Lisna seorang istri penyabar dan tidak pernah mengeluh pada sang suami yang memilih menganggur sejak tahun ke tiga pernikahan mereka. Lisna dengan tulus menjadi tulang punggung keluarga.
Setelah tujuh tahun pernikahan akhirnya sang suami terhasut omongan ibunya yang menjodohkannya dengan seorang janda kaya raya. Dia pun menikahi janda itu atas persetujuan Lisna. Karena memang Lisna tidak bisa memberikan suaminya keturunan.
Namun istri kedua ternyata berhati jahat. Dia memfitnah Lisna dengan mengedit foto seakan Lisna sedang bermesraan dengan pria lain. Lagi lagi suaminya terhasut dan tanpa sadar memukul Lisna bahkan sampai menceraikan Lisna tanpa memberi kesempatan Lisna untuk menjelaskan.
"Aku pastikan ini adalah air mata terakhirku sebagai istri pertama kamu, mas Fauzi." Ujarnya sambil menghapus sisa air mata dipipinya.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Saksikan di serial novel 'Air Mata Terakhir Istri Pertama'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air mata Lisna
Saat ujung gunting hampir sampai di jantung Lisna, pintu rumahnya digedor gedor dengan sangat kuat oleh seseorang. Suara gedoran pintu yang sangat keras itu membuat Lisna tersadar. Gunting pun terlepas dari tangannya jatuh ke lantai.
"Astaghfirullah… ya Allah…"
Lisna terduduk dilantai sambil terus beristighfar dan menagis tersedu sedu.
Sementara suara gedoran pintu itu pun menghilang seketika bersamaan dengan orang yang menggedornya pun juga hilang. Lisna tidak memeriksa, dia hanya terus menangis dan merasa menyesal atas rencana bunuh dirinya yang jelas jelas tidak disukai Allah.
Cukup lama Lisna menangis, hingga akhirnya air mata tidak lagi menetes, mungkin sudah kering. Dia pun bangkit, langkahnya menuju kamar mandi untuk berwudu. Dia ingin menghadap tuhannya, mengeluh dan bercerita tentang semua rasa sakit yang dirasakannya, juga untuk meninta ampunan atas kesalahannya menjadi manusia yang putus asa padahal selama ini Allah selalu melimpahkan segala kebaikan untuknya.
Sedangkan Fauzi, kini tebaring lemah dikasur kamarnya di rumah mamanya. Wulan baru saja menghampirinya setelah membantu mamanya membersihkan sisa sisa muntahan Fauzi yang berceceran.
"Yang, kamu masih lemas?"
Fauzi hanya mengangguk. Matanya tetap terpejam, karena saat dibuka dia merasakan pusing yang teramat sangat.
"Antar aku pulang atau tolong panggilkan Lisna. Aku ingin dia ada disini." Titah Fauzi pada Wulan.
"Kan sudah ada aku, yang. Aku juga bisa merawat dan menemani kamu kok." Bujuk Wulan sambil mengelus dahi Fauzi.
"Aku ingin Lisna ada disini, Wulan. Dia istriku, aku ingin dia yang merawatku." Tegas Fauzi meski matanya tetap terpejam.
Wulan mendengus kesal. Dia pun segera keluar dari kamar itu dan segera mengirim pesan pada Lisna. Lagian dia juga ingin melihat langsung seperti apa Lisna yang begitu sulit membuat Fauzi melupakannya.
Pesan yang dikirim Wulan diterima oleh Lisna. Dia pun membaca pesan itu dan melihat foto Fauzi yang terbaring lemah dengan wajah pucat di ranjangnya.
Tanpa membalas pesan itu, Lisna yang sudah kembali menjadi Lisna yang penyabar pun langsung bergegas menuju rumah mama mertuanya untuk menemui suaminya.
Tidak butuh waktu lama untuk Lisna tiba di rumah mama mertuanya. Tentu saja kedatangannya disambut oleh Wulan dengan senyum manisnya yang sangat kentara senyum itu hanya kepura puraan Wulan saja untuk menutupi rasa cemburunya begitu melihat tampilan Lisna secara langsung di depan matanya.
Lisna tidak memakai pakaian mahal, hanya stelan tunik silver motif bunga bunga dipadukan dengan jilbab sorong warna senada yang menjulur panjang. Lisna tampak biasa biasa saja, tapi auranya sangat mahal dan elegan dimata Wulan.
"Assalamualaikum." Sapa Lisna tersenyum pada Wulan yang terperangah melihatnya.
"Waalaikumsalam." Jawab Wulan sedikit terbata.
"Aku Lisna istri pertama mas Fauzi."
Lisna mengulurkan tangannya pada Wulan yang tampak ragu untuk menyambut uluran tangan calon madunya itu. Tapi pada akhirnya dia menyambut uluran tangan Lisna.
"Aku Wulan calon istri Fauzi." Jawabnya sok tegas dan ingin terlihat biasa saja. Padahal hatinya sedikit merasa terintimidasi oleh tatapan dan senyuman Lisna.
"Ayo masuk. Sekalian aku juga mau berbincang sama kamu sebelum kamu benar benar menjadi istri kedua mas Fauzi."
Lisna melangkah masuk lebih dulu dan Wulan mengekor dibelakangnya.
"Lisna!"
Itu Fatimah, dia agak kaget melihat kedatangan Lisna.
"Iya ma, ini aku menantu mama." Jawab Lisna tenang.
"Bagus deh kamu datang. Jadi, bisa langsung kenalan sama Wulan. Dia akan segera menikah dengan Fauzi."
"Aku tahu ma. Aku juga sudah menyapa Wulan." Lisna duduk di sofa ruang tengah.
Fatimah pun mengajak Wulan untuk duduk di sofa yang sama dengannya dan itu berhadapan langsung dengan Lisna.
"Selamat ya ma, akhirnya mama menemukan menantu baru yang bisa memberikan mama cucu."
Kalimat Lisna yang langsung to the point membuat Fatimah dan Wulan merasa aneh. Terlebih wajah Lisna benar benar terlihat biasa saja, seakan dia tidak merasakan cemburu ataupun merasa tersakiti karena suaminya akan menikah lagi.
"Kamu benar benar mengizinkan Fauzi menikah lagi, Lis?"
"Iya ma. Aku akan mengizinkan mas Fauzi melakukan apapun itu selama itu bisa membuat mas Fauzi dan mama merasa bahagia." Tutur Lisna benar benar dengan tenang dan terus tersenyum.
"Ya kalau begitu bagus. Jadi Wulan sama Fauzi bisa menikah secepatnya."
"Kapan ma?" Tanya Lisna.
"Minggu depan." Jawab Wulan menegaskan.
Dag dig dug..
Jantung Lisna bedegup kencang mendengar Wulan mengatakan dia akan menikah dengan Fauzi minggu depan yang artinya tersisa lima hari lagi.
"Mbak Lisna juga harus mau berkorban sesuatu untuk kebahagiaan rumah tangga kita nanti." Celetuk Wulan lagi.
"Berkorban? Apa lagi itu, Wulan.."
"Fauzi tidak mau tinggal di rumahku dan bekerja di perusahaanku, kalau mbak Lisna tidak mau ikut pindah untuk tinggal bersama di rumahku. Jadi mbak Lisna harus pindah dan tinggal bersama kami supaya rumah tangga kita nanti bisa harmonis."
Kalimat Wulan barusan sungguh membuat Lisna ingin memaki. Tapi, dia tidak mau memperlihatkan sifat buruknya pada calon madunya itu.
"Lisna.."
Itu suara Fauzi yang mengalihkan atensi mereka untuk menatap pada laki laki itu yang melangkah tertatih untuk menemui istrinya.
"Mas kenapa?"
Naluri Lisna sebagai istri yang berbakti pun membuatnya langsung melangkah menghampiri suaminya. Dia membantu memapah Fauzi untuk duduk di sofa yang sama dengannya.
"Maafkan aku, Lis. Aku suami yang tidak berguna. Aku menyakiti hati kamu, sayang." Ucap Fauzi sambil mengelus pipi Lisna dan menatap lekat wajah Lisna.
Pemandangan itu membuat Wulan merasa cemburu dan terabaikan. Tapi, Fatimah yang menyadari itu mengelus punggung Wulan, agar calon menantunya itu bisa tetap tenang.
Lisna tersenyum menanggapi ocehan Fauzi, dia pun mengelus lembut wajah suaminya yang pucat itu.
"Maukah mas hanya menjadikan aku istri mas satu satunya? Aku tidak ingin dipoligami, mas." Ucap Lisna yang membuat Fatimah dan Wulan semakin terbakar.
Fauzi tersenyum, lalu memeluk erat tubuh Lisna. "Maafkan aku Lisna, tapi aku tidak bisa menolak kemauan mama. Aku mohon, bantu aku menjadi anak yang berbakti dan aku mohon, bantu aku untuk menjadi suami yang adil nantinya."
Kalimat itu membuat Fatimah dan Wulan tersenyum penuh kemenangan. Tapi Lisna, dia terdiam seribu bahasa. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain dari menganggukkan kepalanya memberi restu pada suaminya untuk menikah lagi.
"Tinggallah bersama kami, Lis. Aku janji tidak akan membuat kamu merasa terasing dirumah itu. Wulan juga menjanjikan itu padaku. Dan jika Wulan membuat kamu merasa terasing, aku akan membawa kamu keluar dari rumah itu, Lis. Aku janji."
Air mata Lisna sekali lagi menetes membasahi bahu Fauzi. Dan Fauzi tahu Lisna menangis, sehingga dia mengelus lembut penuh kasih punggung Lisna.
Baiklah mas, aku akan membantu kamu untuk menjadi anak yang berbakti dan menjadi suami yang adil pada kedua istrimu. Tapi, aku tidak bisa berjanji untuk terus mendampingi kamu mas. Aku akan pergi, sebelum kesabaranku habis. Aku tidak ingin menyakiti kamu ataupun orang lain, mas. Cukup, cukup kedua orangtua dan kakakku yang menjadi korban luapan emosiku hingga aku kehilangan mereka untuk selamanya.
uh..ampun dah..
biarkan metrka berusaha dengan keangkuhanya dulu