Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13. PERJALANAN KE BATAVIA
Langit pagi di ufuk timur perlahan beranjak dari warna kelabu keemasan menuju biru lembut, menyinari jalan tanah yang membentang panjang di depan rombongan kuda dan pedati. Aruna duduk dengan tangan terikat di dalam salah satu gerobak sederhana yang digunakan para serdadu kompeni untuk membawa logistik. Di sekelilingnya, derap langkah kuda dan bunyi derit roda kayu berpadu menjadi irama perjalanan yang monoton, namun justru menguatkan kesadarannya bahwa ia sedang berada jauh dari kenyataan yang biasa ia kenal.
Aruna menatap ke luar. Pandangannya menyapu hamparan sawah luas yang berkilau terkena sinar matahari, para petani tampak membungkuk di pematang, tubuh mereka basah oleh peluh, namun wajah-wajah mereka memperlihatkan keikhlasan yang aneh. Asap tipis mengepul dari dapur-dapur bambu rumah panggung, menyebarkan aroma kayu terbakar yang samar terbawa angin. Burung-burung bangau berterbangan di atas hamparan sawah, meninggalkan jejak putih di langit yang semakin cerah.
Di dalam hati kecilnya, Aruna bergumam lirih, "Jadi beginilah ... tanah yang dulu hanya kulihat di buku-buku sejarah. Semua ini nyata, begitu dekat, seakan aku bisa merasakan denyut nadi masa lampau."
Aruna menggelengkan kepala, sulit memercayai dirinya sedang menempuh jalan yang berabad-abad kemudian akan dipenuhi deru kendaraan, gedung-gedung menjulang, dan hiruk pikuk manusia yang tak mengenal sepi. Kini, jalanan masih berupa tanah becek di beberapa bagian, dipagari pepohonan besar yang seakan menjadi saksi bisu peradaban yang perlahan tumbuh.
Sesekali, rombongan melewati desa-desa kecil. Anak-anak kampung berlarian mengikuti pasukan kompeni dari kejauhan, sebagian berani mendekat, sebagian lagi hanya mengintip dari balik dinding bambu. Wajah mereka penuh rasa ingin tahu, ada pula ketakutan yang membayang. Perempuan desa membawa kendi berisi air di atas kepala, sementara lelaki menuntun kerbau dengan santai. Mereka semua menoleh sejenak, menundukkan wajah saat melihat seragam merah-putih-biru khas tentara kompeni.
Aruna merasakan dadanya sesak setiap kali pandangan mata penduduk itu tertuju padanya. Ia ingin berteriak, mengatakan bahwa dirinya bukan bagian dari mereka yang menindas, melainkan sama-sama anak dari tanah ini, sama-sama manusia yang mencintai kebebasan. Namun mulutnya terkunci. Tangan yang terikat membuatnya tak berdaya.
Di salah satu desa, ia melihat pasar sederhana dengan tenda-tenda kain goni. Aroma rempah, ikan asin, dan buah tropis bercampur jadi satu. Pedagang menimbang beras dengan takaran kayu, sementara beberapa orang Tionghoa duduk menjaga toko kecil berisi barang pecah belah. Aruna mengamati dengan penuh minat. Seolah semua yang pernah ia baca tentang 'Batavia Lama' kini terbentang di depan matanya, hidup dan berdenyut.
Matahari semakin naik. Jalan yang mereka lalui semakin ramai dengan para kusir delman, pedagang keliling, serta tentara lain yang sedang melakukan perjalanan ke arah berbeda. Sesekali, rombongan melewati jembatan kayu di atas sungai kecil. Air sungai berkilau, perahu-perahu kayu sederhana terikat di tepi, digunakan untuk mengangkut hasil bumi menuju kota besar di utara.
Aruna menatap langit yang cerah, namun hatinya gelisah. Ia sadar, tujuan perjalanan ini adalah Batavia: pusat kekuasaan, pusat administrasi, tempat segala keputusan besar diambil. Nama itu membuat bulu kuduknya meremang. Batavia bukan sekadar kota; ia adalah simbol kolonialisme, simbol dominasi bangsa asing atas tanah airnya. Dan kini, ia sendiri sedang dibawa ke sana, untuk menghadap Gubernur Jenderal Van der Capellen.
Menjelang tengah hari, setelah rombongan berjalan cukup jauh, Jendral Willem mengangkat tangan.
"Halte! Istirahat di sini!" Suara sang jendral lantang, tegas, bergema di udara. Pasukan pun berhenti. Beberapa prajurit segera turun dari kuda, ada yang meneguk air dari kendi, ada pula yang meregangkan kaki mereka yang kaku karena perjalanan panjang.
Di sebuah lapangan berumput dekat pohon besar, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Bayangan pepohonan memberi teduh yang amat dibutuhkan dari teriknya matahari. Angin semilir membawa aroma tanah dan dedaunan.
Aruna diturunkan dari gerobak, tetap dengan tangan terikat, lalu dipersilakan duduk di tanah. Jendral Willem mendekat, kali ini dengan tatapan yang tidak sekeras biasanya.
"Frau Aruna, kau adalah tahanan. Tapi kami diperintahkan untuk membawamu dalam keadaan baik. Maka makanlah," kata Jendral Willem dalam bahasa Belanda, namun memberikan gestur agar ucapannya dapat dimengerti walau sedikit oleh Aruna.
Tanpa penerjemah Aruna mengenal baik bahasa itu. Bahasa Belanda adalah salah saru dari sekian bahasa yang Aruna kuasi di era modern.
Seorang prajurit menyerahkan sebungkus makanan. Aruna menatapnya penuh rasa ingin tahu. Isinya roti keras, mungkin roti gandum kering yang awet dibawa dalam perjalanan panjang. Ada pula sepotong keju asin, serta sedikit daging asap yang diasinkan, khas bekal tentara Belanda saat bepergian jauh. Untuk minuman, ia diberi kendi kecil berisi bir tipis yang sudah dicampur air, kebiasaan mereka untuk mencegah air cepat basi.
Aruna menatap makanan itu dengan ragu, lalu mengangkat wajah ke arah Willem. "Aku akan memakannya. Terima kasih."
Willem hanya mengangguk singkat, lalu berbalik memberi instruksi kepada pasukannya. Melirik ke arah Aruna, bertanya-tanya apakah gadis itu mengerti apa yang diucapkan oleh Willem tadi dalam bahasa Belanda.
Aruna menggigit roti keras itu. Teksturnya sukar dikunyah, jauh berbeda dari nasi hangat atau singkong rebus yang biasa ia nikmati di desa. Namun rasa asin dari keju memberi sedikit kenyamanan. Daging asap menguatkan aroma, gurih bercampur asin, meninggalkan rasa berat di lidahnya. Ia meneguk sedikit bir encer itu, merasakan sensasi asing yang membasahi tenggorokannya.
Inilah makanan para tentara yang menguasai negeri ini. Sementara rakyat di desa-desa hanya bisa makan singkong atau jagung seadanya. Betapa timpangnya zaman ini, batin Aruna.
Namun sebelum pikirannya larut lebih jauh, suara gaduh terdengar di sisi lain lapangan. Seorang prajurit tiba-tiba terhuyung dan jatuh tersungkur ke tanah. Wajahnya memucat, lalu membiru di sekitar bibir. Dadanya naik-turun dengan cepat, seolah ia kesulitan bernapas. Tangannya meraih lehernya sendiri, matanya melotot seakan hendak keluar.
"Kapitein! Hilfe! Ia tak bisa bernapas!" seru salah satu tentara panik.
Rombongan mendekat, berkerumun di sekeliling prajurit malang itu. Aruna mengenali gejala itu. Napas yang tersengal, bibir membiru, tubuh gemetar, ia pernah membaca tentang kondisi semacam ini di buku kesehatan. Asma akut, pikirnya cepat. Atau mungkin reaksi alergi yang parah akibat makanan. Bisa jadi sang prajurit memiliki masalah pernapasan yang dipicu udara panas atau debu jalanan.
Tanpa pikir panjang, Aruna bangkit. Instingnya sebagai manusia, sebagai seseorang yang terbiasa menolong sesama, mengalahkan rasa takutnya. Ia melangkah mendekat, berusaha menembus kerumunan.
"Biarkan aku melihatnya! Aku tahu sedikit cara menolong orang dengan sesak napas," kata Aruna lantang.
Namun seketika, suara keras menghentikan langkahnya.
"Halt! Tinggal di tempatmu!" seru salah satu prajurit dalam bahasa Belanda.
Beberapa senjata laras panjang langsung diacungkan ke arahnya. Bayonet berkilau terkena cahaya matahari, ujungnya tajam mengarah tepat ke dada Aruna.
Aruna tertegun. Jantungnya berdegup kencang. Ia memandang para prajurit yang wajahnya tegang penuh curiga.
"Aku hanya ingin menolong," ucapnya dengan suara bergetar namun tegas. "Kalau kalian tidak bertindak cepat, dia bisa mati!"
Penerjemah memberitahu apa yang Aruna katakan.
Jendral Willem berdiri tak jauh dari sana, menatap dengan mata tajam. Ia ragu. Di satu sisi, ia tahu tawanan ini bukan orang biasa; Aruna memiliki wibawa yang membuat banyak orang percaya padanya. Di sisi lain, jika memang Aruna bisa menolong, membiarkannya mencoba bukanlah ide buruk. Namun aturan militer jelas: tahanan tidak boleh dibiarkan bergerak bebas, apalagi menyentuh pasukan.
Suasana menjadi tegang. Para tentara masih menodongkan senjata, sementara prajurit malang itu terus terbatuk-batuk, wajahnya makin membiru, tubuhnya bergetar hebat.
Aruna menatap Willem lurus, penuh keberanian. "Jika kalian biarkan aku, mungkin aku bisa menolongnya. Jika tidak, kalian akan kehilangan seorang prajurit hari ini."
Semua terdiam, tidak rahu harus berbuat apa.