Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Bu Ratna terisak keras, tangannya menutup mulutnya yang gemetar. Ia jatuh berlutut di lantai, suaranya pecah oleh tangis. Beberapa pelayan yang mendengar kegaduhan itu segera mendekat, namun tak ada yang berani menyentuh Nyonya besar itu. Mereka hanya bisa memandang Bu Ratna dengan penuh iba.
Beberapa menit kemudian, Bu Ratna berdiri dengan tergesa-gesa dan berlari menuju ke ruang kerja suaminya yang juga berada di lantai bawah. Ia mengetuk pintu ruangan itu dengan panik.
“Pak! Bapak, cepat buka pintunya!” seru Bu Ratna dengan histeris.
Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh Pak Arman Wiranegara, ayah Aditya, pria berusia lima puluhan dengan wajah tegas dan tatapan matanya yang tajam.
“Ada apa, Ratna?” tanya pak Arman dengan datar.
Bu Ratna hampir tidak bisa berbicara karena tangisnya yang masih tersisa.
“Anak kita,pak. Aditya... dia barusan pergi! Dia pergi sambil membawa kopernya dan bilang akan meninggalkan rumah ini dan pergi ke luar negeri bersama Reina!”
Pak Arman tertegun untuk sesaat, lalu mengerutkan kening dengan kesal.
“Apa kau bilang?”
“Aditya benar-benar serius dengan keputusannya, pak! Ibuk lihat sendiri! Tolong, lakukan sesuatu! Ibuk tidak mau kehilangan anak kita, pak.” isak Bu Ratna sambil memegangi dadanya. “Ibuk tidak peduli lagi soal status, soal keluarga Pak Permadi, atau soal bisnis. Pokoknya ibuk hanya mau anak kita kembali!” ucap Bu Ratna yang membuat Pak Arman mendengus keras.
“Ratna, kau tidak mengerti apa-apa. Semua yang kulakukan ini demi masa depan Aditya sendiri! Keluarga Permadi adalah mitra penting bagi perusahaan kita. Dengan menikahi putri mereka, posisi Wiranegara Group akan semakin kuat di pasar nasional. Itu bukan hal yang bisa dikorbankan hanya karena perasaan sesaat!” ucap pak Arman yang membuat Bu Ratna menatap suaminya dengan marah.
“Perasaan sesaat? Kau menyebut cinta anak kita pada Reina sebagai perasaan sesaat?” suaranya meninggi. “Arman, dengarkan aku! Aditya bukan mainan, bukan alat untuk memperluas pengaruh mu!”
Pak Arman tetap berdiri tegap di balik mejanya. Tatapannya terlihat dingin saat melihat perubahan sikap istrinya yang mulai goyah dalam hal menjodohkan Aditya dengan Alisha, setelah melihat Aditya yang pergi dari rumah.
“Aku tidak akan membiarkan satu gadis dari kalangan bawah menghancurkan semua yang sudah ku bangun selama ini, Ratna.”
“Apa status lebih penting daripada kebahagiaan anak kita, pak?” ucap Bu Ratna hampir menjerit. “Kau tahu siapa Reina? Dia gadis yang jujur, sederhana, dan tulus mencintai Aditya! Apa itu masih belum cukup?”
“Tidak cukup untuk menjadi bagian dari keluarga Wiranegara,” potong pak Arman dengan tajam.
Hening panjang memenuhi ruangan. Bu Ratna berdiri mematung, memandang suaminya dengan mata yang basah dan penuh kecewa.
“Jadi itu jawabannya?” bisiknya pelan. “Kau rela kehilangan anakmu sendiri hanya demi kekuasaan dan nama besar?”
Pak Arman tak menjawab. Ia hanya menatap jendela besar ruang kerjanya yang menghadap ke taman depan, arah di mana mobil Aditya tadi melaju meninggalkan rumah. Tatapannya terlihat dingin, sementara jemarinya mengepal kuat di atas meja. Ada sesuatu di dalam dirinya yang juga bergejolak, tapi egonya terlalu tinggi untuk mengakuinya.
Bu Ratna mendekat, suaranya bergetar penuh amarah.
“Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik, Arman. Aku tidak peduli apa pun yang kau rencanakan. Tapi aku ingin anak kita kembali, pak. Tolong lakukan sesuatu! Cari dia, temukan dia, dan bawa Aditya pulang ke rumah ini sebelum semuanya terlambat! Ibuk tidak mau kehilangan Aditya, pak. Pokoknya ibuk mau anak kita kembali ke rumah ini.” ucap Bu Ratna yang membuat Pak Arman menghela napas panjang.
“Baik,” katanya datar. “Kalau itu yang ibuk mau, Bapak akan lakukan sesuatu. Tapi bapak sendiri yang akan menentukan caranya.”
Tak berselang lama kemudian, pak Arman akhirnya memanggil salah satu pengawal yang berjaga di luar ruang kerjanya untuk segera menghadap nya.
"Cepat kalian pergi ke rumah Reina dan pastikan apakah anakku Aditya berada di rumah wanita itu? Kalau kalian melihatnya, tolong segera kabari aku secepatnya." Perintah pak Arman yang membuat pengawal itu mengangguk mengerti.
"Baik tuan" ucap pengawal itu yang segera pergi dari kediaman Wiranegara untuk melaksanakan perintah dari pak Arman.
Siang itu, udara di kota Surabaya masih diselimuti sisa embun. Langit berwarna kelabu pucat, seolah ikut memantulkan kekalutan yang sedang melanda hati seseorang. Di depan rumah sederhana milik Reina, sebuah mobil hitam berhenti perlahan. Dari dalamnya, keluar sosok pria muda dengan wajah tegang, langkahnya terlihat cepat, dan sorot matanya menyimpan gejolak yang sulit dibaca, orang itu adalah Aditya Pratama Wiranegara.
Ia baru saja meninggalkan rumah mewah milik keluarganya, setelah perdebatan panjang dengan ibunya yang tak mampu menahan kepergiannya lagi. Aditya tahu, keputusannya akan menimbulkan badai besar. Tapi di pikirannya kini hanya ada satu hal yaitu membawa Reina pergi bersamanya.
“Dika,” panggil Aditya pada asistennya yang sedari tadi ia tugaskan untuk menjaga Reina.
Dika, asisten pribadi Lucas yang setia, menatap sang majikan dengan raut wajah bingung.
“Ya, Tuan Aditya?”
“Segera pesan dua tiket penerbangan ke luar negeri. Tujuan bebas, yang paling cepat berangkat hari ini. Aku tidak peduli ke mana, asal jauh dari sini.” ucap Aditya yang membuat Dika terpaku selama beberapa detik.
“Dua tiket, Tuan? Tapi untuk siapa?”
“Untukku dan Reina,” potong Aditya dengan cepat, suaranya datar namun mengandung nada tegas yang tak bisa dibantah.
“Tapi, Tuan... Apakah tidak sebaiknya Anda—”
“Tidak ada tapi tapian, Dika!” suara Aditya meninggi, namun matanya memancarkan kelelahan dan kegundahan. “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Aku ingin tiket itu berada di tanganku dalam waktu satu jam.”
Melihat ekspresi serius sang majikan, Dika akhirnya menunduk patuh.
“Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya.”
Aditya hanya mengangguk, lalu bergegas masuk ke dalam rumah Reina. Langkahnya cepat dan tegas, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang tak sabar untuk memastikan gadis itu tetap di sisinya. Begitu masuk ke dalam rumah, ia mendapati suasana yang senyap. Aroma nasi goreng dan teh hangat tercium samar dari meja makan. Dika memang sudah menyiapkan sarapan sesuai perintahnya tadi pagi, tapi semuanya masih utuh dan tak tersentuh sedikit pun.
Pandangan Aditya mengeras. Ia berjalan ke arah kamar Reina, mengeluarkan kunci dan membuka pintu dengan cepat.
Gadis itu duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya dengan pandangan matanya yang kosong. Wajahnya pucat, matanya sembab karena tangis yang tak berhenti semalaman. Tubuhnya terlihat lemah, seolah semua tenaga dan semangat hidupnya telah terkuras habis.
“Reina,” panggil Aditya pelan.
Reina tersentak, lalu menatap Aditya sekilas tanpa kata. Ada ketakutan yang jelas terpancar dari sorot matanya, tapi di balik itu juga tersimpan amarah dan luka yang mendalam.
“Kau belum makan?” tanya Aditya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/