TERROR POCONG SANG DUKUN
PERINGATAN! CERITA INI BERSIFAT FIKSI UNTUK MENGHINDARI KESALAHPAHAMAN DAN KONTROVERSI DENGAN SENGAJA TAK MENYEBUTKAN DAERAH ATAU SUATU NAMA
______________________________
Satu Minggu Sebelum Kematian Ki Anom
Pagi di Desa Sukawaringin biasanya beraroma kopi tubruk dan singkong goreng hangat. Tapi pagi ini, di awal Oktober 2007, ada aroma lain yang menguar di udara, lebih pekat dari asap rokok kretek yang mengepul di warung Teh Marni: aroma keresahan.
Spanduk-spanduk para calon kepala desa membentang di setiap sudut strategis. Foto Pak Tirtayasa dengan kumis tebalnya tersenyum kaku. Wajah klimis Haji Slamet menjanjikan kemakmuran. Dan wajah Mas Bowo yang masih muda tampak penuh semangat. Pilkades tinggal menghitung minggu, dan suhu politik desa mulai menghangat, bahkan cenderung panas.
Di dalam warung Teh Marni yang semi permanen, pusat gosip dan informasi desa, topik itu sedang menjadi hidangan utama.
Mang Udin, dengan seragam Hansip kebanggaannya yang agak kekecilan di bagian perut, menyeruput kopinya dengan dramatis.
Mang Udin:
"Sssst... Denger-denger, semalem Haji Slamet teriak-teriak nggak karuan. Katanya ada seribu paku panas nusuk-nusuk badannya!"
Pak RT, yang sedang mengunyah bala-bala, hampir tersedak.
Pak RT:
"Hus! Ngawur kamu, Din! Isu dari mana itu? Yang saya dengar, badannya cuma lemas kayak kerupuk disiram air. Nggak bisa bangun dari kasur."
Mang Udin:
"Justru itu, Pak RT! Lemasnya itu nggak wajar! Istrinya bilang, pas tengah malem, dari arah kebon bambu belakang rumahnya, bau menyan kebakar santer banget!"
Teh Marni, sang pemilik warung yang sedang mengelap gelas, ikut menimpali dari balik meja.
Teh Marni:
"Bukan cuma Haji Slamet, lho. Kemarin sore istrinya Mas Bowo beli obat sakit kepala ke sini. Katanya kepala Mas Bowo rasanya kayak ditusuk-tusuk jarum, udah tiga hari nggak sembuh-sembuh padahal udah minum Paramex sebungkus."
Suasana warung yang tadinya riuh mendadak hening. Tiga calon kades, tiga-tiganya jatuh sakit dengan gejala aneh dalam waktu yang berdekatan. Ini bukan lagi kebetulan.
Tiba-tiba, deru motor bebek 2-tak yang knalpotnya berisik memecah keheningan. Junaedi, atau Juna, memarkir motornya dengan gaya. Mengenakan celana jins belel dan kaus band The Changcuters, ia melangkah masuk ke warung dengan lagak orang kota.
Juna:
"Teh, kopi hideung hiji, gulana saeutik." (Teh, kopi hitam satu, gulanya sedikit).
Juna duduk di bangku panjang, mengeluarkan ponsel Sony Ericsson K800i-nya dan mulai memainkannya dengan serius, seolah benda itu adalah portal ke dunia yang lebih beradab.
Pak RT:
"Eh, Juna. Kapan pulang dari Jakarta?"
Juna:
"Udah tiga hari, Pak. Lagi suntuk di sana, biasa, nyari kerja susah."
Juna melirik ke sekeliling warung, merasakan atmosfer yang aneh.
Juna:
"Ini kenapa pada tegang begini mukanya? Kayak abis liat pengumuman undian tapi nggak ada yang menang."
Mang Udin, yang merasa panggungnya direbut, segera mengambil alih.
Mang Udin:
"Kamu ini, Jun, baru pulang udah ngeledek aja. Ini lagi genting! Tiga calon kades kita kayaknya 'dikerjain' orang!"
Alis Juna terangkat.
Juna:
"Dikerjain gimana? Kena tipu tim suksesnya?"
Mang Udin:
(Berdecak kesal)
"Bukan itu! Ini... urusan 'orang pinter'. Disantet!"
Juna tertawa kecil, suara yang terdengar sangat sumbang di tengah keseriusan warga.
Juna:
"Santet? Mang Udin, Mang Udin... Ini udah tahun 2007, udah mau ada Facebook, masih aja percaya yang begituan. Paling juga mereka salah makan rujak atau kecapean kampanye. Masuk angin biasa itu."
Wajah Mang Udin memerah antara malu dan marah.
Mang Udin:
"Kamu anak kota nggak ngerti, Jun! Ini bukan masuk angin biasa! Gejalanya aneh-aneh! Ini pasti kerjaannya..."
Mang Udin tidak melanjutkan kalimatnya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya berubah menjadi bisikan.
Mang Udin:
"...Ki Anom."
Nama itu disebut seperti mantra terlarang. Pak RT dan Teh Marni saling berpandangan dengan cemas. Juna hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum sinis.
Juna:
"Ki Anom... Dukun yang rumahnya di ujung desa deket kuburan itu? Ya ampun, orang tua itu masih aja jadi momok. Saya kira dia udah pensiun nakut-nakutin anak kecil."
Pak RT:
"Juna, jangan sembarangan kalau bicara. Kita semua di sini tahu, Ki Anom itu bukan orang biasa."
Juna:
"Bukan orang biasa gimana, Pak? Tangannya empat? Kepalanya dua? Sama aja kan, makan nasi juga. Sudahlah, jangan terlalu dipikirin. Nanti juga pada sembuh sendiri. Mungkin cuma stres mau Pilkades."
Juna kembali asyik dengan ponselnya, menunjukkan dengan jelas bahwa ia tidak tertarik lagi dengan percakapan takhayul itu. Warga di warung hanya bisa diam, merasa kesal dengan kesombongan Juna, tapi di sisi lain, mereka berharap ucapan Juna benar adanya.
Sementara itu, di sebuah gubuk reyot yang berdiri menyendiri di antara rimbunnya rumpun bambu, di ujung desa yang paling jarang dijamah orang...
Aroma kemenyan dan bunga-bunga busuk menusuk hidung. Di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi oleh sebuah lampu teplok, Ki Anom duduk bersila di atas tikar pandan. Matanya yang cekung menatap tajam ke tiga buah boneka jerami kecil di hadapannya.
Di setiap boneka, tertempel sehelai rambut dan potongan kuku. Asap dari dupa yang ia bakar meliuk-liuk di udara, membentuk bayangan-bayangan aneh di dinding gedek.
Mulutnya komat-kamit, merapal mantra dalam bahasa kuno yang tak dimengerti. Tangannya yang keriput perlahan mengambil sebatang paku karatan.
"Tirtayasa... Haji Slamet... Bowo..." desisnya, suaranya serak dan dingin. "Desa ini milikku. Aturannya aturanku."
Dengan satu gerakan perlahan namun pasti, ia menusukkan paku itu ke bagian kepala salah satu boneka jerami.
Takkk!
Pada saat yang bersamaan, di rumahnya yang nyaman, Mas Bowo yang sedang berbaring tiba-tiba menjerit kesakitan, memegangi kepalanya seolah baru saja dihantam palu godam.
Di gubuknya, Ki Anom tersenyum. Senyum tipis tanpa kegembiraan, hanya kepuasan yang dingin dan kejam. Di sudut ruangan, seekor cicak berdecak tiga kali. Api lampu teplok bergoyang hebat, seolah ada angin tak terlihat yang baru saja melewatinya.
Teror itu belum memiliki nama. Tapi benihnya baru saja ditanam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments