Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Di koridor rumah sakit.
Andrian duduk di bangku panjang, menatap berkas laporan medis di tangannya. Di atas kertas itu, hasil pemeriksaan jantungnya terpampang jelas, dengan catatan dokter yang menunjukkan kondisi kian memburuk.
Perlahan, ia mengeluarkan selembar foto dari dompetnya. Foto seorang gadis berwajah lembut dengan senyum yang selalu menenangkan hatinya.
“Clara Wu,” bisiknya lirih. “Empat tahun berlalu, dan fotomu masih selalu aku bawa ke mana pun aku pergi. Meski kini kau berada tepat di hadapanku, aku tetap tak bisa menyentuhmu.”
Flashback — empat tahun yang lalu.
Di ruang periksa yang sepi, Andrian duduk di hadapan seorang dokter spesialis jantung.
“Tuan Zhou,” ujar sang dokter dengan nada berat, “kondisi jantung Anda semakin memburuk. Saya sarankan untuk berhenti bekerja terlalu keras. Kesehatan dan nyawa Anda jauh lebih penting dari urusan bisnis.”
Andrian menatapnya dengan tenang. “Katakan saja, berapa lama aku bisa bertahan?”
Dokter menarik napas panjang. “Jika Anda terus memaksakan diri seperti ini, dengan kondisi jantung yang lemah... Anda mungkin tak akan bertahan hingga akhir tahun ini. Tekanan dan kelelahan memperpendek usia Anda.”
“Tidak ada cara lain? Pengobatan atau operasi?” tanya Andrian lirih.
“Yang Anda butuhkan adalah istirahat dan ketenangan, bukan tekanan dan ambisi,” jawab dokter itu tegas.
Flashback off.
Andrian menatap kembali foto di tangannya. Matanya memanas.
“Selama ini aku hanya ingin menjaga agar kau tetap di sisiku, Clara. Tiga tahun lalu, aku tak ingin James Wu menikahkanmu dengan Yohanes Fang, duda beristri empat itu. Karena itu aku setuju bekerja sama dengan keluarga Wu... dan menikahimu. Padahal James Wu bukan pebisnis yang cerdas."
Senyumnya pahit.
“Tapi aku tak bisa mendekatimu. Aku menahan diri agar kau tidak jatuh cinta padaku. Aku mengira bersikap dingin dan mengabaikanmu akan membuatmu menjauh... tapi ternyata justru membuatmu semakin terluka.”
Ia menunduk, suaranya bergetar.
“Nyawaku... Tidak tahu bisa bertahan sampai kapan. Tapi sebelum aku pergi, aku hanya ingin satu hal ... menyembuhkanmu, Itu saja.”
Kane mendorong kursi roda perlahan menghampiri atasannya yang sedang duduk di bangku koridor.
“Tuan,” panggil Kane dengan hormat.
Andrian menoleh, alisnya berkerut. “Aku belum lumpuh, kenapa harus menggunakan kursi roda?” tanyanya dengan nada tenang tapi tegas.
“Tuan, dokter berpesan agar Anda tidak banyak beraktivitas dulu. Kondisi jantung Anda sangat lemah, dan setiap kelelahan kecil bisa memperburuknya,” jelas Kane. “Kursi roda ini bukan untuk membatasi Anda, tapi untuk membantu menjaga kondisi Anda.”
Andrian menghela napas panjang. “Jangan sampai keluargaku tahu. Aku tidak ingin mereka khawatir.”
“Baik, Tuan,” jawab Kane patuh.
Sejenak Kane menatap punggung atasannya yang tampak rapuh dalam diam. “Tuan, selama ini Anda tidak pernah menikmati hidup. Seluruh waktu Anda habis untuk keluarga besar Zhou dan urusan bisnis. Anda hidup untuk mereka, bukan untuk diri Anda sendiri. Tak heran tubuh Anda akhirnya menyerah.”
Andrian tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke depan, lalu berkata pelan, “Kembali ke kamar.”
Kane segera mendorong kursi roda itu kembali ke kamar rawat.
Saat pintu terbuka, Andrian mendapati Clara sedang berdiri di dekat jendela, mengenakan jaket dan tampak siap pergi.
“Kau mau ke mana?” tanya Andrian datar.
Clara menoleh, matanya terbelalak melihat suaminya duduk di kursi roda. “Aku sudah merasa jauh lebih baik. Aku ingin pulang,” ucapnya lirih. “Bagaimana dengan kondisimu?”
Andrian tersenyum tipis. “Kondisiku jauh lebih baik darimu. Tapi sebaiknya kau tinggal di sini beberapa hari lagi.”
Clara menggeleng pelan. “Tidak, aku ingin pulang.”
Andrian menatapnya lekat-lekat, lalu mengulurkan tangannya. “Kemari.”
Clara melangkah mendekat dengan ragu. Begitu jaraknya cukup dekat, Andrian menarik tangannya lembut, membuat Clara terjatuh pelan ke pangkuannya.
Clara terpaku, tubuhnya kaku karena terkejut. Namun Andrian hanya menatap wajah istrinya dengan mata teduh yang menyimpan rindu dan rasa bersalah.