NovelToon NovelToon
TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Dokter Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Transmigrasi / Era Kolonial
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.

Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.

Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13. PERJALANAN KE BATAVIA

Langit pagi di ufuk timur perlahan beranjak dari warna kelabu keemasan menuju biru lembut, menyinari jalan tanah yang membentang panjang di depan rombongan kuda dan pedati. Aruna duduk dengan tangan terikat di dalam salah satu gerobak sederhana yang digunakan para serdadu kompeni untuk membawa logistik. Di sekelilingnya, derap langkah kuda dan bunyi derit roda kayu berpadu menjadi irama perjalanan yang monoton, namun justru menguatkan kesadarannya bahwa ia sedang berada jauh dari kenyataan yang biasa ia kenal.

Aruna menatap ke luar. Pandangannya menyapu hamparan sawah luas yang berkilau terkena sinar matahari, para petani tampak membungkuk di pematang, tubuh mereka basah oleh peluh, namun wajah-wajah mereka memperlihatkan keikhlasan yang aneh. Asap tipis mengepul dari dapur-dapur bambu rumah panggung, menyebarkan aroma kayu terbakar yang samar terbawa angin. Burung-burung bangau berterbangan di atas hamparan sawah, meninggalkan jejak putih di langit yang semakin cerah.

Di dalam hati kecilnya, Aruna bergumam lirih, "Jadi beginilah ... tanah yang dulu hanya kulihat di buku-buku sejarah. Semua ini nyata, begitu dekat, seakan aku bisa merasakan denyut nadi masa lampau."

Aruna menggelengkan kepala, sulit memercayai dirinya sedang menempuh jalan yang berabad-abad kemudian akan dipenuhi deru kendaraan, gedung-gedung menjulang, dan hiruk pikuk manusia yang tak mengenal sepi. Kini, jalanan masih berupa tanah becek di beberapa bagian, dipagari pepohonan besar yang seakan menjadi saksi bisu peradaban yang perlahan tumbuh.

Sesekali, rombongan melewati desa-desa kecil. Anak-anak kampung berlarian mengikuti pasukan kompeni dari kejauhan, sebagian berani mendekat, sebagian lagi hanya mengintip dari balik dinding bambu. Wajah mereka penuh rasa ingin tahu, ada pula ketakutan yang membayang. Perempuan desa membawa kendi berisi air di atas kepala, sementara lelaki menuntun kerbau dengan santai. Mereka semua menoleh sejenak, menundukkan wajah saat melihat seragam merah-putih-biru khas tentara kompeni.

Aruna merasakan dadanya sesak setiap kali pandangan mata penduduk itu tertuju padanya. Ia ingin berteriak, mengatakan bahwa dirinya bukan bagian dari mereka yang menindas, melainkan sama-sama anak dari tanah ini, sama-sama manusia yang mencintai kebebasan. Namun mulutnya terkunci. Tangan yang terikat membuatnya tak berdaya.

Di salah satu desa, ia melihat pasar sederhana dengan tenda-tenda kain goni. Aroma rempah, ikan asin, dan buah tropis bercampur jadi satu. Pedagang menimbang beras dengan takaran kayu, sementara beberapa orang Tionghoa duduk menjaga toko kecil berisi barang pecah belah. Aruna mengamati dengan penuh minat. Seolah semua yang pernah ia baca tentang 'Batavia Lama' kini terbentang di depan matanya, hidup dan berdenyut.

Matahari semakin naik. Jalan yang mereka lalui semakin ramai dengan para kusir delman, pedagang keliling, serta tentara lain yang sedang melakukan perjalanan ke arah berbeda. Sesekali, rombongan melewati jembatan kayu di atas sungai kecil. Air sungai berkilau, perahu-perahu kayu sederhana terikat di tepi, digunakan untuk mengangkut hasil bumi menuju kota besar di utara.

Aruna menatap langit yang cerah, namun hatinya gelisah. Ia sadar, tujuan perjalanan ini adalah Batavia: pusat kekuasaan, pusat administrasi, tempat segala keputusan besar diambil. Nama itu membuat bulu kuduknya meremang. Batavia bukan sekadar kota; ia adalah simbol kolonialisme, simbol dominasi bangsa asing atas tanah airnya. Dan kini, ia sendiri sedang dibawa ke sana, untuk menghadap Gubernur Jenderal Van der Capellen.

Menjelang tengah hari, setelah rombongan berjalan cukup jauh, Jendral Willem mengangkat tangan.

"Halte! Istirahat di sini!" Suara sang jendral lantang, tegas, bergema di udara. Pasukan pun berhenti. Beberapa prajurit segera turun dari kuda, ada yang meneguk air dari kendi, ada pula yang meregangkan kaki mereka yang kaku karena perjalanan panjang.

Di sebuah lapangan berumput dekat pohon besar, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Bayangan pepohonan memberi teduh yang amat dibutuhkan dari teriknya matahari. Angin semilir membawa aroma tanah dan dedaunan.

Aruna diturunkan dari gerobak, tetap dengan tangan terikat, lalu dipersilakan duduk di tanah. Jendral Willem mendekat, kali ini dengan tatapan yang tidak sekeras biasanya.

"Frau Aruna, kau adalah tahanan. Tapi kami diperintahkan untuk membawamu dalam keadaan baik. Maka makanlah," kata Jendral Willem dalam bahasa Belanda, namun memberikan gestur agar ucapannya dapat dimengerti walau sedikit oleh Aruna.

Tanpa penerjemah Aruna mengenal baik bahasa itu. Bahasa Belanda adalah salah saru dari sekian bahasa yang Aruna kuasi di era modern.

Seorang prajurit menyerahkan sebungkus makanan. Aruna menatapnya penuh rasa ingin tahu. Isinya roti keras, mungkin roti gandum kering yang awet dibawa dalam perjalanan panjang. Ada pula sepotong keju asin, serta sedikit daging asap yang diasinkan, khas bekal tentara Belanda saat bepergian jauh. Untuk minuman, ia diberi kendi kecil berisi bir tipis yang sudah dicampur air, kebiasaan mereka untuk mencegah air cepat basi.

Aruna menatap makanan itu dengan ragu, lalu mengangkat wajah ke arah Willem. "Aku akan memakannya. Terima kasih."

Willem hanya mengangguk singkat, lalu berbalik memberi instruksi kepada pasukannya. Melirik ke arah Aruna, bertanya-tanya apakah gadis itu mengerti apa yang diucapkan oleh Willem tadi dalam bahasa Belanda.

Aruna menggigit roti keras itu. Teksturnya sukar dikunyah, jauh berbeda dari nasi hangat atau singkong rebus yang biasa ia nikmati di desa. Namun rasa asin dari keju memberi sedikit kenyamanan. Daging asap menguatkan aroma, gurih bercampur asin, meninggalkan rasa berat di lidahnya. Ia meneguk sedikit bir encer itu, merasakan sensasi asing yang membasahi tenggorokannya.

Inilah makanan para tentara yang menguasai negeri ini. Sementara rakyat di desa-desa hanya bisa makan singkong atau jagung seadanya. Betapa timpangnya zaman ini, batin Aruna.

Namun sebelum pikirannya larut lebih jauh, suara gaduh terdengar di sisi lain lapangan. Seorang prajurit tiba-tiba terhuyung dan jatuh tersungkur ke tanah. Wajahnya memucat, lalu membiru di sekitar bibir. Dadanya naik-turun dengan cepat, seolah ia kesulitan bernapas. Tangannya meraih lehernya sendiri, matanya melotot seakan hendak keluar.

"Kapitein! Hilfe! Ia tak bisa bernapas!" seru salah satu tentara panik.

Rombongan mendekat, berkerumun di sekeliling prajurit malang itu. Aruna mengenali gejala itu. Napas yang tersengal, bibir membiru, tubuh gemetar, ia pernah membaca tentang kondisi semacam ini di buku kesehatan. Asma akut, pikirnya cepat. Atau mungkin reaksi alergi yang parah akibat makanan. Bisa jadi sang prajurit memiliki masalah pernapasan yang dipicu udara panas atau debu jalanan.

Tanpa pikir panjang, Aruna bangkit. Instingnya sebagai manusia, sebagai seseorang yang terbiasa menolong sesama, mengalahkan rasa takutnya. Ia melangkah mendekat, berusaha menembus kerumunan.

"Biarkan aku melihatnya! Aku tahu sedikit cara menolong orang dengan sesak napas," kata Aruna lantang.

Namun seketika, suara keras menghentikan langkahnya.

"Halt! Tinggal di tempatmu!" seru salah satu prajurit dalam bahasa Belanda.

Beberapa senjata laras panjang langsung diacungkan ke arahnya. Bayonet berkilau terkena cahaya matahari, ujungnya tajam mengarah tepat ke dada Aruna.

Aruna tertegun. Jantungnya berdegup kencang. Ia memandang para prajurit yang wajahnya tegang penuh curiga.

"Aku hanya ingin menolong," ucapnya dengan suara bergetar namun tegas. "Kalau kalian tidak bertindak cepat, dia bisa mati!"

Penerjemah memberitahu apa yang Aruna katakan.

Jendral Willem berdiri tak jauh dari sana, menatap dengan mata tajam. Ia ragu. Di satu sisi, ia tahu tawanan ini bukan orang biasa; Aruna memiliki wibawa yang membuat banyak orang percaya padanya. Di sisi lain, jika memang Aruna bisa menolong, membiarkannya mencoba bukanlah ide buruk. Namun aturan militer jelas: tahanan tidak boleh dibiarkan bergerak bebas, apalagi menyentuh pasukan.

Suasana menjadi tegang. Para tentara masih menodongkan senjata, sementara prajurit malang itu terus terbatuk-batuk, wajahnya makin membiru, tubuhnya bergetar hebat.

Aruna menatap Willem lurus, penuh keberanian. "Jika kalian biarkan aku, mungkin aku bisa menolongnya. Jika tidak, kalian akan kehilangan seorang prajurit hari ini."

Semua terdiam, tidak rahu harus berbuat apa.

1
Jelita S
Kita yg ngontrak ini diam z lh,,,
Archiemorarty: Jomblo gigit jari aja pokoknya mah 🤣
total 1 replies
Jelita S
aku jdi senyum2 sendiri 😍😍
Jelita S
ada jga kompeni yg baik seperti Gubernur satu ini,,,pantesan sampe skg msih banyak orang kita yg menikah sama Belanda kompeni penjajah😄😄😄
Archiemorarty: Van der Capellen aslinya di dunia nyata memang baik, sayang sma pribumi, sampe buatin sekolah khusus buat pribumi agar lebih maju. Sampe dikatain sma pejabat Belanda zaman itu kalau Van der terlalu lemah untuk seorang pemimpin hindia belanda /Grimace/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
cie cie yang mau MP jadi senyum" sendiri 🤣🤭😄
Archiemorarty: Hahahaha.... astaga /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
menjadi melow deh dan jadi baper sama perkataan nya Van Der 😍😭❤❤
Archiemorarty: waktunya romance dulu kita...abis itu panik...abis itu melow...abis itu...ehh..apa lagi ya /Slight/
total 1 replies
Jelita S
gantung z si Concon itu
Archiemorarty: Astaga 🤣
total 1 replies
Jelita S
adakah ramuan pencabut nyawa yg Aruna buat biar tak kasihkan sama si Concon gila itu😂
Archiemorarty: Tinggal cekokin gerusan aer gerusan biji apel aja, sianida alami itu /Slight/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Van Der lucu banget
Archiemorarty: Hahaha /Facepalm/
total 3 replies
gaby
Tukang Fitnah niat mempermalukan tabib, harus di hukum yg mempermalukan jg. Dalam perang sekalipun, Dokter atau tenaga medis tdk boleh di serang.
Archiemorarty: Benar itu, aturan dari zaman dulu banget itu kalau tenaga medis nggak boleh diserang. emang dasar si buntelan itu aja yang dengki /Smug/
total 1 replies
Wulan Sari
semoga membela si Neng yah 🙂
Archiemorarty: Pastinya /Proud/
total 1 replies
gaby
Jeng jeng jeng, Kang Van der siap melawan badai demi membela Neng Aruna/Kiss//Kiss/
Archiemorarty: Sudah siap sedia /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Akhirnya sang pujaan hati datang plisss selamat Aruna 😭😭😭😭
gaby
Aduuh Kang Van der kmanain?? Neng geulisnya di fitnah abis2an ko diem aja, kalo di tinggal kabur Aruna tau rasa kamu jomblo lg. Maria & suaminya mana neh, mreka kan berhutang nyawa sm Aruna, mana gratis lg alias ga dipungut bayaran. Sbg org belanda yg berpendidikan harus tau bakas budi. Jadilah saksi hidup kebaikan Aruna. Kalo ga ada Aruna km dah jadi Duda & kamu Maria pasti skrg dah jadi kunti kolonial/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...sabar sabar /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
plisss up yang banyak
Archiemorarty: Hahaha...jari othor keriting nanti /Facepalm/
total 1 replies
Jelita S
dasar si bandot tua,,,tak kempesin perutnya baru tau rasa kamu kompeni Belanda
Archiemorarty: Hahaha...kempesin aja, rusuh dia soalnya /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh bagaimana Aruna menangani fitnah tersebut
Archiemorarty: Hihihi...ditunggu besok ya /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
seru bangettt, ternyata Van deer romantis juga yaa kan jadi baperrr 😍😍😭😭😭
Archiemorarty: Bapak Gubernur kita diem diem bucin atuh /Chuckle/
total 1 replies
gaby
" Jangan panggil aq lagi dgn sebutan Tuan, tp panggilah dgn sebutan Akang". Asseeek/Facepalm//Facepalm/
Archiemorarty: Asyekkk
total 1 replies
gaby
Akhirnya rasà penasaranku terbayarkan. Smoga Maria & suaminya menyebarluaskan kehebatan & kebaikan Aruna, agar Aruna makin di hormati. Kalo Aruna dah pny alat medis, dia bisa jd dokter terkaya di Batavia, ga ada saingannya kalo urusan bedah. Kalo dah kaya Aruna bisa membeli para budak utk dia latih atau pekerjakan dgn upah layak. Ga sia2 Van der membujang sampe puluhan tahun, ternyata nunggu jodohnya lahir/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...membujang demi doi dateng ya/Proud/
total 1 replies
gaby
Babnya lompat atau gmn thor?? Kayanya kmrn babnya tentang Aruna yg menolong wanita belanda yg namanya Maria, apa kabarnya Maria?? Bagaimana reaksi publik ketika melihat Aruna menyelamatkan pasien sesak napas di tengah2 keramaian pasar. Dan bagaimana respon warga kolonial ketika mendengar kesaksian dr suami Maria yg jd saksi kehebatan Aruna. Ko seolah2 bab kmrn terpotong
Archiemorarty: owalah iya, salah update aku...astaga. maapkan othor... update lagi ngantuk ini. ku ubah ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!