"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebetulan yang merupakan takdir
Di rumah Galang, Tiara sedang duduk di taman belakang bersama Raisa yang sedang merajut sepasang kaos kaki untuk cucunya. Tiara memperhatikan tangan Raisa yang cekatan mengait benang-benang itu menjadi satu.
"Kau tak ingin mencobanya?" ucap Raisa,membuat Tiara terhenyak.
"Bolehkah Nyonya?" tanyanya balik.
"Tentu. Aku bisa mengajari mu." ucap Raisa antusias.
Tiara mengambil pengait lalu memasang benang di antara pengaitnya. Saat hendak memulai tiba-tiba Reihan merengek yang membuat Tiara langsung meletakkan benang itu kembali. Raisa yang melihat sikap Tiara itu tersenyum puas.
Tidak salah ia membawa Tiara dan membiarkannya menjadi ibu pengganti untuk cucunya.
" Oh sayang...cup cup cup. Reihan lapar ya, Nak?" gumam Tiara penuh senyum.
Raisa memperhatikan Tiara yang memperlakukan cucunya itu seakan Reihan darah dagingnya sendiri. Tiara penuh kasih saat menyodorkan payudaranya ke mulut mungil bayi itu. Sungguh pemandangan yang membuat hati Raisa merasa lega. Kini ia tak takut jika Tuhan mengambil nyawanya di saat itu.
Raisa menatap keduanya dengan mata berkaca-kaca, tapi senyum hangat tetap menghiasi wajah tuanya. Ia berhenti merajut sejenak, meletakkan gulungan benang di pangkuannya. Hatinya terasa damai, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan sejak putranya, Galang, kehilangan istrinya.
"Anak itu benar-benar beruntung memiliki kau di sisinya, Tiara," ucap Raisa pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
"Tiara yang beruntung, Nyonya. Kalau bukan karena Nyonya. Tiara tidak tahu harus kemana. Dan mungkin Tiara tidak akan bertemu Reihan." sahutnya dengan mata berbinar.
"Kau wanita yang baik, Nak. Aku rasa suamimu akan menyesal setelah melepas mu " ucap Raisa.
Tiara terdiam sejenak,
"Denis, Tiara merasa itu tidak mungkin, Nyonya. Cinta yang dulu pernah ada nyatanya kini sudah mati."
Raisa memandangi wajah Tiara dengan iba, melihat bagaimana perempuan muda itu berusaha tersenyum meski matanya jelas menyimpan luka. Ia meletakkan rajutannya di atas meja kecil di samping bangku taman, lalu mengulurkan tangan menggenggam jemari Tiara yang dingin.
"Tidak ada cinta yang benar-benar mati, Nak. Kadang cinta itu hanya tertimbun oleh amarah dan penyesalan. Tapi kalau Tuhan berkehendak, ia bisa tumbuh lagi dari abu yang tersisa." ucap Raisa lembut.
Tiara menunduk, menatap jemarinya yang kini digenggam hangat oleh Raisa.
"Mungkin benar, Nyonya. Tapi bagi Tiara, cinta itu bukan lagi rumah untuk pulang. Hanya kenangan… yang tidak lagi pantas dijaga."
Raisa menarik napas panjang.
"Kau berbicara seperti seseorang yang telah terluka sangat dalam."
"Mungkin karena Tiara sudah berhenti berharap, Nyonya. Yang Tiara miliki sekarang hanyalah Reihan… dan tempat ini. Itu sudah cukup." sahutnya sambil tersenyum getir.
Raisa terdiam sejenak, menatap bayi kecil yang sedang tertidur di pelukan Tiara.
"Kau tahu, aku pernah berpikir begitu juga dulu, setelah suamiku meninggal. Aku menutup hatiku, merasa tak perlu siapa pun lagi. Tapi kemudian aku sadar, cinta tidak selalu harus datang dalam bentuk yang sama. Kadang cinta baru hadir untuk menyembuhkan luka lama." ucapnya lirih.
Tiara menatap Raisa, seolah mencoba memahami makna di balik ucapannya.
"Cinta baru…?"
"Ya, cinta yang datang tanpa kau rencanakan. Yang membuatmu tenang tanpa harus memaksakan apa pun." balas Raisa, mengangguk pelan
Tiara terdiam lama. Ia menunduk, menatap wajah mungil Reihan yang tenang di dadanya. Hatinya mendadak bergetar. Entah kenapa, wajah Galang sekilas melintas di benaknya. Raisa tersenyum samar, seolah tahu apa yang tengah dipikirkan Tiara.
"Mungkin Tuhan memang menempatkan mu di rumah ini bukan tanpa alasan, Nak."
Tiara menoleh cepat, menatap Raisa dengan sedikit bingung.
"Maksud Nyonya?"
Raisa hanya tersenyum lebih lebar, pandangannya menatap jauh ke arah langit senja yang berwarna keemasan.
"Kadang, yang kita anggap kebetulan… adalah cara Tuhan mempertemukan hati-hati yang butuh disembuhkan."
Tiara tak mampu berkata-kata. Suasana di taman itu berubah hening, hanya suara lembut angin yang menggoyangkan dedaunan di atas mereka. Reihan menggeliat kecil, lalu kembali terlelap.
Dan dari balik jendela lantai dua, Galang berdiri diam memperhatikan mereka. Tatapannya jatuh pada sosok Tiara lembut, sederhana, namun begitu tulus saat memeluk Reihan. Ada sesuatu di dadanya yang bergerak pelan, perasaan yang tak ingin dia akui.
***
Malam itu Tiara sudah masuk ke kamar setelah makan malam. Sementara Galang masih duduk bersama ibu mertuanya di ruang tamu.
"Apa yang Mama pikirkan?" ucap Galang seketika.
Raisa langsung menoleh menatap anak menantunya itu. Mencoba memahami arah pembicaraan Galang.
"Kau sudah mendengarnya?" sahut Raisa.
"Mama ingin menggantikan posisi Reina, menjadi istriku?" ucap Galang, nadanya pelan namun tegas.
Raisa tidak langsung menjawab. Ia menatap Galang lama, dalam diam yang penuh makna. Jemarinya yang mulai berkeriput menggenggam ujung selendangnya erat. Udara di ruang tamu malam itu seolah menebal oleh ketegangan yang halus tapi nyata.
"Aku tidak mengatakan seperti itu, Galang. Aku hanya... ingin kau membuka matamu. Aku tak ingin kau hidup dengan bayangan Reina?" ucap Raisa,suaranya lembut tapi berwibawa.
Galang menarik napas dalam, matanya menatap lurus ke lantai seolah mencari jawaban di antara bayangan lampu.
"Reina tidak bisa tergantikan, Ma. Aku tidak mencari pengganti untuknya."
"Aku tahu. Tapi apakah Reina ingin melihatmu seperti ini, Nak? Hidup dalam kesepian, menolak bahagia, bahkan menolak cinta yang mungkin Tuhan kirimkan lewat cara yang berbeda?" ucap Raisa, tersenyum pahit.
"Mama salah. Aku tidak kesepian. Aku punya Reihan… dan Mama.” kata Galang sambil menggeleng pelan menahan getaran suaranya.
Raisa menatap anak menantunya itu penuh kasih, lalu menggeleng pelan.
"Kau berbohong, Galang. Aku mengenalmu. Tatapanmu saat melihat Tiara tidak bisa membohongi siapa pun, termasuk dirimu sendiri."
Galang langsung menegakkan tubuh, sorot matanya menegang.
"Tiara hanya pengasuh, Ma."
"Pengasuh? Jangan menipu dirimu, Galang. Aku melihatnya. Aku seorang ibu dan aku tahu kau sedang berbohong." ucap Raisa menatapnya dalam.
Galang terdiam. Ia memejamkan mata sejenak, menundukkan kepala. Bayangan Tiara memeluk Reihan di taman siang tadi kembali muncul di pikirannya. Senyumnya, kelembutannya, kehangatan yang diam-diam membuat dadanya bergetar. Ia membuka mata cepat, menahan napas.
“Ma…. Aku tidak bisa. Aku tidak boleh. Kalau aku sampai jatuh hati padanya… itu pengkhianatan pada Reina." ucap Galang,suaranya serak.
Raisa mendekat, menyentuh tangan Galang.
"Tidak, Nak. Pengkhianatan yang sebenarnya adalah menolak hidup saat Tuhan memberimu kesempatan untuk mencintai lagi."
Galang terdiam, menggenggam tangan ibunya erat. Tapi di dalam dadanya, perasaan bersalah dan ketakutan bercampur dengan sesuatu yang hangat dan berbahaya. Ia tahu Raisa tidak sepenuhnya salah. Ia hanya belum siap untuk mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri.
Sementara itu, di lantai atas, Tiara berdiri di depan jendela kamarnya. Lampu taman memantulkan cahaya lembut di wajahnya. Ia baru saja menidurkan Reihan dan kini menatap ke arah ruang tamu di bawah sana, melihat Galang dan Raisa berbicara. Ia tidak tahu isi percakapan mereka, tapi entah kenapa, jantungnya berdebar tanpa alasan.
"Aku hanya sementara di sini…" gumamnya pelan, seolah menenangkan diri.
Namun dalam hatinya, ia tahu, ia mulai takut pada sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya: perasaannya sendiri.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️