarnya, menggulir layar ponsel, berpikir ulang tentang semua interaksi mereka. Tentang makan malam yang Celeste siapkan, tentang Clarissa yang tiba-tiba berubah menjadi lebih percaya diri—semua karena Celeste. Tentang Celeste yang merias Clarissa diam-diam, dan bahkan membantu menyusun kata-kata saat Nathan ingin menyatakan cinta.
Semua itu terasa tulus… tapi juga ganjil.
“Apa sih maunya dia sebenarnya?”
*
Pagi harinya, Nathan bangun lebih awal dan turun ke halaman belakang. Ia menemukan Celeste sedang menyiram tanaman dengan ember kecil, mengenakan piyama panjang dan sandal rumah. Rambutnya dikuncir asal, dan ia bersenandung pelan.
Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Nathan. Ia memutuskan untuk mendekat.
“Pagi, Celeste.”
Celeste menoleh. “Eh, kamu bangun pagi juga? Tumben.”
Nathan menyilangkan tangan. “Nggak bisa tidur.”
“Kenapa? Clarissa ngorok?” candanya ringan.
Nathan tersenyum samar. Tapi tak membalas lelucon itu.
Mereka berjalan pelan ke arah kolam ikan. Celeste meletakkan embernya dan berjongkok, memberi makan ikan dengan sisa roti. Nathan duduk di tepian batu, diam beberapa saat.
“Kenapa kamu lakuin semua ini?”
Celeste menoleh dengan alis berkerut. “Semua apa?”
“Membantu aku dan Clarissa. Kamu bahkan bukan bagian dari rumah ini… tapi kamu seolah tahu segalanya. Kamu yang menuntun semuanya berjalan lancar. Aku cuma… heran.”
Celeste tertawa kecil. “Aku cuma suka membantu orang jatuh cinta. Itu hal paling indah dalam hidup, kan?”
“Tapi kamu… nggak dapat apa-apa dari sini.”
Celeste terdiam. Senyumnya tetap ada, tapi matanya tampak menyimpan sesuatu. Ia berdiri dan mengambil embernya kembali.
“Kadang kita nggak harus dapat apa-apa untuk merasa bahagia,” jawabnya pelan.
*
Sore harinya, Nathan hendak mengambil jasnya yang tertinggal di ruang laundry. Tapi saat lewat di ruang setrika, ia melihat pintu sedikit terbuka. Di dalam, Celeste sedang berdiri membelakangi cermin, mengenakan blouse tipis dan sedang mengecek punggungnya sendiri.
Nathan nyaris memanggilnya—tapi langkahnya terhenti saat melihat sesuatu.
Di punggung Celeste, tepat di bawah tulang belikat, ada bekas luka memanjang. Luka lama, samar, tapi sangat jelas. Bukan luka jatuh biasa. Tapi seperti bekas sabetan—panjang, membekas, dan dalam.
Celeste menyadari keberadaannya dan buru-buru menarik kembali bajunya. Ia berbalik cepat.
“Nathan! Astaga, kamu ngagetin!”
Nathan tetap berdiri di ambang pintu. Wajahnya bingung, khawatir, dan... penasaran.
“Itu… di punggungmu…”
Celeste tertawa canggung. “Ah, itu? Nggak penting. Luka waktu kecil. Aku jatuh dari tangga, seingatku.”
Nathan mengernyit. “Itu kelihatan seperti...”
“Serius, nggak penting.” Celeste memotong cepat. “Aku dulu anaknya aktif banget, lompat sana-sini. Kadang tembok, kadang pohon.” candanya, mencoba mencairkan suasana.
Nathan masih menatapnya, tidak yakin.
Celeste menambahkan sambil tersenyum lebar, “Mungkin aku bercita-cita jadi ninja waktu kecil.”
Tapi Nathan tetap tak tertawa.
Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang rapuh di balik sosok Celeste yang selalu ceria. Sebuah lapisan yang selama ini tersembunyi di balik senyum dan leluconnya.
Dan malam itu, saat Nathan kembali ke kamarnya dan mencoba tidur di sisi Clarissa, rasa penasaran itu masih tertinggal.
Tentang Celeste.
Tentang luka di punggungnya.
Tentang semua yang ia tutupi dengan senyum manis.
Dan Nathan tahu, rasa penasarannya belum selesai.