Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan untuk Dante dari Si Pembunuh!!!
Jam delapan pagi lebih sedikit, Sofia menghampiri ku yang sedang duduk di kap mobil. Aku menunggu dia mengatakan sesuatu. Tapi tampaknya tidak ada yang ingin di katakan.
Sambil duduk diam aku berpikir kenapa sobat pembunuhku kabur dengan truk nya. Sebuah tekanan di paha ku melaburkan lamunan. kulirik pahaku. Sofia meremas pahaku. Kutatap wajahnya. Dia membalas.
"Mereka temukan mayatnya. Maksudku, sisa tubuh wanita itu. Hmm, potongannya."
Aku berdiri. "Dimana?" Dia menatap ku aneh.
Tapi menjawab, "Di Stadion Office Depot Center."
"Tempat klub bermain? Dia atas lapangan es?" Tanyaku.
Sofia mengangguk, masih menatapku. "Potongan tubuh korban di jejalkan di bawah tiang gawang. Tapi ngomong-ngomong, apa Artinya... Sam-bolie?"
"Apa?"
Sofia angkat bahu. "Sejenis mesin atau apa. Yang biasa di pakai untuk menghaluskan permukaan lapangan es?"
"Zamboni, makskudmu?"
"Iya, apalah. Operatornya mengaku mengeluarkan alat itu karena lapangan akan dipakai berlatih pagi ini. Lantas orang ini... saat menjalankan alat itu di atas es, lalu melihat tumpukan bungkusan plastik di bawah gawang. Dia hentikan mesin untuk melihat. Daniel sudah di sana duluan. Dia bilang si operator tidak bisa di tenangkan saking kagetnya. Tidak bisa memberikan keterangan tambahan." Ujar Sofia.
Dalam kasus ini, aku rela mengatakan apa pun agar di ajak ke TKP di stadion. Aku ingin melihat potongan tubuh ditumpuk dalam bungkusan rapi tanpa noda darah.
Saking kepinginnya, aku sampai merasa berhak dan posesif.
"Baiklah, setidaknya memberi peluang kita untuk mengobrol." Angguk Sofia dan memberi senyuman kecil dan aneh.
Kami berdiri bersandar pada mobilku yang penyok, menikmati matahari terbit. Tujuh kali dia bertanya apakah aku sempat melihat wajah sopir truk, tapi selalu berakhir dengan kerutan jidat.
Lima kali dia bertanya apa aku yakin yang aku lihat itu truk berpendingin, yang ini pasti akal bulusnya untuk menyangkal Nadia.
Terakhir, tiga kali dia menatap lerengan jembatan menggeleng kepala sambil melihat, "Berengsek!"
Pasti sebutan buat Polisi Berengsek, adik tersayang, Nadia. Menghadapi kebenaran prediksi Nadia soal pelaku yang menggunakan truk berpendingin, dia sungguh butuh rencana cadangan buat mengendalikan situasi.
Bisa kulihat dari caranya menggigit bibir, Sofia sedang berpikir keras. Aku cukup yakin dia mampu menemukan bahan untuk membuat jengkel Nadia, memang cuma itu bisanya, tapi sekarang aku berharap setidaknya nilai adikku sedikit terangkat di mata kolega.
Aku harap yang lain bisa mengakui usaha serta kemampuan Nadia. Anehnya, Sofia tidak bertanya apa yang aku lakukan keluyuran malam-malam. Aku bukan Detektif, tapi aku pikir pertanyaan itu mestinya wajib. Mungkin jahat kalau aku bilang bahwa memang tipikal Sofia untuk bertindak bodoh, tapi inilah buktinya. Dia tidak menanyakannya.
Belum puas bicara, dia ajak aku ke mobilnya.
"Masuk," perintahnya. Aku menurut.
Sofia mengendarai mobil masuk ke jalur bebas hambatan dengan kecepatan yang bahkan terhitung cepat untuk ukuran Shadowfall City. Begitulah, kami tiba di I-595, lalu belok kiri.
Tiga kali dia melirikku sebelum bicara, "kemeja yang bagus. Baju-baju kamu selalu bagus, Dante."
Tentu saja semua bajuku bagus. Aku bangga menjadi monster berbusana terbaik di seluruh Shadowfall City. Meski kostum pagi ini terhitung buru-buru, tetap aku pilih hati-hati.
Pertanyaannya adalah kenapa seorang Detektif bagian pembunuhan berotak politisi mendadak peduli? Apa dia...
Eh, masa sih? Sebuah gagasan nakal berkembang dalam benak. Konyol memang, tapi apa lagi, coba?
Aku rasa Sofia tidak sedang berusaha membuat aku kelepasan bicara agar bisa menekan dengan pertanyaan seputar kesaksian kasus.
Sofia sedang bermanis rupa. Dia suka padaku.
Padahal syokku belum hilang akibat peristiwa mencium dadakan terhadap Abigail dan sekarang harus menghadapi ini?
Sofia menyukaiku?
Absurd.
Tentu saja aku bisa salah. Lagi pula, punya egoisme gila macam apa aku sampai berpikir wanita super berorientasi karier yang mulus macam Sofia bisa menyimpan ketertarikan terhadapku? Bukannya malah...
Kalau saja dia tau betapa aku cuma pura-pura berbalas santun, sebagaimana sikapku pada semua orang selama ini. Bukan bermaksud jahat atau apa. Aku memang pandai mempesona wanita. Ini aku akui.
Tapi... berubah jadi seperti ini? Sekarang aku harus bagaimana? Apa dia bakal mengajak kencan makan malam? Atau beberapa jam bercinta di Motel Moonlight Lodge?
Akhirnya, kami tiba di stadion tepat sebelum aku demam panik. Sofia memarkir mobilnya di tengah. Aku langsung melompat keluar.
"Aku akan melihat ke dalam." Kataku. Aku setengah berlari masuk stadion. Iya, aku meninggalkan Sofia, tapi sekaligus tidak sabar ingin melihat hasil karya teman pembunuhku.
Ruangan dalam bergema oleh kesibukan terorganisir khas TKP, namun tetap terasa getaran khusus di udara. Semacam desiran gairah dan ketegangan yang tidak akan ditemui di TKP pembunuhan biasa.
Sekelompok orang berkerumunan di dekat garis TKP. Kapten Jackson berdebat soal yurisdiksi dengan seorang pria bersetelan mahal. Saat mendekat. Aku lihat Alejandro dalam posisi seperti biasa, bersimpuh sebelah lutut sedang menyodok-nyodok salah satu kantong mayat bertumpuk rapi.
Aku berhenti di pagar pemisah penonton. Kepalaku pusing sedikit, tidak yakin apakah pagar pembatas ini sanggup menahan bobotku kalau sampai ambruk.
Bahkan dari jarak ini aku bisa bilang betapa si pembunuh berlama-lama memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Apa dia tau bahwa aku tidak bermaksud jahat terhadapnya?
Benarkah aku ingin melacak sampai ke sarangnya hanya demi mendongkrak karier Nadia? Awalnya mungkin begitu, tapi apa aku cukup kuat mempertahankan niat kalau perkembangan kasusnya jadi makin menarik?
Apa ini bukan bukti bahwa si pembunuh berjalan di jalur paralel denganku? Lihat hasil kerjanya yang sempurna sekarang ini.
Kepala wanita malang itu pasti kuncinya. Sebagai salah satu benda berharga dalam karyanya, tidak mungkin dia buang begitu saja. Pasti sengaja dilempar untuk menakutiku.
Atau dia tau bahwa sebenarnya aku punya perasaan sama seperti dirinya? Mungkinkah tingkahnya padaku hanya sekedar main-main? Menggodaku? Pasti ada alasan penting sampai rela menghadiahkan trofi sedahsyat itu.
Sofia muncul di sisi. "Kamu buru-buru sekali, memangnya dia bakal pergi ke mana?" Ujarnya dengan nada sedikit tersinggung dan menunjuk ke arah tumpukan mayat.
"Aku harus melihat ini." Jujur aku jawab.
"Dasar kamu." Sofia menampar lenganku.
Hening lagi, sebelum aku bingung harus bagaimana, Sersan Daniel datang menghampiri. Seperti biasa, Daniel lebih berminat mencari cara mengoyak tulang rusukku ketimbang hal lain.
Aku meninggalkan dia bicara dengan Sofia. Pelototannya terus mengikuti langkahku, dengan ekspresi menuduh dan dengan senang hati mengoyak isi perutku untuk mencari tau sendiri.
Aku berputar menjauh, bergerak perlahan menyusuri tepian lapangan. Belum sempat terlaksana, seseorang menonjok keras tulang rusukku dari belakang.
Aku segera menegakkan punggung dan wajah, bersiap menghadapi penyerangku dengan lagak terluka dan senyum terpaksa.
"Halo, adik tersayang. Senang melihat wajah ramah di tempat ini." Aku menyapa.
"Dasar Berengsek." Desis Nadia.
"Mungkin. Tapi kenapa baru bilang sekarang?"
"Karena kamu memang biang berengsek. Punya petunjuk tapi disimpan sendiri!"
"Petunjuk? Bicara apa ka..." Aku nyaris tergagap.
"Cukup membualnya, Dante! Tidak ada yang mau keluyuran jam empat pagi mencari pelacur. Kamu tau di mana dia... si pembunuh itu. Dante!" Geram Nadia.