Jihan Alessa. Gadis ceria yang selalu mengejar cinta lelaki bernama Abintang Sagara.
Namun, ternyata perasaannya itu justru menambah luka di hidupnya. Hubungan yang seharusnya manis justru berakhir pahit. Mereka sama-sama memiliki luka, tetapi tanpa sadar mereka juga saling melukai karena itu.
"Suka lo itu bikin capek ya."
"Gue nggak pernah minta lo suka gue."
Rumah yang seharusnya tempat paling aman untuk singgah, justru menjadi tempat yang paling bahaya bagi Jihan. Dunia seakan mempermainkan hidupnya bagai badai menerjang sebuah pohon rapuh yang berharap tetap kokoh.
"Kamu adalah kesialan yang lahir!"
Itulah yang sering Jihan dengar.
Pada akhirnya aku pergi—Jihan Alessa
__________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Affara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa
...Semakin besar ketakutanmu, semakin lama juga keberhasilan mu....
..._____________...
Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, menetes perlahan hingga dagu. Pena di tangannya berhenti, seperti tak punya arti lagi. Kertas ujian menatapnya dengan tatapan kosong, seolah mengejek betapa lambatnya ia bekerja. Nafas Jihan tersenggal, matanya menatap angka-angka yang tak kunjung membentuk jawaban. Satu persatu temannya mulai bangkit dan melangkah keluar, meninggalkan dirinya sendirian dalam ruang yang mendadak dingin nan sunyi.
Detik jam dinding bagai suara palu Godam, mengingatkan nya jika waktu semakin berkurang, sedangkan kertasnya masih banyak yang kosong. Sepatu kulitnya menari gelisah di atas lantai, menghantam permukaan berulang kali saat gelisah.
Ayo Jihan, Lo pasti bisa!!!
Berulang kali ia meyakinkan diri bahwa ia pasti bisa. Namun, saat ingin menjawab soal terakhir, suara bel terdengar nyaring membuat tubuhnya melemas.
Waktu ujian sudah selesai.
Jihan langsung menulis jawaban asal, meski setelahnya kertas itu di ambil langsung oleh Pak Leon, selaku penjaga ujian di ruang kelasnya. "Maaf, ya. Saya ambil karena waktu sudah habis," Kata pria itu lembut sedikit membuat Jihan tenang.
"Ga pa-pa, Pak. Ini juga salah saya karena kurang fokus," Jawabnya sopan, mengundang tatapan tertarik Leon.
Tak kala ia menyadari betapa pucatnya wajah Jihan, Leon segera bertanya dengan penasaran, "Muka kamu pucat sekali, apa kamu sakit?" Jihan sontak menggeleng cepat.
"Saya cuma belum sarapan aja kok, Pak. Muka saya emang kayak gini kalo lagi laper, hehe," Ujarnya mencoba melepaskan candaan, berharap Leon percaya jika ia baik-baik saja.
Tapi Leon bukanlah anak kecil yang gampang di bodohi, dia adalah guru olahraga, yang pasti sudah paham betul tentang kesehatan. Fisik Jihan terlihat jelas jika sedang menahan rasa sakit. "Lebih baik kamu pulang jika sedang tidak fit. Jangan memaksa berangkat. Nanti tubuhmu drop," Titahnya menasehati.
Jihan tersenyum simpul. Leon memang sangat jeli jika menyangkut kesehatan muridnya. "Saya baik-baik aja kok, Pak. Nanti janji deh saya istirahat sebentar di UKS. Tapi jangan paksa saya pulang ya Pak, pliss!" Mohon Jihan.
Leon memandangi lama. Kemudian ia mengangguk pasrah. Memaksakan kehendaknya hanya akan berakhir sia-sia. "Terserah kamu saja. Tapi ingat, jika sudah mulai parah segera izin pulang. Saya tidak mau mendengar kamu jatuh pingsan di sekolah, oke?"
Tangan Jihan terangkat tinggi, membentuk sikap hormat. "Hehe siap! Makasih om ganteng!" Ujarnya cengengesan membuat Leon menggelengkan kepalanya.
"Baiklah, saya pergi dulu. Nanti jangan jajan aneh-aneh, sarapan yang sehat. Saya akan mengizinkan kamu untuk mengerjakan soal ujian di UKS. Tapi jangan gunakan kesempatan itu untuk menyontek, atau saya hukum kamu tidak boleh mengikuti Ujian lagi, paham?"
Jihan mengangguk senang. "Pahamm pak boss!" Leon tersenyum kecil lalu melangkah pergi meninggalkan ruang kelas.
Di tengah pandangan masih fokus pada kepergian Leon, Jihan dikejutkan oleh suara siswa yang sedang bergosip di depan kelasnya. Perkataan mereka terdengar jelas di telinga Jihan. Perlahan ia bangkit dan mendekati sumber suara, meski hanya berdiri di depan pintu.
"Tahu gak si Kiara?"
"Kenapa emangnya?"
"Dia akhir-akhir ini deket banget sama Abintang. Kesel gue, mana tiap hari berduaan mulu di lab kayak orang pacaran!" Cibir Lina, siswi berkepang satu.
Silfia mengerutkan kening. "Bukannya Abintang sama Jihan ya? Mereka kan udah jadian seminggu lalu," Sahutnya menimpali.
Lina berdecak, "Fi, jangan bawa-bawa Jihan bisa? Muak gue dengernya. Lagian kalo dibandingin sama Kiara, Jihan mah gak ada apa-apanya! Kiara cantik, pinter, berprestasi pula, mana mungkin Abintang gak kepincut!" Semprotnya dengan nada jengkel.
"Palingan Abintang nerima Jihan karena kasihan mungkin?" Ujar satu siswi berkacamata. Kemudian mereka tertawa tanpa beban membuat raut wajah Silfia berubah.
Kasihan?
Ia merasa aneh kenapa banyak sekali yang berpikir seperti itu, karena menurut Silfia Abintang itu tulus, terlihat dari cara lelaki itu menatap Jihan. Tapi dia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.
Jihan yang masih mendengar perkataan mereka pun hanya bisa terdiam. Keraguannya untuk menjalin hubungan bersama Abintang semakin menumpuk.
Apa iya Jihan memang tidak pantas bersanding dengan Abintang?
Jawabannya sudah pasti iya.
Jihan menarik sudut bibirnya, berusaha tetap tegar. Lalu perlahan melangkah keluar dari kelas, melewati dua sejoli yang baru saja membicarakan dirinya.
Silfia memandang Jihan kikuk sedangkan Lina terlihat sinis. Tapi gadis itu memilih tak menghiraukan mereka, dan terus melangkah melewati lorong lantai dua menuju lab di mana kekasihnya berada.
Meski bermodal tekad.
Jihan mencoba menguatkan hatinya ketika sudah berdiri di ambang pintu. Memandangi sosok Abintang yang begitu lembut mengajari Kiara yang tampak kebingungan.
Lalu tangan lelaki itu terangkat, mengusap pucuk rambut Kiara dengan penuh perhatian.
"Makasih ya Abintang. Aku sayang sama kamu."
"Gue juga."
Kamu. Dengan sejuta pesona yang berhasil meluluhkan hatiku. Satu-satunya tempat di mana aku bisa mendapatkan kebahagiaan di dunia ini. Namun sekarang, kebahagiaan itu justru menjadi luka yang amat terdalam menggores ku.
Jika suatu saat aku telah pergi. Mungkin kamu akan lebih bahagia dengan sosok gadis di sampingmu. Yang berhasil menumbuhkan senyum di bibirmu.
Maafkan sosokku yang hanya menjadi penghalang hubunganmu dengan gadis yang kau cintai.
Perlahan kakinya melangkah mundur. Menyadari sebuah tembok besar yang menghalanginya untuk masuk. Setetes air telah jatuh dari pelupuk matanya. Jihan mendongak, berharap itu adalah hujan. Tapi matanya hanya melihat atap putih yang kosong.
__________
Dia butuh luka yang lebih perih untuk menetralkan rasa sesak di hati.