Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sama-Sama Salah
Hari reuni akhirnya tiba. Sejak pagi Yuna sudah gelisah, bolak-balik memeriksa isi tasnya, memastikan semuanya lengkap. Rizal sempat menelpon di pagi hari untuk meminta maaf, meeting dengan klien besar dari luar kota tak bisa ia tinggalkan.
Kamu yakin bisa sendiri?” Suara Rizal di ujung telepon terdengar penuh kekhawatiran.
“Aku yakin, Mas.” Jawab Yuna sambil berusaha tersenyum meski Rizal tak bisa melihatnya.
“Lagian aku kan cuma datang, salam, ngobrol sebentar, terus pulang.”
“Oke. Tapi kalau ada apa-apa, langsung telepon aku. Jangan ragu.”
Sore itu, Yuna melangkah masuk ke lobi hotel yang tampak megah dengan dekorasi lampu gantung kristal. Aroma kopi dan parfum mewah bercampur di udara. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menghantam.
Langkah Yuna terdengar pelan saat memasuki ballroom hotel megah itu. Aroma wangi bunga lili bercampur harum makanan dari buffet langsung menyambutnya. Cahaya lampu gantung kristal membuat semua terlihat berkilau… dan entah kenapa, membuat detak jantungnya semakin terasa berat.
Tatapan-tatapan singkat dari teman-teman lama mengarah padanya, beberapa penuh senyum ramah, tapi sebagian lain penuh bisik-bisik yang tak susah ditebak. Berita pertunangannya dengan Rizal sudah lebih dulu sampai di telinga mereka.
Yuna menelan ludah, lalu melangkah menuju meja registrasi.
Dan di sana, berdiri seseorang yang sudah lama tidak ia lihat.
Seseorang yang dulu pernah menjadi orang terdekatnya, sebelum semuanya berubah.
Sinta Rahardian.
Gaun malam berwarna merah maroon yang ia kenakan menegaskan keanggunannya. Rambutnya yang disanggul rapi membuat garis rahangnya semakin tegas.
Sinta menoleh. Sekilas terkejut, lalu bibirnya melengkung dalam senyum… senyum yang sulit ditebak artinya.
"Yuna..." Sapanya datar.
"Akhirnya datang juga." Ucapnya kemudian.
"Hai, Sin… lama nggak ketemu." Yuna mengangguk pelan.
"Ya..." Jawab Sinta, tatapannya menyapu Yuna dari atas sampai bawah.
"Dan ternyata, banyak hal yang berubah sejak terakhir kita ketemu."
Yuna tahu, yang dimaksud Sinta bukan hanya soal dirinya yang sudah bekerja, tapi juga… soal Rizal.
"Aku senang kamu bisa hadir..." lanjut Sinta sambil menandai namanya di daftar.
"Tapi jujur, aku nggak nyangka kamu mau datang. Mengingat…"
"Aku juga nggak nyangka akan berdiri di sini. Tapi mungkin… ini saatnya untuk menyelesaikan yang dulu belum sempat selesai." Yuna menarik napas.
Tatapan mereka bertemu. Ada bara lama yang belum padam di mata Sinta, tapi ada juga sesuatu yang menyerupai rasa ingin tahu.
Lalu Sinta memberi isyarat kepada pelayan untuk mengantar Yuna ke meja tamu VIP.
"Silakan." Kata Sinta, sebelum berbalik.
"Kita akan bicara nanti… kalau kamu siap."
Yuna hanya bisa menatap punggung Sinta yang menjauh, sambil merasakan bahwa malam ini tidak akan berjalan biasa saja.
Udara malam di rooftop terasa sejuk, ditemani gemerlap lampu kota yang membentang di bawah sana. Yuna memegang gelas jus di tangannya, tapi tak benar-benar meminumnya. Sejak tadi, pikirannya penuh dengan satu nama... Sinta.
Pintu kaca bergeser.
Sinta melangkah keluar, sepatu haknya mengetuk lantai kayu dengan ritme pelan.
"Aku tahu kamu bakal ada di sini.” Ucapnya.
Yuna menoleh sekilas.
Sinta berdiri di sampingnya, menatap kota yang sama. Beberapa detik berlalu tanpa suara, hanya angin malam yang berdesir di antara mereka.
"Kamu tahu nggak, Yun..." Sinta akhirnya membuka suara.
"Alasan aku marah waktu itu… bukan cuma soal pak Rizal."
Yuna mengerutkan kening.
"Kalau bukan soal dia, lalu apa?"
"Aku merasa… kamu nggak pernah anggap aku sahabatmu." Sinta tersenyum pahit.
Yuna terdiam.
"Kita sama-sama tahu..." Lanjut Sinta,
"Pak Rizal itu… populer di sekolah. Aku memang kagum sama dia... ya, siapa yang nggak? Dia pintar, baik, dan… charming. Tapi itu cuma kekaguman biasa, Yun. Nggak pernah lebih."
"Tapi..." Yuna hendak menyela.
"Tunggu..." Potong Sinta.
"Yang bikin aku marah, itu karena gosip di kelas. Ada yang bilang kamu sengaja menjauh karena takut aku bakal dekat sama pak Rizal. Gosip itu bikin aku ngerasa kamu nggak percaya aku. Bahwa… persahabatan kita kalah sama seorang laki-laki yang belum tentu kita bisa memilikinya."
“Tapi ternyata kamu bisa...” Imbuh Sinta menyinggung soal hubungannya dengan Rizal.
Yuna menunduk, rasa bersalah menyelimutinya.
"Itu… nggak benar, Sinta. Aku memang jaga jarak, tapi bukan karena nggak percaya sama kamu. Aku cuma… bingung waktu itu. Semua orang ngomongin aku sama Rizal, dan aku nggak tahu gimana harus bersikap."
Sinta menarik napas panjang.
"Sayangnya, waktu itu aku percaya sama gosip itu. Dan kita malah bertengkar… sampai akhirnya nggak pernah bicara lagi."
Sunyi sejenak.
“Terakhir kali aku lihat kamu... Waktu mami kamu meninggal. Sebenernya aku dateng... Tapi yang masuk ke rumah cuma Fabian.”
“Maaf...” Mata Sinta terlihat berkilat.
Yuna memberanikan diri menatap Sinta.
"Kalau waktu bisa diulang, aku mau pilih untuk ngomong sama kamu langsung… bukan menjauh."
Sinta menatap balik. Tatapan yang tadi penuh jarak kini sedikit melunak.
"Mungkin… kita memang sama-sama salah waktu itu."
Untuk pertama kalinya malam itu, senyum kecil terukir di wajah mereka berdua, meski samar, tapi itu tanda bahwa luka lama mereka mulai menemukan jalan pulang.
Setelah percakapan di rooftop mereda, Yuna dan Sinta kembali ke ballroom. Musik lembut mengalun, lampu gantung kristal memantulkan kilau ke seluruh ruangan.
Langkah mereka terhenti saat seseorang memanggil dari arah belakang.
"Yuna? Sinta?"
Mereka menoleh bersamaan.
Seorang pria dengan setelan jas rapi, rambut disisir ke belakang, tersenyum lebar sambil berjalan mendekat. Sorot lampu kamera dari beberapa orang di ruangan menyorotinya, wajar saja, Fabian kini adalah influencer terkenal, dengan jutaan pengikut di media sosial.
"Fabian…" Suara Sinta setengah terkejut, setengah kagum.
Fabian membuka kedua tangannya, seolah menyambut reuni kecil itu.
"Astaga, akhirnya kita bertiga ketemu lagi. Kayak mimpi..."
"Udah lama banget, ya." Yuna tersenyum tipis.
Mereka bertiga berdiri dalam lingkaran kecil, seolah waktu mundur kembali ke masa SMA, ketika mereka selalu makan siang bersama di kantin sekolah elit mereka. Dulu, mereka bertiga tak terpisahkan. Fabian si populer dengan bakat panggung, Sinta si cerdas dan elegan dan Yuna si pendiam tapi diam-diam jadi pusat perhatian karena kecerobohannya.
"Jujur..." kata Fabian sambil tertawa kecil.
“Aku dulu capek banget jadi penengah kalian. Setiap ketemu kalian berdua rasanya kayak jadi wasit."
Sinta melirik Yuna sekilas.
"Ya… itu semua karena kita sama-sama keras kepala."
Fabian menatap mereka bergantian, lalu nada suaranya menurun sedikit.
"Waktu kalian berdua berhenti ngomong… rasanya aneh. Kita bertiga bener-bener putus komunikasi. Aku juga salah sih, sibuk ngejar karier, shooting sana-sini. Nggak ada waktu buat ngerangkai lagi pertemanan kita."
"Fab, itu bukan salah kamu." Jawab Yuna pelan.
"Mungkin… kita semua cuma perlu waktu masing-masing."
"Kalau gitu, mumpung kita udah ketemu lagi, jangan sampai hilang kontak. Setuju?" Fabian tersenyum hangat.
"Setuju." Sinta mengangguk.
Yuna ikut tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan canggung.
Seorang teman lama tiba-tiba menyelutuk di dekat mereka, setengah bercanda namun cukup keras untuk terdengar semua.
"Eh, aku pernah dengar deh Fabian bilang di podcast kalau cinta pertamanya teman sekolah. Jangan-jangan… yang dimaksud salah satu dari kalian, ya?"
Beberapa pasang mata langsung melirik Yuna dan Fabian. Ada yang tertawa kecil, ada yang saling tukar pandang.
Fabian hanya tersenyum samar, tatapannya menancap ke mata Yuna sedikit lebih lama dari seharusnya.