Sudah lama menikah, tapi belum pernah merasakan malam pertama?
Mustahil!
Mungkin itu yang akan orang katakan.
Tapi, ini benar-benar terjadi pada Vania.
Saat memutuskan untuk menikah muda,Vani justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Suaminya tidak mau menyentuhnya sama sekali. Bahkan di malam pertama pernikahannya, Faisal meninggalkannya begitu saja.
Entah apa alasannya, Vani sendiri tak mengerti.
Tinggalkan jejaknya sayonk😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Lana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Ini Adil?
"Kamu pakai baju siapa, Van?" Ternyata sejak tadi Faisal memperhatikan baju yang Vani kenakan. Mungkin karena memang sebelumnya pernah melihat Vani memakainya.
Astaga! Aku sampai lupa menceritakan semua kejadian tadi.
Vani sengaja memutar tubuh ke arah Faisal. Keduanya sudah duduk saling berhadapan. Faisal masih menunggu Vani bersuara, sedangkan Vani sendiri masih ragu untuk bercerita mengenai kejadian yang di alaminya tadi.
"Van, kamu kok diem?" tanya Faisal lagi. Tatapannya masih mengarah pada gamis yang saat ini Vani pakai. "Kamu pakai baju siapa?" ulangnya dengan tatapan penuh selidik.
"Aku di belikan orang, Mas." Akhirnya Vani menjawabnya. Seketika Vani melihat perubahan pada wajah suaminya
"Di belikan, siapa?"
Meski masih ragu Vani terpaksa menjelaskannya. Semua kejadian yang ia alami di pasar tadi, termasuk asal-usul dari gamis yang ia kenakan saat ini.
"Astaga, Van, Kenapa kamu nekat sih! Kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana?!" Nampak sekali kekhawatiran di wajah lelaki itu. Vani sendiri malah senang sekali, itu artinya Faisal sangat mencintainya. Ya salam ... sesederhana itu kah bahagia?
"Aku hanya kasihan sama Ibu itu, Mas, masa aku harus diem aja," ucapnya sembari menarik napas panjang. Faisal hanya menggeleng pelan menatap penampilan istrinya saat ini.
"Lain kali, jangan bertindak seperti itu lagi, Van. Itu bahaya!" Faisal memperingatkan. Vani semakin senang di buatnya. Sampai melupakan semua barang belanjaan yang ia bawa tadi.
Vani masih betah duduk di sebelah suaminya. Eh, kali ini bukan hanya duduk, tapi ia sengaja merapatkan diri kearah Faisal. Mumpung ada kesempatan, pikir Vani.
Tapi, baru saja Vani ingin melancarkan aksinya untuk merayu Faisal, pintu rumahnya terdengar di ketuk dari arah luar sana.
"Ada tamu, Van. Biar aku yang buka, kamu masuk aja duluan, lalu istirahat." Vani memutar kedua bola matanya malas. Baru saja punya kesempatan berdua, ada saja pengganggu hingga ia harus melangkah masuk dan meninggalkan suaminya.
"Bu ...."
Ternyata ibu yang datang. Vani masih bisa mendengar suaminya yang menyapa ibunya dengan sangat lembut. "Masuk, Bu."
Vani tidak menghiraukan. Seperti saran Faisal tadi, ia memilih melanjutkan langkahnya menuju kamar dan beristirahat saja.
"Lihat tuh istrimu, belanja segitu banyak, ngabisin duwit aja!" Ternyata Bu Widia datang hanya untuk mengomentari belanjaan menantunya lagi. Faisal hanya bisa diam dan mendengar omelan sang ibu hingga perempuan itu duduk dan menarik napas panjang.
"Itu 'kan buat stok, Bu. Jadi wajar aja kalau Vani belanja banyak-banyak." Faisal masih berusaha membela istrinya meski ia harus berbicara hati-hati agar jangan sampai perkataannya menyinggung sang ibu.
"Itu namanya boros, Nak. Harusnya uangnya bisa di simpan buat keperluan lain dulu. Kalau belanja, kan tiap pagi ada tukang sayur lewat," ucap ibu lagi. Menurutnya Vani adalah menantunya yang boros, yang tidak bisa mengatur keuangan keluarga.
"Iya, Bu. Nanti aku kasih tahu Vani supaya jangan boros lagi." Sepatuh itu Faisal pada ibunya. Padahal ia lebih tahu bagaimana istrinya selama ini. Tapi, demi menyenangkan hati perempuan itu Faisal rela melakukan apapun meski terkadang menyakiti hati istrinya sendiri.
"Pokonya besok kalau gajian kamu harus ke rumah ibu dulu. Ibu nggak mau uang kamu cuma di hambur-hamburkan Vani buat kebutuhan yang tak penting!"
"Iya, Bu. Nanti aku ke rumah Ibu dulu. Jangan marah-marah lagi ya?"
Bu Widia akhir bisa tersenyum kembali. Mengusap kepala putranya dengan penuh kasih sayang.
Sedangkan Vani, wanita itu langsung menunjukkan ekspresi kesal. Tadi, setelah menyimpan semua barang belanjaan, niatnya sih ingin melangkah menuju kamar. Tapi, perhatiannya tersita oleh mertuanya yang sedang merajuk pada suaminya. Bahkan yang membuat Vani tak habis pikir, kenapa Faisal patuh sekali dengan semua ucapan sang ibu.
"Apa ini yang di bilang laki-laki calon ahli surga?" Vani bergumam sendiri, meneguk air putih sambil menyandarkan tubuhnya di kursi ruang makan. "Tapi, gimana jika selalu menyakiti hati istrinya?"
Seharusnya Faisal bisa adil. Jika ingin menyenangkan hati sang ibu, tapi tidak seharusnya terus-terusan mengesampingkan istrinya sendiri, kan?
.
.
.
Waktu berlalu begitu cepat. Ternyata sudah sampai di awal bulan, artinya waktunya untuk Faisal gajian. Tapi bagi Vani tidak ada yang spesial karena tahu berapa nominal yang setiap bulan ia terima, jauh sekali dari gaji utuh Faisal.
Manager keuangan, itulah jabatan Faisal di kantornya. Gajinya pun terbilang cukup lumayan jika hanya untuk keperluan keluarga kecilnya mungkin tidak akan pernah kekurangan lagi.
Tapi yang membuat Vani heran, dengan gaji Faisal yang hampir mencapai sepuluh juta, Vani hanya mendapatkan satu juta lima ratus ribu saja setiap bulannya. Ke mana sisanya? Faisal bilang di tabung untuk keperluan yang lebih penting.
Awalnya sih Vani keberatan, bahkan ia harus berhemat agar uang pemberian Faisal bisa cukup sampai akhir bulan. Selain itu, Vani merasa sedih sekali karena tidak bisa lagi menyisihkan untuk ibunya.
Semua itu berlangsung cukup lama, hingga akhirnya Vani memutuskan untuk bekerja sebagai tukang bersih-bersih.
Beruntung setelah bekerja ia bisa membantu menutup kekurangan uang bulanan, sekaligus menyisihkan sebagian gajinya untuk sang ibu.
"Assalamualaikum ..."
Terdengar suara suaminya dari arah depan sana. Vani buru-buru membukakan pintu dan meraih punggung tangan Faisal.
"Udah pulang, Mas?" Faisal juga seperti biasa menyerahkan tas kerja miliknya pada Vani. Faisal duduk di sofa ruang tamu dan melepas kain yang melilit di lehernya.
"Aku buatin teh dulu ya, Mas?" Tanpa menunggu jawaban dari Faisal, Vani melangkah lagi menuju dapur. Dengan cekatan ia menyeduh teh lalu membawanya lagi ke hadapan suaminya.
"Makasih, Van." Laki-laki itu langsung meneguk secangkir teh hangat yang Vani suguhkan. "Ini untuk keperluan satu bulan," ucapnya lagi sambil menyodorkan sebuah amplop coklat kehadapan istrinya.
Vani melirik sekilas, lalu meraih amplop coklat pemberian Faisal tadi. "Mas, ini beneran segini?" Vani terpaksa protes setelah membuka dan menghitung jumlah isinya.
"Maaf, Van. Tadi Ibu bilang, besok Luna harus segera melunasi biaya semester. Belum lagi jatah skincarenya. Jadi, terpaksa aku memangkas jatah uang bulanan kamu lagi." Tatapan Faisal terlihat sendu. Sedang Vani hanya bisa menghela napas berat. Satu juta lima ratus ribu saja ia harus mati-matian berhemat agar bisa cukup sampai akhir bulan. Lah ini, hanya satu juta saja?
Lagi-lagi Vani merasa tidak penting di hadapan suaminya sendiri. Bagaimana Faisal selalu memprioritaskan ibunya dan Luna, sedangkan ia hanya menerima sisanya saja.
Apa semua ini adil?
Vani mendadak lemas di buatnya. Meski sedikit kecewa, Vani berusaha menutupinya di depan Faisal. Niat hati menyisihkan uang gajinya agar bisa membeli skincare dan beberapa lembar baju, tapi menghitung jumlah uang yang sepertinya tidak akan cukup sampai akhir bulan nanti, Vani terpaksa mengurungkan keinginannya.
"Maafin Ibu ya, Van? Kamu nggak apa-apa, kan?"