Cinta yang di nanti selama delapan tahun ternyata berakhir begitu saja. Harsa percaya akan ucapan yang dijanjikan Gus abid kepadanya, namun tak kala gadis itu mendengar pernikahan pria yang dia cintai dengan putri pemilik pesantren besar.
Disitulah dia merasa hancur, kecewa, sekaligus tak berdaya.
Menyaksikan pernikahan yang diimpikan itu ternyata, mempelai wanitanya bukan dirinya.
menanggung rasa cemburu yang tak semestinya, membuat harsya ingin segera keluar dari pesantren.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nadhi-faa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Waktu begitu cepat berlalu. Ujian madin telah usai, para santriwati sibuk dengan acara yang akan digelar di akhir tahun ini, unduh mantu pernikahan gus abid, pernikahan masal para santri, dan yang terakhir acara haflah akhirussanah.
"tema tahun ini apa ya?."
"aku dengar konsepnya pernikahan ala timur tengah."
"itukan resepsi unduh mantu, kalau acara pernikahan masal."
"mungkin ala Bollywood."
"masak?."
"aku dengar sih begitu, soalnya banyak mbak-mbak yang ikut pesan baju wedding ala india."
"pasti mewah."
"kelihatannya iya."
Di depan meja, gadis yang sibuk merangkai buket satin pesan itu tengah menelan senyum masamnya.
Mendekati pernikahan masal para santri, harsa disibukan oleh banyaknya orderan. dari balik baju dan jilbab besar itu, tubuhnya semakin kurus. Harsa hampir lupa makan jika tidak ada talita yang mengajaknya.
wajahnya sayu, pandangannya seolah tak ada semangat.
Talita hanya mampu menatap sendu. sahabatnya yang pura-pura baik-baik saja itu sangat menyedihkan baginya.
"besok ya akad nikahnya?."
pembicaraan mereka seolah mengingatkan harsa, bahwa dia sudah tak memiliki harapan lagi. Mas abi-nya bukanlah milikinya, pria dengan kepribadian hampir sempurna itu bukanlah takdir baginya.
sakit, kecewa, menyalahkan takdir.
kenapa doa sepertiga malamnya tak terjawab, ah doanya telah kalah dengan doa gadis yang menjadi calon istrinya.
siapa gadis itu? putri kyai mana yang menjadi jodohnya?
Dalam hati harsa bertanya-tanya. namun dia enggan untuk menanyakan pada umma halimah maupun gus abid sendiri.
Besok, besok mas abi sudah bukan lagi harapannya...
Kalimat yang tiba-tiba muncul, berdengung pada telinganya.
harsa menundukkan kepala. air matanya meleleh, membasahi kertas Wrapping.
"neng harsa."
selalu panggilan marwa. harsa menoleh menatap ketua kamar yang baru saja datang, dia lupa menghapus air matanya yang masih mengalir di pipi.
"neng harsa nangis?."
pertanyaan marwa, membuat para penghuni kamar menatap kearah harsa.
"ada apa neng?."
harsa segera menggeleng.
"mata gue panas..."
"ah iya, neng harsa dari semalam kan jarang tidur, dia lagi banyak orderan."
Harsa mengangguk, dia tersenyum canggung.
"ada apa mar?."
"ah, ini. titipan dari ndalem."
marwa segera memberikan paper bag.
Harsa menerimanya, dia membuka sedikit. ah ternyata gaun.
"umma halimah bilang, besok sampean diminta ke ndalem setelah sholat subuh ning."
harsa mengangguk.
***
Makan malam yang tidak biasa. Sebastian menatap cucunya yang hadir menemani makan malamnya.
"tumben kamu ingat rumah?."
Pertanyaan itu tak dijawab. axel duduk didepan kakeknya, membuka piring lalu mengambil nasi dengan tenang.
"ini sudah lebih dari tiga hari Axel, bahkan sudah lebih satu minggu. aku memutuskan kamu sudah menyetujuinya menikah dengan putri angkat sepupu ayahmu itu?."
Axel menghentikan gerakannya mengambil lauk, namun hanya sesaat.
"baiklah."
jawaban pelan, namun penuh dengan kepasrahan itu membuat sebastian terkejut. pria tua itu menelisik cucunya yang sedang fokus menghidangkan makanannya sendiri.
"kamu serius?."
"bukankah kakek juga serius?."
sebastian berdehem.
"makanlah dengan tenang, besok kita akan mulai lamaran."
Kini axel yang dibuat terkejut. perkataan lamaran seolah kalimat yang begitu enteng.
apa kakek sudah tak waras...
Axel hampir saja tersedak oleh air liurnya. dia menatap kakeknya dengan tatapan yang horor namun sesaat.
"lakukanlah sesuka hatimu."
"baiklah."
Sebastian mengangguk-angguk dengan bangga dan perasaan yang amat senang. meski dalam hati dia cukup penasaran dengan cucunya, hal apakah yang membuat dia setuju dengan mudahnya dengan gadis pilihannya, meski sebenarnya ini adalah jawaban yang menunggu waktu cukup lama.
"selesaikan makanmu. aku sedang ingin istirahat ke kamar."
Axel mengangguk, dia tidak menghalangi kakeknya yang akan pergi ke kamar.
"halimah, cucuku sudah memutuskannya, besok malam aku akan melakukan lamaran sederhana."
tak membutuhkan waktu lama sambungan terputus, sebastian akhirnyan lega. semoga saja Axel tidak berubah pikiran.
***
Pagi hari, pesantren cukup ramai, kerabat dekat kyai maulana dan umma halimah memenuhi ruang keluarga ndalem sejak subuh tadi.
Harsa baru saja masuk ke ndalem lewat pintu belakang.
"harsa, lama kita tidak ketemu."
sapa annisa, sepupunya, putri dari adik kyai maulana.
"iya.".
harsa hanya tersenyum kecil menanggapi annisa yang seumuran dengannya, mereka tak sering jumpa, tak akrab namun juga cukup kenal.
Annisa segera menyingkir dari pintu, setelah mengetahui bahwa harsa akan masuk.
" kamu sudah tahu calon istrinya mas abid?."
Deg,
pertanyaan annisa seolah sebuah pisau melesat pada dadanya.
Ekspresi harsa yang aneh itu sudah ditebak oleh gadis ekstrovert itu.
"belum tau ya? kukira mas abi udah curhat sama kamu. ternyata enggak."
"kami sudah dewasa nisa. tidak sedekat dulu."
"ah iya, bukan muhrim."
Harsa sebenarnya ingin mencakar annisa, namun dia memilih mengabaikan dari pada membuat kegaduhan dan melenggang pergi ke kamar lamanya.
umma halimah sedang di make up oleh seorang mua yang dia sewa. bahkan beberapa mua juga di datangkan untuk sekedar merias para wanita kerabatnya.
"harsa, kamu di dalam sayang?."
setelah selesai di mak up, umma halimah langsung menghampiri kamar putri angkatnya.
"iya umma."
harsa yang baru saja selesai mengganti bajunya segera menyambar jilbab, memakainya dengan asal.
"ada apa umma?."
tanya harsa, pada wanita paruh baya yang masih cantik di usianya yang tak muda lagi. Gamis brokat berwarna gading itu sangat bas dengan warna kulit umma halimah, harsa baru menyadari jika baju yang diberikan padanya itu sama dengan baju yang dipakai umma halimah.
"kamu cantik dengan baju itu."
"makasih umma."
"ingin di make up?"
Harsa menggeleng pelan, umma halimah tidak memaksa kehendaknya.
"umma ingin masuk ke kamar boleh. "
Harsa mengangguk.
Umma halimah mendorong bahu putrinya, dia mendudukkan harsa di kursi depan meja rias. harsa membiarkan ibu angkatnya melakukan sesuka hatinya, termasuk melepas jilbabnya, menarik tali rambut dari rambut-nya.
Rambut hitam sedikit kecoklatan itu tergerai indah, menutup seluruh bahunya sampai ke pinggang.
"umma sudah lama tidak menyisir rambut sa."
celetuk umma halimah, wanita paruh baya itu jadi mengingat masa kecil harsa.
"harsa juga rindu di kuncir umma."
"tapi kamu bukan anak-anak lagi harsa."
umma halimah terkekeh mengingat bahwa dia sering mengepang dua rambut harsa. dia tersenyum mengingat masa dulu.
Harsa menatap wajah umma halimah dari cermin yang memantulkan tubuh mereka berdua.
"kamu cantik sayang. pasti suami kamu beruntung memiliki putri umma ini."
umma halimah mulai menggerakkan sisir di rambut harsa dengan pelan.
Harsa masih menatap wajah umma halimah dari cermin, tapi entah mengapa matanya tiba-tiba mengembun.
"kamu kenapa sayang?."
harsa menggeleng, bersama air matanya yang meluncur begitu saja. dia menoleh, dan langsung memeluk tubuh umma halimah yang masih berdiri.
Umma halimah terdiam, tangannya mengelus punggung harsa yang terisak -isak.
"umma kenapa mas abi menikah?." ucapan itu meluncur begitu saja.
Umma halimah memejamkan matanya, menahan dadanya yang juga ikut bergemuruh setelah mendengar pertanyaan harsa.
"maafkan umma harsa,"
Wanita baya itu bukan tidak tahu akan perasaan dua anaknya. Dia lebih mengetahui, sebelum dua anaknya tumbuh dengan cinta dan harapan, namun perjodohan itu sudah ada sebelum harsa hadir dihidup putranya. Awal kelahiran neng elsa yang menjadikan perjodohan itu ada dan ditetapkan oleh sesepuh, antara kakek neng elsa dan ayah mertuanya. Umma halimah tidak bisa berbuat apa-apa.
"Umma, harsa suka sama mas abi..."
Ucap harsa pelan, perasaanya terpecah begitu saja tanpa dia bendung. didepan ibunya dia terisak-isak layaknya anak kecil.
Umma halimah menepuk pelan punggung putrinya dengan berat.
"umma tahu nak. tapi perjodohan itu sudah ada sebelum kamu hadir."
kini harsa tergugu.
"bisakah umma membatalkannya?."
umma menggeleng.
"harsa, lupakan perasaan kalian..., demi umma, demi keluarga abahmu.."
Harsa menggigit bibirnya.
dia terluka dan kecewa secara bersamaan. apa yang bisa dia lakukan selain tergugu dalam dekapan ibu angkatnya.
"harsa, tolong lupakan perasaanmu, kamu bisa kan?."
kini umma halimah memohon pada putrinya. harsa hanya bisa menelan tangisnya agar tidak terlalu kencang.
"umma percaya kamu bisa, tapi abi?...." umma halimah tidak melanjutkan katanya.
Seolah dia tahu betul bagaimana watak putranya, dia ibu kandungnya tentu dia yang tahu jalan pemikiran anak satu-satunya.
"tapi dada harsa sakit umma.."
umma halimah melepaskan pelukan harsa. tangannya mencengkeram pelan pundak putrinya.
"harsa, umma buka tak peduli dengan perasaan kalian, tapi demi masa depan pesantren, kubur perasaan kalian dalam-dalam. neng elsa adalah keluarga terpandang, memutuskan pernikahan yang tinggal beberapa jam itu adalah penghinaan pada keluarga besar kyai baharudin."
ucapan umma halimah seolah menampar perasaan gadis itu.
nama neng elsa yang disebutkan bagaikan palu yang menghantam dadanya.
neng elsa, wanita muda yang cerdas dan anggun itu adalah calon suami gus abid.
harsa sudah kalah talak, ketika nama neng elsa disebutkan. putri bungsu satu-satunya yang ada di keluarga kyai bahar, selain dia pintar dan cantik, latar belakang juga tak main-mainnya.
Harsa memejamkan matanya. bun matanya mengalir deras, namun dia segera menyeka -nya. pandangan gadis muda itu langsung tertuju pada ibu sambungnya.
"bolehkah aku meminta sesuatu umma?."
"ya, asalkan tidak meminta untuk membatalkan pernikahan mas mu?."
"setelah mas abi menikah, bolehkan aku tinggal diluar pesantren?."
umma halimah melebarkan matanya, namun dia cepat-cepat bersikap normal.
"umma tidak bisa memutuskan sekarang harsa. tapi umma akan coba tanyakan pada abahmu."
wanita baya itu tidak bisa gegabah dalam mengambil keputusan untuk putri angkatnya.
"hapuslah air matamu nak, kamu harus mengantarkan mas mu."