Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#12
Happy Reading...
.
.
.
Seiring berjalannya waktu, sesuatu dalam rumah itu mulai berubah. Perlahan, suasana hangat yang Naira ciptakan bersama Jingga mulai terasa seperti dinding yang semakin mendekat. Tidak terlihat, tapi terasa jelas.
Sedangkan Raka semakin hari sifat posesifnya semakin bertambah. Awalnya, Naira mencoba memahami. Ia berpikir mungkin ini hanya bentuk dari perhatian suaminya. Mungkin Raka takut dirinya kelelahan atau mungkin dokter pernah menitipkan pesan yang tidak ia tahu. Tapi semakin lama alasan-alasan itu semakin tidak lagi masuk akal untuk Naira.
Semakin ke sini semakin banyak sekali larangan- larangan yang Raka berikan kepada dirinya.
Seperti pagi itu, ketika Naira hendak membuka jendela depan tiba-tiba lengan Raka terulur menahan gerakannya.
“Jangan dibuka,” ucap Raka tanpa nada tinggi, tapi tegas.
Naira mengerjap bingung. “Kenapa? Aku hanya ingin membuka jendela.”
“Tidak perlu.” jawab Raka singkat. “Biarkan saja seperti ini.”
Naira terdiam. Ada sedikit rasa tidak nyaman, namun ia memilih mengangguk dan menuruti suaminya.
Namun larangan itu bukan satu-satunya.
Siang harinya, saat bibi Sumi meminta izin untuk menerima kunjungan tetangganya yang ingin mengantar makanan, Raka kembali muncul dengan sikap tegas.
“Suruh dia pergi,” ucap Raka tanpa menoleh pada Naira.
Bibi Sumi tampak ragu. “Tapi Tuan, mereka hanya...”
“Aku bilang suruh pergi,” potong Raka.
Naira yang mendengarnya ikut merasa bersalah. “Raka… apa tidak apa-apa? Mereka hanya ingin...”
Raka menatapnya tajam. “Aku tidak suka orang asing masuk ke rumah ini.”
Naira merasa ada udara yang menegang di antara mereka. “Baik… aku mengerti.” Tetapi ia sebenarnya tidak mengerti.
Larangan berikutnya datang saat Naira meminta izin untuk pergi ke toko buku. Ia merasa ingin mencari sesuatu yang bisa membantunya mengisi waktu, mungkin buku jurnal atau novel yang bisa menenangkan pikirannya.
“Tidak bisa,” jawab Raka cepat ketika ia mengutarakan keinginannya.
Naira tertegun. “Aku hanya ingin membeli buku. Tidak jauh. Aku bisa pergi dengan bibi.”
“Nanti aku yang akan membelikannya untuk kamu. Jadi kamu tidak perlu keluar rumah.”
“Tapi aku bosan di dalam terus…” ucap Naira pelan, berusaha tidak membuat suaranya terdengar seperti rengekan.
“Kau belum pulih sepenuhnya. Keluar rumah hanya akan membuatmu semakin bingung,” kata Raka. Nada bicaranya menunjukkan kesan tidak bisa dibantah.
“Tapi aku merasa sudah lebih baik,” balas Naira hati-hati. “Aku tidak akan lama.”
Raka menatapnya lama, seolah sedang menilai apakah ia berbohong atau tidak. “Tidak.”
Hanya satu kata itu. Tidak keras. Tidak marah. Tapi tegas, sekeras dinding yang tak bisa ditembus.
Naira menunduk.
Ketika Raka berjalan pergi, Naira memandang punggungnya yang menjauh dengan rasa yang sulit dijelaskan. Ada bagian dirinya yang ingin memahami, namun bagian lain merasa semakin tercekik.
.
.
.
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda bagi Naira. Ia terbangun dengan perasaan mual yang menghantam lambungnya begitu keras. Ini bukan pertama kalinya. Sudah hampir dua minggu ia mengalami hal yang sama. Setiap pagi, ia akan berlari ke kamar mandi dengan wajah pucat dan tubuh gemetar.
Saat mendengar suara muntah itu lagi, Raka yang sedang menyiapkan sarapan untuk Jingga langsung menghentikan gerakannya. Wajahnya menegang. Sudah terlalu sering ia melihat Naira seperti itu belakangan ini, dan sebuah rasa khawatir yang jarang ia rasakan kembali muncul.
Ia mengetuk pintu kamar mandi dengan suara yang ia upayakan tetap tenang.
“Naira… kau baik-baik saja?”
Naira tidak menjawab segera. Ia hanya meraih wastafel sambil menarik napas panjang, berusaha menenangkan isi perutnya. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka perlahan dan ia keluar dengan langkah yang tidak stabil.
“Aku… aku hanya sedikit mual,” ucapnya pelan. “Sepertinya masuk angin.”
Raka mengerutkan kening. “Sudah dua minggu seperti ini. Itu bukan masuk angin.”
Hati Naira sedikit menghangat saat menyadari kepedulian Raka.. “Aku tidak apa-apa. Mungkin karena terlalu lelah.”
“Tidak.” Raka menghentikan ucapannya dengan satu kata tegas. “Kita ke rumah sakit hari ini.”
Naira ingin menolak, tetapi melihat raut wajah Raka yang tak bisa dibantah, ia akhirnya mengangguk. “Baik…”
.
.
.
Rumah sakit selalu memiliki aroma antiseptik kuat yang membuat sebagian orang merasa tidak nyaman. Untuk Naira, aroma itu semakin membuat pusingnya semakin parah. Ketika perawat membawa mereka ke ruang pemeriksaan, ia duduk sambil memijat pelipisnya.
Dokter datang dengan senyuman, memeriksa Naira dengan teliti, menanyakan gejala demi gejala dan melakukan beberapa tes tambahan. Raka berdiri di sisi tempat tidur, kedua tangannya saling meremas sikap yang jarang terlihat darinya.
Setelah beberapa menit menunggu, dokter kembali dengan hasil pemeriksaan di tangan.
“Pak Raka, Bu Naira… hasil tesnya sudah keluar.”
Raka mendongak cepat. “Bagaimana keadaannya?”
Dokter tersenyum lembut. “Selamat. Istri Anda sedang hamil.”
Kata itu menggema di ruangan hamil.
Naira terpaku. Raka sama sekali tidak bergerak.
“Usia kandungannya sudah empat belas minggu,” lanjut dokter.
Empat belas minggu. Tiga bulan lebih.
Naira menunduk, memegang perutnya tanpa sadar. Ada keterkejutan didalam tatapannya, tapi bukan kebingungan. Seolah bagian dirinya menerima kabar itu dengan tenang, meski pikirannya masih berusaha menghubungkan semuanya.
Sementara itu Raka… Raka membeku seperti patung. Mulutnya sedikit terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Yang tersisa hanya satu kenyataan besar, Naira hamil.
Dan itu bukan kabar yang membuatnya bahagia. Itu kabar yang membuatnya merasa ditampar keras-keras.
Setelah dokter pergi untuk memberi mereka waktu, Raka baru mampu berbicara.
“Naira…” suaranya rendah, hampir tidak terdengar. “Kau… sudah hamil selama ini?”
Naira mengangguk perlahan. “Sepertinya begitu… aku bahkan tidak merasakannya.” Ucapnya sambil tersenyum tanpa menyadari ekspresi yang Raka tunjukkan.
Raka menatapnya, lama. Terlalu lama. Seolah mencoba membaca seluruh ingatan dalam kepala perempuan itu.
Jika usia kehamilan empat belas minggu… Bukankah itu berarti Naira sudah mengandung sebelum kecelakaan.
Sebelum ia kehilangan ingatan... Sebelum ia memasuki hidupnya... Lalu beberapa pertanyaan muncul di kepala Raka.
Siapa ayah dari bayi ini? Apakah Arvino? Tapi tidak mungkin jika mengingat Arvino dari keluarga terpandang.
Raka menelan ludah, dadanya terasa berat. Kemudian ia teringat sesuatu yang pernah dikatakan dokter saat pertama kali Naira dirawat.
“Kami menemukan beberapa memar yang tidak wajar di tubuhnya. Bisa jadi karena kekerasan… atau hal lain.”
Hal lain.
Dua kata itu seperti cambukan di tubuhnya.
Raka menatap Naira dengan sorot mata yang sulit diartikan. Antara syok, bingung, takut, dan sebuah amarah yang ia sendiri tidak bisa memahaminya. Raka memejamkan kedua matanya. Ada sesuatu yang menusuk didadanya, Sesuatu yang tidak siap ia hadapi.
Ia ingin marah.. Ingin bertanya.. Ingin menuntut jawaban yang bahkan Naira sendiri tidak punya jawabannya.
Tapi yang keluar dari mulutnya hanya satu kalimat yang terputus-putus. “Kita.. Pulang.” Ucap Raka berjalan menjauhi Naira, Tanpa menoleh kembali ke belakang.
Meninggalkan Naira yang memeluk perutnya perlahan, ia tidak tahu apakah harus bahagia atau bersedih...
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...