Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 29
Dalam hening malam, suara ponsel Aruna bergetar pelan di meja kecil di samping tempat tidurnya. Nama Raka tertera di layar.
Dengan tangan gemetar, Aruna mengangkatnya.
“Halo, Bu.... gimana keadaan kaki Ibu? Masih sakit? Bisa jalan sedikit?”
Suara Raka terdengar pelan tapi penuh perhatian. Bukan suara basa-basi. Ada kehangatan yang membuat dada Aruna kembali bergetar.
Aruna menarik napas. “Sudah agak mendingan, Raka... terima kasih.” Suaranya lirih.
“Syukurlah...” Raka terdengar lega. “Ibu udah makan? Udah ganti baju? Tadi kehujanan, kan...?”
Saat pertanyaan itu keluar, air mata Aruna tumpah tanpa ia sadari. Tangisnya pecah, tersedu. Ia coba menahan, tapi tak bisa.
“Bu Aruna?” suara Raka terdengar panik, “Saya... saya salah ngomong, ya? Maaf kalau saya...”
“Bukan, Raka... bukan salahmu...” Aruna menyela di sela tangisnya. “Kamu terlalu baik...”
Raka terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa.
“Barusan... Bagas nelpon,” lanjut Aruna. Suaranya pecah, berat. “Dia marah... karena dari siang aku nggak angkat telponnya. Aku cerita soal kaki ini, soal aku terpeleset, tapi yang dia pikirkan bukan kondisiku. Dia malah marah... cemburu buta.”
Ada jeda panjang di antara mereka. Hanya suara napas pelan yang terdengar di ujung telepon.
“Aku sakit, Raka. Tapi yang dia pikirkan malah... siapa yang bersama aku. Bukan tentang aku-nya.”
Raka mengatupkan rahangnya. Ia menunduk, menggenggam ponselnya erat. “Saya minta maaf, Bu... saya nggak bermaksud memperburuk keadaan.
Raka terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata dengan nada pelan namun tegas,
“Apa Ibu bisa terus bertahan dalam kondisi rumah tangga seperti ini? Maaf kalau saya lancang, tapi saya rasa... Ibu terlalu banyak menahan.”
Aruna menarik napas panjang. “Bagas bilang... aku harus percaya. Katanya, dia akan berhenti dari pekerjaannya. Dia janji nggak akan jauh-jauh lagi dariku.”
Raka hanya bisa menghela napas. Hatinya sesak mendengar itu. Tapi ia tahu, ia bukan siapa-siapa dalam hubungan rumah tangga mereka. Namun hatinya tak bisa lagi diam.
“Ibu...” Raka menunduk sejenak, lalu kembali menatap layar ponselnya meski hanya suara yang bisa ia dengar. “Saya tahu ini salah waktu. Tapi saya harus jujur. Saya sungguh mencintaimu.”
Suasana di ujung telepon sunyi. Tak ada jawaban.
“Perasaan ini... bukan karena kasihan. Bukan juga karena kekosongan. Tapi karena setiap kali bicara dengan Ibu, setiap kali saya ada di dekat Ibu... saya merasa tenang.”
Aruna masih terdiam. Matanya kembali berkaca-kaca.
Raka melanjutkan dengan suara lebih pelan, “Saya tahu posisi saya. Dan saya tahu, hati Ibu masih berada di dalam ikatan yang sah. Tapi saya... ingin Ibu tahu, kalau Ibu memilih untuk bahagia, saya akan selalu ada, tanpa harus mengganggu atau memaksa.”
Di seberang, suara Aruna akhirnya terdengar lirih, “Raka... kenapa kamu harus datang di saat hatiku sedang rapuh.
Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Raka tak sanggup menunggu respons Aruna lebih lama. Bukan karena kecewa melainkan karena takut harapannya justru menyakiti perasaan wanita itu. Ia menatap layar ponselnya sejenak, lalu menekan tombol "end call."
Aruna masih memegang ponselnya yang kini sudah gelap. Nafasnya tercekat. Ia tidak menyangka Raka benar-benar menutup telepon. Air matanya mengalir lagi, bukan karena marah, bukan juga karena sedih tapi karena hatinya sedang kalut, diguncang oleh kenyataan bahwa ada orang lain yang tulus mencintainya di saat ia merasa paling rapuh.
Ia tahu Raka bukan pria sembarangan. Ia tahu Raka tidak akan bertindak gegabah. Tapi justru itu yang membuatnya semakin bimbang...dan semakin takut pada keputusannya sendiri.
Aruna menatap keluar jendela.
Langit malam terlihat kelabu. Hatinya pun demikian.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor