"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Musibah
Langkah kaki Murni terhenti mendadak ketika melihat kepulan asap hitam membumbung tinggi di atas atap rumahnya. Nafasnya tercekat, dan tubuhnya membeku di tempat. Api itu menerkam habis-habisan rumah yang selama ini menjadi tempat berteduh mereka.
Dengan tangan gemetar, Murni meraih kedua adiknya, memeluk mereka dengan erat.
“Itu… itu rumah kita…” Bisiknya dengan suara tercekat, sebelum akhirnya tubuhnya bergetar hebat dalam tangis.
Kaan baru datang menyusul pun terkejut melihat kobaran api yang begitu ganas. Matanya menelusuri sekeliling, dan di sana di antara kerumunan para warga, ia melihat sosok Pak Aryo yang berdiri diam, seperti patung batu yang kehabisan jiwa. Tatapannya nampak kosong menatap api yang melahap rumahnya, membuat cahaya di matanya tampak pudar seketika.
Tak jauh dari sana, Murni bisa mendengar suara tangisan histeris dari sang ibu. Bu Mita menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, “Rumahku… rumahku… Ya Allah…” Leyla yang berada di sisinya berusaha memeluk dan menenangkan, namun tangisan bu Mita sudah tak terbendung.
Tak jauh dari hiruk-pikuk para warga yang panik, Kaan melihat sosok ayahnya, berteriak sambil membawa ember dan berlari cepat demi memadamkan kobaran api yang kian melebar itu.
“Cepat! Ambil air lagi! Panggil pemadam!” Teriaknya dengan lantang, sampai akhirnya seseorang menyahut panik, “Pak, letak pemadam kebakaran dari sini sangat jauh! Rumah Pak Aryo keburu hangus sebelum mereka sampai!”
Kaan langsung ikut membantu, mengambil air dari sungai bersama para warga. Tatapan matanya kembali mencari-cari keberadaan ibunya dan ibu mertuanya, dan ketika sorot matanya menangkap kedua sosok tersebut, akhirnya ia bisa bernafas lega. Beruntungnya insiden itu tidak memakan korban.
.
.
.
Satu jam berlalu. Beruntungnya api yang berkobar itu akhirnya berhasil dipadamkan, namun sayangnya rumah yang sempat dilahap si jago merah itu sudah menjadi arang. Tidak ada yang tersisa, selain sebagian puing-puing reruntuhan rumah.
Pak Aryo masih berdiri di tempat yang sama. Tatapannya kosong, begitupun dengan bahunya yang ikut berguncang ketika melihat keadaan rumahnya. Pak Jonathan mendekatinya, lalu menyentuh pundak pak Aryo dan mengusap dengan perlahan.
“Sabar, pak Aryo… ini semua, cobaan dari Yang Maha Kuasa.”
Semilir angin membawa bau arang yang masih hangat. Perlahan, tubuh Pak Aryo akhirnya bisa merespons, matanya berkedip, dan bibirnya tampak bergetar, sebelum akhirnya ia jatuh terduduk di tanah, dengan kedua tangannya yang menutupi wajahnya.
“Semuanya salahku…” isaknya lirih.
Air matanya jatuh, membasahi tanah berbatu yang masih hangat. Tubuhnya gemetar, bersamaan dengan suara tangis putus adanya yang terdengar dalam.
Aryo menyesal dan menyalahkan dirinya sepenuhnya atas kehancuran tempat tinggalnya. Ini semua karena ia yang lupa mencabut colokan kabel radio yang rusak di stopkontak, ia lupa melepaskannya, sebelum akhirnya stopkontak itu terbakar dan menciptakan percikan api yang perlahan melahap seluruh dinding beserta lantai rumahnya yang seluruhnya terbuat dari papan kayu.
Murni jatuh berlutut di dekatnya, masih memeluk kedua adiknya yang juga menangis. Mereka saling berpegangan, mencoba saling menguatkan dalam reruntuhan rumah yang kini hanya tinggal kenangan.
Sementara itu, Leyla masih memeluk bu Mita, berusaha menenangkan tangisnya yang tak berhenti.
Waktu berlalu dengan cepat setelah api padam. Para warga kini berkumpul, duduk bersama Pak Aryo dan keluarganya yang masih larut dalam duka. Ucapan-ucapan penghiburan terus mengalir, meskipun tak mampu mengganti apa yang telah hilang.
“Yang sabar ya, Pak… rumah bisa dibangun lagi. Tapi yang penting keluargamu selamat.”
“Bapak ndak sendiri, pak. Kami semua di sini siap bantu.”
Kalimat-kalimat itu menggantung di udara, jadi pengingat bahwa di tengah duka, masih ada harapan yang menyala pelan.
.
.
.
Hari mulai berganti. Matahari pagi menyinari rumah bu Sri, rumah sederhana milik tetangga yang sudah lama mengenal keluarga Murni. Karena rasa iba dan rasa kemanusiaan, juga hasil keputusan warga setempat, akhirnya keluarga Murni diperbolehkan tinggal sementara di sana, sampai rumah mereka bisa dibangun kembali.
Di serambi rumah itu, bu Mita duduk sembari memeluk lututnya, sorot matanya menatap kosong ke arah puing-puing rumahnya yang masih tampak dari kejauhan. Matanya masih sembab, begitupun dengan pipinya yang tampak tirus karena semalaman menangis.
Dengan suara lirih dan hampir tak terdengar, ia bertanya pada suaminya, “Pak, rumah kita bagaimana? kita akan tinggal di mana pak?”
Pak Aryo terdiam sangat lama, bahkan saat angin menerpa wajahnya dan anak-anaknya duduk di dekat mereka, ia tetap tak menjawab. Nafasnya berat, dan matanya memerah menahan air mata. Ia tahu tak ada harta lain selain rumah itu. Mereka bukan orang kaya. Mereka tidak punya cadangan harta maupun simpanan. Hanya ada rumah tua yang kini telah berubah menjadi abu.
Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh lembut bahu bu Mita, membuat wanita paruh baya itu langsung menoleh dan bertemu tatapan dengan wajah berkerut bu Sri. Bu Sri tampak tersenyum kecil dengan sorot mata penuh keyakinan
“Tenang ya, bu. Kita semua akan bantu. Saya percaya… dari musibah ini, pasti akan ada jalan keluarnya. Jadi, jangan di pikiran sendiri.”
Ucapan itu membuat dada bu Mita terasa sedikit lebih lapang, meski air matanya tetap jatuh perlahan.
Tak jauh dari sana, Pak Jonathan menatap reruntuhan rumah Aryo, lalu menghampiri Leyla yang sedang duduk di samping Murni dan mertuanya.
“Leyla,” panggilnya pelan.
Leyla menoleh, sebelum akhirnya manik mata mereka saling bertemu. Leyla bisa menyadari bahwa suaminya itu tengah serius, dilihat dari ekspresi wajahnya.
“Let’s talk.” Ujar Jonathan.
Mendengar itu, dengan cepat Leyla berdiri dan mengikuti suaminya menjauh dari kerumunan.
Mereka berhenti di balik pohon rindang, cukup jauh dari telinga orang lain.
“Kita harus bantu mereka." Kata Jonathan dalam bahasa Inggris. “Membangun satu rumah bukan hal sulit untuk kita. Kita punya cukup uang, koneksi, dan tenaga.”
Leyla terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata pelan, “Aku tahu... Tapi mungkin, kita bisa membiarkan Kaan yang mengurus ini.”
Mata Jonathan menyipit, mencoba memahami maksudnya. “Maksudmu, kita berikan tanggung jawab itu ke dia?”
Leyla mengangguk pelan. “Ya. Sudah saatnya dia belajar memimpin. Belajar merasakan beban orang lain seolah itu beban dirinya sendiri. Ini bukan cuma soal bangun rumah, Jon… tapi soal hati. Kepedulian, dan kedewasaan.”
Jonathan menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu, usulan istrinya itu ada benarnya.
“Baiklah. Kita serahkan keputusan ini ke dia.”
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣