Kepercayaan Aleesya terhadap orang yang paling ia andalkan hancur begitu saja, membuatnya nyaris kehilangan arah.
Namun saat air matanya jatuh di tempat yang gelap, Victor datang diam-diam... menjadi pelindung, meskipun hal itu tak pernah ia rencanakan. Dalam pikiran Victor, ia tak tahu kapan hatinya mulai berpihak. Yang ia tahu, Aleesya tak seharusnya menangis sendirian.
Di saat masa lalu kelam mulai terbongkar, bersamaan dengan bahaya yang kembali mengintai, mampukah cinta mereka menjadi perisai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
"Ayahmu mengamuk?" tanya Nathan duduk di sofa. Aleesya mengangguk dan terkekeh, "Bukan cuma ayah, Om, tapi ibu juga akan menjambak rambut Vira." Aleesya menegakkan tubuhnya sambil menyelipkan rambutnya di telinga. "Tak usah bersedih, Sya. Om tahu kau bukan gadis lemah. Putus cinta tidak akan membuat hidupmu berhenti. Justru buktikan kepadanya bahwa kau lebih bahagia, buat dia bahagia. Kau cantik, Aleesya. Ferdinan akan marah besar jika Om tidak menjagamu dengan baik." suaranya rendah penuh penegasan.
Aleesya mengangguk, merasa tenang karena ucapan ayah Victor barusan. "Terima kasih banyak, Om. Aleesya izin lebih lama di Nuxvar ya, Om? Mood Aleesya berantakan." Nathan menyilangkan kedua tangannya. "Kau boleh selama apapun disana, Sya."
Sementara di dalam kamar, Victor memasukkan sepuluh kaleng minuman beralkohol tinggi, ia meletakkan di antara tumpukan baju-bajunya. "Haih, aku ini kenapa sih? Aneh sekali... rasanya kesal melihat Aleesya berbicara dengan pria lain!" eluh Victor mengacak-acak rambutnya. Setelah selesai, ia memutuskan untuk ke dapur mengambil yogurt, dan tak sengaja mendengar percakapan Aleesya dengan ayahnya.
"Kau pernah menyukai Victor, Sya?" tanya Nathan. Suaranya pelan, namun mantab. Langit sudah gelap, tapi suasana justru menghangat dengan sinar lampu temaram di ruang keluarga itu. Victor segera bersembunyi di balik tangga, sementara Aleesya tersenyum malu-malu sambil menunduk.
"Sepertinya dulu pernah Om, kapan ya? Waktu menengah pertama." jawab Aleesya, Victor diam-diam mengintip. Nathan diam sebentar, ia mengalihkan pandangannya, dan menemukan sebuah kepala menyundul sedikit di balik tembok, pria itu tersenyum miring, "Lalu sekarang?" tanyanya kembali menatap Aleesya.
"Tidak, Om. Aleesya bukan wanita selera Victor, haha. Bahkan Bianca saja yang lebih cantik dari Aleesya di putuskan juga olehnya. Bukankah Tante Rissa tidak menyukai Bianca? Om... Victor itu pria populer, bahkan di kampus pun dulu begitu. Wanita sexy yang menjadi idamannya. Aleesya tahu Victor om Nathan," Ia menjeda ucapannya, "dan Aleesya sadar diri saja, apalagi sekarang Aleesya sedang kacau," Aleesya menggeleng, "ah entahlah om Nathan."
Nathan tersenyum puas mendengar jawaban Aleesya, ia mengangguk seolah memahami. "Istirahatlah... besok kalian ke Nuxvar kan? Lupakan Maxime secepatnya, ya?" perkataannya seperti ada maksud tersembunyi. Aleesya mengangguk, "Baiklah, Om. Aleesya ke kamar dulu, permisi."
Victor buru-buru masuk ke dalam kamarnya dengan langkah besar, sebelum Aleesya tahu.
"Ayah..!!" seru Victor berjalan mendekat setelah terlihat menuruni anak tangga. "Apa? Tumben kamu berbicara pada ayah? Uang bulananmu habis?" Nathan menyunggingkan senyum menatap heran pada putranya yang menjatuhkan tubuh ke sofa, menggeleng cepat sambil mengusap tengkuknya dengan sebelah tangan.
"Yah! Bukan itu. Uang bulanan ku tetap mengalir setiap hari." ia menjawab santai, kemudian menatap ayahnya tegas.
"Apa... ayah sedang merencanakan sesuatu?" Victor bertanya dengan wajah penasaran, namun Nathan dengan cepat menggeleng, senyum miringnya terlihat. "Kau tidak perlu tahu. Ini urusan ayah, fokus saja pada pekerjaanmu. Untuk sementara ayah tidak akan melakukan perjalanan bisnis, kantor menjadi tanggung jawab ayah sekarang, senangkan hati Aleesya." suaranya rendah, terdengar menyimpan sesuatu.
"Jangan bilang kau suka pada Aleesya, kan? Jujur saja." suara Rossa tiba-tiba keluar saat wanita paruh baya itu muncul dari dapur sambil mengejek putranya yang menggaruk tengkuk. "Ap-apa ibu? Tidak ada!"
"Astaga, kau manis sekali, Victor. Lihatlah anakmu sayang, tingkahnya mirip denganku di masa muda, bukan?" Rossa terkekeh, mengambil duduk di samping Victor. Perasaan hangat memenuhi dadanya, yang entah kenapa itu membuat Victor nyaman. Jarang sekali kedua orang tuanya bisa mengobrol bersama seperti sekarang.
"Benar... menggemaskan. Victor, jika kau suka pada Aleesya kejar cintanya. Ayah tak yakin dia akan sendiri lebih lama, pasti ada pria yang menyukainya." Nathan menatap Rossa sesaat lalu memiringkan wajahnya, tertawa kecil. Victor menarik napas panjang, telunjuknya mengetuk meja tiga kali. "Ayah benar. Namun ini sedikit sulit ayah, karena Noah juga menyukai Aleesya."
Rossa mengusap punggung tangan Victor sambil menyunggingkan senyum, "Tidak sulit jika Aleesya sudah punya pilihan, Nak. Biarkan wanita itu beristirahat dengan hatinya. Kasihan dia... jika sudah terbiasa, ibu yakin dia akan memilih. Semuanya butuh proses, apalagi menyangkut perasaan, sesuatu yang paling lama sembuh.
...Hati setiap orang berbeda. Ada yang mudah dan ada yang sukar melupakan. Saran ibu, temanilah dia kapanpun dia membutuhkanmu. Mungkin Aleesya bilang dia tidak menyukaimu, atau kau tidak menyukai wanita seperti dia. Tapi... cinta ada karena biasa, kasih ada karena selalu bersama. Kita tidak pernah tahu dengn siapa Tuhan menjodohkan kita, namun kita sendiri juga bisa memilih siapa jodoh kita asal kita juga memantaskan diri."
Rossa memberi nasihat dengan suara lembut, membuat Victor kini yakin dengan kata hatinya. Ia hanya diam, namun kini senyum lebar itu ia tunjukkan di depan kedua orang tuanya. "Aku senang putraku sudah memikirkan soal jodoh, apalagi Aleesya yang kamu pilih. Ibu mengizinkanmu, Victor." imbuhnya sambil menatap suaminya.
Malam makin sunyi, namun pembicaraan mereka justru membuat ruangan disana semakin hangat. Kursi kayu yang menjadi tempat duduk mereka seolah ikut merasakan.
Nathan mengangguk mantap, "Ayah setuju dengan ibumu. Sekarang biarkan Aleesya menenangkan diri. Beristirahatlah! Besok kau berangkat." Nathan berdiri didepan Victor menepuk bahunya. Victor mengangguk, "Baiklah. Selamat malam, ayah... ibu."
---
Victor menaiki anak tangga dengan perasaan lega, langkah kakinya terasa ringan seperti beban yang menekan dadanya sedikit terangkat. Perkataan ibunya... untuk pertama kali dalam beberapa tahun berbicara begitu lembut padanya. Begitupun ayahnya... meskipun terlihat keras dan sibuk, saat mereka mengobrol tadi benar-benar menjadi pendengar yang baik.
Malam ini terasa berbeda. Hangat. Aneh tapi menenangkan.
Saat sampai di koridor lantai dua, Victor mendongak. Lampu temaram menimbulkan bayangan di dinding terlihat panjang. Ia mengulurkan tangan, menyentuh gagang pintu kamarnya. Namun terhenti saat melihat pintu kamar Aleesya sedikit terbuka.
Wanita itu duduk di tepi ranjang, punggungnya menghadap ke arah pintu. Rambutnya terurai jatuh ke bahu, sambil memeluk bantal dan menatap kosong ke arah luar jendela. Lampu meja kecil di sisi ranjang membuat wajahnya terlihat lembut namun lelah.
Victor ingin mengetuk, namun ia mengurungkan niatnya. Pria itu hanya berdiri memperhatikan dari celah kecil itu. Jarak di antara mereka sangat dekat, namun hati Aleesya sedang rapuh dan Victor tahu ia tak boleh masuk seenaknya meskipun ini di rumahnya sendiri.
Dia harus hati-hati. Sangat hati-hati.
Aleesya mengusap wajahnya, kemudian menarik napas panjang seperti mencoba menahan semuanya sendiri. "Apa dia menangis lagi?" ucapnya dalam hati. Victor menggigit bibir bawahnya, melihat itu hatinya terasa di remas. Ia kemudian melanjutkan ucapannya dalam hati, seolah Aleesya mampu mendengar meski kenyataannya wanita itu tidak menoleh.
"Cepatlah bangkit, Sya... biar aku yang menjagamu setelah ini."
Jemari Victor lantas menutup pintu kamar Aleesya perlahan, tanpa suara. Ia kembali ke kamarnya, namun detak jantungnya masih belum stabil. Pengharum ruangan diffuser yang berada di nakas mengikuti Victor saat membuka kembali kopernya, memastikan minuman yang ia sembunyikan tadi berada di dasar tumpukan agar tidak ketahuan Aleesya maupun ibunya.
Victor mengambil Hoodie hitamnya dan melempar sembarangan ke kursi. Tentu saja ia tak bisa tenang. Setelahnya ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit yang gelap. Kata-kata ibunya terus terngiang: "Cinta ada karena biasa... kasih ada karena selalu bersama." pria itu menutup mata, menyunggingkan senyum kecil tanpa sadar.
"Biasa, ya?" gumamnya. "kau benar, Bu... mungkin perasaan ini muncul karena Aleesya sudah ada di hidupku sejak lama." Ia mengendikkan kepala kecil, membayangkan wajah Aleesya saat tersenyum, saat sebal, saat merajuk, saat tertawa ringan sore tadi .. semua muncul bergantian. Namun bayangan lain tiba-tiba muncul, Noah. Cara pria itu memanggil Aleesya, cara Aleesya menatap Noah tadi.
Senyum Victor memudar.
"Aku harus bergerak cepat," bisiknya lirih, "kalau tidak... Aleesya bisa memilih orang lain."
Victor memejamkan mata lebih rapi, kedua tangannya mengepal di atas selimut. Esok lagi mereka akan pergi ke Nuxvar, dan ia sudah memantapkan dalam hati: bahwa di sana, ia takkan lagi hanya menjadi penonton.
---
Malam merangkak semakin larut. Perasaan gelisah, cemburu, dan semangat aneh yang mulai tumbuh bercampur jadi satu. Victor akhirnya terlelap... dengan satu tekad: besok adalah hari pertamanya. Awal untuk memperjuangkan sesuatu... atau seseorang... yang tak ingin ia lepaskan.
"Jangan ganggu Aleesya lagi! jangan temui Aleesya lagi... kau pecundang, Victor Scott.. Haha." suara Noah terus terngiang, mimpi yang terasa begitu jelas membuat tidur Victor gelisah.
***