Arshaka Beyazid Aksara, pemuda taat agama yang harus merelakan hatinya melepas Ning Nadheera Adzillatul Ilma, cinta pertamanya, calon istrinya, putri pimpinan pondok pesantren tempat ia menimba ilmu. Mengikhlaskan hati untuk menerima takdir yang digariskan olehNya. Berkali-kali merestock kesabaran yang luar biasa untuk mendidik Sandra, istri nakalnya tersebut yang kerap kali meminta cerai.
Prinsipnya yang berdiri tegak bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, sekeras Sandra meminta cerai, sekeras dia mempertahankan pernikahannya.
Namun bagaimana jika Sandra sengaja menyeleweng dengan lelaki lain hanya untuk bercerai dengan Arshaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Flou, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMBILU
"Bang, aku tidak berani, Yassalam."
Kenneth berdecak seraya berkecak pinggang memperhatikan Sandra yang asik berdisko di bawah remang lampu kelab. Payah sekali, dia tidak berani berurusan dengan kaum hawa sampai menghubungi Arkana.
"Pengecut sekali kamu ini!" Arkana berdecak menoyor kepala sepupunya.
"Lah aku lebih berani membakar kelab daripada berhadapan dengan singa betina. Ngurusin kasus kebakaran lebih mudah daripada melawan singa. Diterkam, mati lah aku."
Arkana mendengus kasar. "Sudahlah, biar aku saja. Kamu takut melawan singa, lupa kalau kamu punya singa yang lebih garang. Shaka lebih seram! Kamu tunggu saja di parkiran, Ken."
"Oke deh. Maskermu jangan sampai lepas, Bang," peringat Kenneth.
Arkana mengangguk. Tempat seperti ini adalah tempat yang sangat dia hindari untuk menjaga nama baik keluarga juga untuk mempertahankan posisinya di maskapai.
Arkana melangkah santai dengan pakaiannya yang serba hitam. Kepalanya tertutup kupluk hoodie. Tak ada yang bisa melihat wajahnya sebab penerangan sangat redup, ditambah ia memakai masker.
"Mual aku," gumamnya menahan gejolak di perutnya sebab dikelilingi oleh hal menjijikan yang mana banyak dari pengunjung kelab, bercumbu mesra tanpa rasa malu. Tidak ada pemandangan positif di sana. Arkana terpikirkan sesuatu.
"Aishh, hafalanku! Bahaya ini kalau aku menikmati pemandangan ini."
Tak ingin berlama-lama di sana, Arkana mempercepat langkah menghampiri Sandra yang sedang melenggak-lenggok sembari menenggak air pusing. Hidupnya begitu lepas seakan tidak memiliki beban. Pun dirinya seolah lupa bahwa ia telah bersuami yang mana hal seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dia lakukan.
"Weekend puas-puasin lah guys ha ha! Gue traktir!" teriak Sandra lalu menenggak lagi air pusing dari botol. Bibirnya selalu berucap dan tertawa tidak jelas.
"Bajingan! Apa yang lo lakukan!" bentaknya menatap nyalang salah satu pria yang datang bersama Aca dan Dita saat bokongnya diremas oleh pria tersebut dari belakang. Langsung saja Sandra hantamkan botol anggur ke kepala pemuda itu.
Arkana tersenyum culas melihat itu. "Aneh sekali perempuan zaman sekarang. Marah jika direndahkan tapi dia menjajakan diri sendiri dengan pakaian dan cara bergaulnya seperti itu. Giliran dilecehkan menyalahkan lelaki padahal dia yang menyodorkan diri. Bang, semoga kamu kuat menjalin bahtera rumah tangga dengannya."
Jarak satu meter, Arkana memasukkan penuh telapak tangannya ke dalam lengan hoodie. Kemudian, tanpa sepatah kata pun dia meraih pergelangan tangan Sandra tanpa kulitnya bersentuhan sebab terhalang kain dan ia seret perempuan itu ke luar kelab.
"Hei! Apa lagi ini? Apa yang lo lakukan?" Sandra memekik dan memberontak berusaha melepaskan cekalan tangan pria yang tidak ia ketahui siapa itu. "Lepaskan gue, bodoh! Lo mengganggu kesenangan gue!"
Tempat seperti itu isinya adalah kejahatan bukan? Arkana yang malas berdebat, tanpa pikir panjang ia memukul tengkuk Sandra dengan sedikit kuat hingga perempuan itu jatuh tak sadarkan diri.
"Istrimu menyusahkan, Ka!"
Buru-buru dia seret tubuh Sandra ketika Aca dan Dita mengejar dirinya. Dia seret, benar-benar diseret hingga mungkin paha Sandra terluka sebab bergesekan dengan lantai. "Maaf ya, aku buat dia lecet. Hitung-hitung pelajaran."
"Bang, buruan, sudah malam!" teriak Kenneth dari dalam mobil. Remaja itu duduk di kursi kemudi, pintu mobil belakang sudah dibuka. Keduanya persis seperti penjahat.
"Siapa yang bilang siang, bocah!" decak Arkana. "Bantu!"
Kenneth mengendarai mobil tanpa memiliki SIM setelah Sandra benar-benar masuk ke dalam mobil. "Dibawa ke mana ini? Ke rumah Paman Nares? Bisa jadi dadar gulung kamu, Bang."
"Rumah orang tuanya saja. Aku hubungi Arshaka dulu."
"Oh, oke." Kenneth mengacungkan ibu jarinya.
[Arkana: Istrimu sudah bersamaku. Dia mabuk, Ken tidak berani berhadapan dengan Sandra, jadi tidak bisa mencegah istrimu lebih dulu. Aku membawanya kembali ke kediaman orang tuanya. Tak apa? Ngomong-ngomong, dia pingsan sebab aku memukul tengkuknya saat dia memberontak.]
[Arkana: Kak?]
Dia kirimkan pesan lagi saat Arshaka tidak membalas pesannya.
[Arkana: Sibuk sekali kah? Ya sudah, aku bawa ke rumah orang tuanya ya. Sekarang lagi di perjalanan.]
[Arshaka: Baik. Terimakasih. Tolong jangan sampai ayah dan ibu tahu ini.]
Arshaka tersenyum getir setelah mengetik pesan balasan tersebut. Saat ini, hatinya seperti tercabik-cabik karena banyak hal.
Pertama. Arshaka menyadari dan meyakini bahwa ia tidak akan pernah bisa sepenuhnya mengendalikan Sandra. Istrinya itu pasti akan terus bertindak seenaknya tanpa mempertimbangkan status pernikahan mereka, yang berarti Arshaka akan menghadapi kesulitan serius di kemudian hari.
Kedua. Arshaka merasa sangat bersalah pada dirinya sendiri. Bahwa ia telah berbuat dosa besar, menikah dengan Sandra tanpa cinta, dan tanpa niat untuk menggaulinya—hanya untuk menolongnya dari aib. Ia sadar, ia telah melukai hak Sandra sebagai seorang istri dan melukai hatinya sendiri yang terbelenggu dalam pernikahan tanpa kasih.
Ketiga. Ia kembali teringat Nadheera. Gadis yang selalu ia sebut dalam rintihan panjang doa-doanya. Gadis yang kini sedang terbaring lemah di hatinya, karena terhalang oleh pernikahannya. Bagaimana cara ia menjelaskan, bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan harga diri keluarga, dan bahwa hatinya masih sepenuhnya milik Nadheera?
"Maaf, lampu tidurnya rusak dan tidak bisa diperbaiki, Dek."
"Bisa. Tapi tidak akan lagi sama, Kak," balas Nadheera tersenyum perih. Bukan lampunya, tetapi hati.
Semilir angin menerpa jilbab panjang Nadheera. Namun, keteduhan di halaman samping ndalem, yang biasanya menjadi tempat paling nyaman baginya, kini terasa begitu menyesakkan. Nadheera baru saja diguncang oleh kenyataan yang sangat memukul hati. Pria yang selama ini ia rayu dalam setiap sujud dan doa—sosok yang ia harapkan segera dipertemukan dengannya dalam ikatan pernikahan yang diridhai Tuhan—justru telah lebih dulu mengucapkan ijab qobul untuk perempuan lain.
Jangan tanyakan seberapa sakitnya. Rasa sakit itu melampaui batas. Tidak ada yang mampu mengukurnya selain sujud panjang yang setelah ini akan menjadi satu-satunya pelarian, disertai derai air mata yang tak terbendung.
Sedang di sampingnya, Arshaka tengah mendongak seraya memejamkan mata. Terlintas di benaknya saat ia dan Nadheera diseret ke lapangan tepat saat matahari di atas kepala. Keduanya bersimpuh di tengah lapangan, seluruh santri menyaksikan dengan air mata berderai. Namun ada juga yang tersenyum kemenangan.
Ini novel pertama saya, semoga kalian suka ya. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, Sayangku🥰