NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:973
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11: Mimpi buruk II

Saat memasuki kamar, pandangannya langsung tertumbuk pada sosok istrinya yang duduk anggun di atas ranjang. Maria terlihat tenang, dengan kaki yang disilangkan dan buku tebal di tangannya. Sorot matanya tertuju pada halaman demi halaman, seolah kehadiran Anthony hanyalah angin lalu. Tidak ada lirikkan, tidak ada sapaan—sikapnya begitu dingin dan acuh.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Anthony memilih berjalan masuk ke kamar mandi. Ia menutup pintu perlahan, menahan segala gundah yang berputar dalam kepalanya.

Maria menurunkan bukunya setelah mendengar suara pintu kamar mandi tertutup. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. Dengan gerakan pelan namun tegas, ia berdiri, berjalan ke arah lemari besar dengan gagang emas yang mengilap. Jarinya menyusuri deretan pakaian pria, memilih satu stel yang paling nyaman untuk dikenakan setelah mandi. Ia letakkan pakaian itu di atas ranjang, rapi terlipat. Tanpa menunggu lebih lama, ia meninggalkan kamar dengan langkah ringan dan tenang, lalu menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.

Waktu berlalu tanpa terasa. Aroma masakan memenuhi ruangan, tapi kesepian tetap menggantung di udara. Hari perlahan berubah menjadi malam. Setelah semua selesai, Maria kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya oleh aktivitas, tapi juga oleh luka-luka yang menahun di dalam dada.

Sementara itu, Anthony telah tertidur di sisi ranjang, masih mengenakan pakaian bersih yang disiapkan Maria. Wajahnya terlihat letih, seperti pria yang kalah dalam peperangan batinnya sendiri. Napasnya teratur, tapi keningnya berkerut—menandakan tidurnya tak benar-benar tenang.

Maria memandangi suaminya sejenak sebelum berbalik pergi. Ia kemudian menuju kamar putrinya, membawa serta perasaan rapuh yang ia sembunyikan dengan rapi di balik senyumnya yang lembut.

Rambutnya di kuncir indah, mengilap diterpa cahaya lampu koridor. Pakaian tidurnya berwarna lembut, jatuh sempurna membalut tubuhnya yang ramping. Dengan hati-hati, ia menggenggam handle pintu kamar Nayara, mendorongnya perlahan.

Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyapa kulitnya, menambah keheningan yang mencekam ruangan. Ia menyalakan lampu kamar, cahayanya memantul lembut di dinding-dinding putih yang sunyi. Maria melangkah pelan menuju sisi ranjang putrinya. Tatapannya lembut saat ia menunduk, mengusap kepala Nayara yang terlelap dengan damai, lalu mengguncang tubuhnya perlahan, penuh kasih sayang.

“Nay… sayang, ayo bangun…” ucap Maria pelan, suaranya lembut menyentuh udara pagi yang tenang, tapi tubuh kecil di atas ranjang itu tetap tak bergeming.

“Ayo bangun, kita makan,” lanjutnya, kali ini sembari mengguncang tubuh Nayara sedikit lebih kencang. Goyangan itu akhirnya membuat tubuh putrinya menggeliat perlahan, dan kelopak matanya yang berat mulai terbuka, berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya lampu yang baru saja dinyalakan.

“Mama…” lirih Nayara, suara seraknya khas orang yang baru bangun tidur. Ia langsung melingkarkan kedua lengannya ke pinggang Maria dan menyandarkan kepalanya ke perut ibunya. Gerakan itu begitu alami—nyaman dan penuh kasih. Ia menghirup aroma tubuh ibunya yang hangat, wangi parfum lembut khas Maria langsung menenangkan pikirannya. Aroma itu selalu membawa rasa aman yang tak tergantikan.

“Bangun, ayo. Ini sudah malam… kita makan malam dulu,” ucap Maria lembut, sambil terus mengusap kepala Nayara dengan penuh kasih. Gerakan tangannya menyapu perlahan helaian rambut putrinya, menyelipkan beberapa helai ke belakang telinga Nayara dengan lembut.

“Sudah malam? Jam berapa ini?” Nayara langsung terlonjak, duduk tegak seketika dengan sorot mata panik. Ingatannya kembali pada janji yang telah ia buat.

“Setengah tujuh malam,” jawab Maria kalem, memperhatikan ekspresi putrinya yang berubah drastis.

“Ya ampun! Mama, kenapa tidak membangunkan ku?! Aku harus pergi bersama Vina!” seru Nayara panik, suaranya melengking sembari melompat turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi dengan tergesa-gesa. Ia bahkan tidak sempat memperhatikan ekspresi ibunya lagi. Maria hanya bisa menggeleng pelan, bibirnya membentuk senyum kecil yang terselip rasa gemas dan sedikit pasrah.

Dengan langkah pelan, Maria meninggalkan kamar putrinya. Gaun tidurnya melambai seiring gerakan tubuhnya, dan rambutnya yang setengah dikuncir jatuh rapi di punggung. Ia berjalan menuju ruang makan, membiarkan waktu berlalu sembari menunggu Nayara selesai bersiap.

Waktu terus bergulir, suara dari lantai atas akhirnya terdengar, dan Nayara turun dengan langkah ringan namun cepat. Rambutnya tergerai sempurna, sudah ditata rapi. Ia mengenakan dress pendek berwarna pastel yang senada dengan tas kecil mungil di bahunya dan sepatu cantik yang menambah pesonanya. Wajahnya dirias tipis, cukup untuk memancarkan kecantikannya yang alami.

Tangannya sibuk memainkan ponsel, mungkin sedang membalas pesan atau mengecek sesuatu yang penting. Karena terlalu fokus, ia bahkan tidak menyadari keberadaan Maria yang duduk di meja makan, menunggunya sejak tadi dengan piring-piring yang sudah tertata rapi. Langkah Nayara melewati meja makan begitu saja, tanpa menoleh sedikit pun.

Maria memandangi putrinya yang berlalu begitu cepat. Tatapannya sendu namun hangat. Ada kebanggaan, ada cinta, tapi juga ada sepi yang diam-diam menyusup ke dalam hatinya.

“Naya…” panggil Maria dengan suara pelan namun penuh ketegasan, menghentikan langkah cepat Nayara yang baru saja melewati meja makan. Gadis itu sontak berhenti dan berbalik dengan ekspresi kikuk.

“Eh, Mama… maaf, aku tidak lihat,” ujarnya sambil tersenyum kaku, lalu buru-buru menarik kursi dan duduk di hadapan ibunya. Wajahnya sedikit canggung, apalagi melihat tatapan ibunya yang tampak menunggu sedari tadi.

“Maaf, Ma… aku tidak makan di rumah. Soalnya aku mau menonton konser bersama Vina, jadi kemungkinan besar aku akan makan di sana, bersama yang lain,” ujar Nayara jujur, nada suaranya pelan namun terdengar jelas. Maria terdiam sejenak. Sorot matanya tak berubah, tetap lembut, tapi ada kedalaman yang sulit ditebak dalam pandangannya.

“Mama sudah masak banyak, untuk kali ini… Mama mohon, makanlah dulu. Mama pengin Naya makan bareng malam ini.” Nada suara itu terdengar begitu tulus. Ada kerinduan yang terbungkus dalam kalimat sederhana. Bukan hanya soal makan malam, tapi tentang kebersamaan yang mungkin terasa semakin langka.

“Mama tidak perlu memohon… Nay akan makan. Maaf, ya,” ujar Nayara akhirnya, kali ini lebih tenang. Ia menatap ibunya dengan tatapan bersalah, lalu mulai duduk dengan tenang dan bersandar sedikit ke kursi.

Maria menghela napas pelan, senyumnya merekah kecil. Ia segera beranjak dari duduknya dan mengambil piring, menata makanan dengan teliti. Tangannya terampil menyendok nasi, menambahkan lauk satu per satu seolah memastikan tidak ada yang kurang. Lalu, ia menyodorkan piring penuh itu ke hadapan putrinya.

“Nah, makanlah,” ucapnya sembari meletakkan piring itu dengan hati-hati di depan Nayara. Wajahnya terlihat lega.

“Terima kasih, Mama… Oh ya, sekarang biar Nay yang ambilkan makanan untuk Mama,” sahut Nayara tiba-tiba, membuat Maria tertegun sejenak.

Dengan tangannya yang masih lentik dan gerakan ringan, Nayara mengambil piring sang ibu, lalu mulai menyendok nasi dan lauk dengan takaran yang sama seperti yang ibunya lakukan tadi. Ia tersenyum kecil saat menyodorkan piring itu pada Maria.

“Ini untuk Mama. Terima kasih, ya, Mah,” ucapnya tulus.

“Iya, sayang,” sahut Maria sambil tersenyum, matanya menghangat melihat interaksi kecil itu. Ia mulai menyuapkan makanan ke mulutnya perlahan. Namun suapan berikutnya terhenti ketika Nayara mendongak dan menatap ibunya.

“Ma… Papa di mana? Apa dia tidak jadi datang?” tanyanya tiba-tiba. Nada suaranya penasaran tapi juga mengandung harapan. Maria membeku sejenak, lalu tersenyum kecil, menurunkan sendoknya perlahan.

“Ada di kamar. Tadi dia masih tidur… mungkin karena kelelahan.” Jawab nya tenang.

“Papa datang jam berapa?” tanya Nayara lagi, alisnya sedikit berkerut.

“Jam setengah lima,” jawab Maria, dan tanpa berkata banyak lagi, Nayara langsung bangkit dari duduknya.

“Nay panggil Papa dulu, Mah,” katanya sambil beranjak dari meja makan, meninggalkan ibunya yang hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menjauh.

Nayara melangkah menaiki tangga menuju lantai dua, di mana kamar utama berada. Denting langkahnya menggema lembut di antara lorong rumah yang sepi. Sesampainya di depan kamar, ia mengulurkan tangan dan memutar handle pintu perlahan.

Begitu pintu terbuka, cahaya lampu kamar temaram menyambutnya. Matanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri membelakangi ruangan, tepat di balkon. Tubuhnya tegak namun tidak kaku. Bahunya sedikit turun, memperlihatkan kesan lelah yang belum benar-benar sirna. Angin malam meniup pelan tirai balkon, dan rambut pria itu—Anthony—berkibar ringan tertiup angin.

Dia hanya diam di sana, tidak bergerak. Sepertinya ia baru saja bangun dari tidur panjangnya. Nayara melangkah perlahan mendekati sosok pria yang berdiri mematung di balkon kamar itu. Angin malam meniup pelan ujung rambutnya, dan ia bisa melihat punggung lebar sang ayah yang tampak diam dalam hening, seperti tengah larut dalam pikiran sendiri.

Dengan langkah lembut, Nayara meraih pinggang ayahnya dari belakang, memeluknya erat. Wajahnya ia sandarkan di punggung sang ayah yang hangat, memejamkan mata sejenak, menikmati ketenangan yang hanya bisa ia rasakan saat berada sedekat ini dengan Anthony.

Anthony tersentak kecil oleh sentuhan itu, namun segera mengenali pelukan sang putri. Perlahan, ia membalikkan tubuhnya dan membalas pelukan itu, menatap Nayara dengan mata yang hangat dan sedikit berkabut oleh perasaan haru. Karena tubuhnya yang tinggi, Nayara harus sedikit berjinjit untuk bisa mencapai pelukan seimbang di dada ayahnya.

“Mengagetkan saja,” gumam Anthony, namun tangannya tetap bergerak pelan mengusap rambut putrinya dengan lembut. Sentuhan itu terasa penuh kasih dan menenangkan, seperti pelukan seorang ayah yang diam-diam rindu.

“Hehe… Papa kira itu Mama, ya?” goda Nayara sambil terkekeh kecil, mengangkat wajahnya agar bisa melihat ekspresi sang ayah. Anthony tak menjawab langsung, hanya tersenyum tipis. Tapi dari tatapan matanya, Nayara tahu bahwa ayahnya sedang menahan tawa hangatnya.

“Mau ke mana? Malam-malam begini sudah rapi?” tanya Anthony, kini lebih santai. Sorot matanya memeriksa penampilan Nayara yang tampak bersiap dengan riasan ringan dan outfit yang tertata cantik.

“Menonton konser bersama Vina,” jawab Nayara singkat sambil tersenyum, yang hanya dibalas anggukan kecil oleh sang ayah.

“Ahhh, begitu… Jangan pulang terlambat, ya,” ucapnya, menambahkan sedikit penekanan di akhir kalimat—bukan dalam nada melarang, tapi lebih pada bentuk perhatian khas seorang ayah.

“Ayo makan malam dulu, Mama sudah masak,” ajak Nayara sembari menggandeng tangan ayahnya. Jemari kecilnya menggenggam hangat telapak Anthony yang besar dan kuat, lalu menariknya perlahan keluar kamar.

Keduanya melangkah menuju ruang makan di lantai bawah. Lampu gantung berdesain klasik menggantung di tengah ruangan, menerangi meja makan besar dengan taplak putih bersih. Di sana, Maria sudah duduk rapi, matanya menatap hampa ke arah makanan yang terhidang rapi, seolah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Begitu melihat Nayara dan Anthony tiba, Maria segera tersadar, lalu berdiri dengan sigap. Senyumnya muncul, hangat dan penuh perhatian, seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Dengan tenang, ia menyiapkan makanan untuk sang suami, mengambilkan nasi dan lauk seperti yang biasa ia lakukan setiap malam.

Semua terasa begitu biasa—terlalu biasa. Mereka duduk bersama, menyuapkan makanan masing-masing dalam diam. Tak ada pertengkaran, tak ada kejanggalan… hanya keheningan yang menggantung lembut di udara, seperti tirai tipis yang tak terlihat.

Makan malam pun dimulai dalam suasana tenang. Suara sendok yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya yang terdengar. Mereka terlihat seperti keluarga harmonis pada umumnya, makan bersama dalam satu meja… seolah tak ada rahasia, tak ada luka yang menggantung di balik senyum-senyum yang terukir.

Hingga akhirnya Nayara mengangkat wajahnya, menatap dua sosok di hadapannya, lalu membuka mulut untuk bicara—berniat memecah keheningan yang terlalu sunyi.

“Papa… masakan Mama enak, ya?” ucap Nayara lembut, suaranya mengambang di udara seperti angin sore yang tenang. Ia menyendok nasi perlahan ke piringnya, senyum kecil merekah di wajahnya yang bersinar oleh cahaya lampu gantung ruang makan.

“Tentu. Masakan Mama selalu enak. Dari dulu,” jawab Anthony sambil mengangkat wajahnya dari piring. Tatapannya jatuh pada putrinya dengan senyum tipis, ada sedikit kebanggaan yang terselip di sorot matanya.

“Aku juga rasa begitu. Aneh ya… lidahku seperti tahu kapan harus pulang. Soalnya aku belum pernah menemukan rasa seenak ini di luar. Meskipun banyak yang mencoba, rasanya selalu beda,” lanjut Nayara, mengangguk pelan. Suaranya rendah, kalem, namun menyimpan sesuatu di balik kata-katanya—seperti desir lembut yang membawa banyak arti.

“Itu karena Mama memang pandai memasak. Kamu harus belajar dari Mama nanti,” ujar Anthony sambil terkekeh kecil. Ia sempat melirik ke arah Maria, yang tetap diam—menunduk pada makanannya, seolah menolak ikut serta dalam percakapan hangat itu.

“Belajar, ya… aku belajar banyak dari Mama, Pa. Bahkan dari hal-hal yang Mama sendiri tidak pernah ajarkan secara langsung,” ujar Nayara sembari menatap ayahnya. Matanya yang bening tampak tenang, namun menyimpan kedalaman.

“Mama memang sosok luar biasa,” balas Anthony, sedikit mengernyit, tapi senyumnya tetap terjaga. Nayara menarik napas perlahan. Ia meletakkan sendoknya ke atas piring dengan tenang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Sorot matanya tetap mengarah pada Anthony, kali ini lebih serius namun masih diselimuti kelembutan.

“Kalau nanti aku menikah, Pa… Apa harapan Papa untuk calon suami aku?” tanyanya, dengan nada pelan yang nyaris seperti bisikan, tapi penuh makna.

Anthony tampak berpikir sejenak, mengusap dagunya perlahan sebelum akhirnya menjawab dengan suara dalam dan tenang.

“Papa ingin dia pria yang baik, bertanggung jawab, jujur, dan... setia. Papa ingin dia bisa jaga kamu, jadi tempat pulang kamu, bukan alasan kamu merasa hilang. Papa tidak mau kamu hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian, atau harus berpura-pura bahagia hanya demi terlihat utuh. Dia bukan hanya harus jadi suami, tapi dia juga harus bisa jadi sahabat yang akan selalu menjadi tempatmu berpulang di kala dunia tidak menerima lagi.” Ujar nya yang membuat suasana di meja makan itu terasa hening sejenak. Hanya terdengar detak jam dinding dan suara napas yang tertahan. Maria masih tak bersuara, tangannya yang tadi sibuk menyendok nasi kini diam membeku.

“Itu harapan yang indah, Pa. Tapi... bagaimana menurut Papa, kalau kenyataannya tidak semua pria sanggup jadi seperti itu? Bagaimana jika seandainya suatu hari nanti aku bertemu dengan pria yang tidak baik dan hanya bisa menyakiti hatiku, apa yang akan Papa lakukan?” tanya Nayara sambil tersenyum. Namun senyum itu bukan senyum ceria—melainkan senyum getir, seperti seseorang yang sudah tahu jawabannya, tapi tetap ingin mendengar versi orang lain.

“Kita selalu punya harapan, tapi Tuhan yang menentukan. Tapi Papa yakin, jika tidak semua pria seperti itu. Dan jikapun itu terjadi, maka Papa akan mengambilmu dari pria yang tidak tahu bersyukur itu,” ujar Anthony dengan serius, suara beratnya menggema sedikit di ruangan makan yang kini terasa lebih hening. Matanya yang tajam menatap Nayara, seolah ingin menyampaikan bahwa apapun yang terjadi, dia akan selalu melindungi putrinya.

Nayara terdiam sejenak, pandangannya kosong seolah terlarut dalam pikirannya yang dalam. Hatinya berbisik pelan, seakan suara itu hanya bisa didengar olehnya.

"Itulah yang akan kakek nenek lakukan jika mereka tahu putri yang mereka sayangi, yang mereka besarkan sepenuh hati, yang selalu mereka manjakan kini malah disia-siakan oleh suaminya sendiri." Pikiran itu datang begitu saja, mengguncang hatinya. Tanpa sadar, matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan kelemahan itu di depan ayahnya.

“Itu benar, tapi lebih banyak yang seperti itu, bukan?” lanjut Nayara, dengan nada yang lebih rendah, namun tajam—seolah ingin menantang kenyataan yang ada.

“Maksud kamu?” tanya Anthony, matanya sedikit terkejut, dan kini tampak kebingungan. Ia menatap Nayara seolah mencoba menangkap arah pembicaraan yang lebih dalam, tetapi tetap menjaga ketenangannya.

“Teman-temanku banyak yang bercerai. Ada yang baru satu tahun, ada juga yang sudah punya anak. Alasannya mirip-mirip: suaminya tidak setia. Mereka cerita… bukan tentang skandal atau siapa yang tidur dengan siapa. Tapi lebih ke... bagaimana rasanya harus bertahan dengan pria yang hatinya saja bukan lagi untuk mereka,” ucap Nayara sambil mengaduk-aduk nasinya, meski sebenarnya ia tidak lapar. Anthony terdiam, menatap piringnya yang tak berkurang sedikitpun. Begitu pula Maria, yang hanya menunduk dalam. Matanya tak terangkat, seakan terperangkap dalam kenangan yang tak ingin ia sentuh.

Nayara melirik sekilas ke arah kedua orang tuanya, namun kedua orang itu tetap diam, terjebak dalam pembicaraan yang semakin dalam. Lalu ia melanjutkan pelan, nada suaranya tetap datar, namun ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan.

“Ada satu temanku yang bilang, ‘Yang paling menyakitkan itu bukan perselingkuhannya, tapi fakta bahwa aku tahu… dan tetap harus bersikap seolah semuanya baik-baik aja demi anakku, dan demi keluargaku... Apa saat dia melakukan itu, dia tidak sadar jika yang terikat di sini bukan hanya dia dan dirinya? Tapi kedua keluarga dan keturunannya,'” Nayara mengingat dengan jelas kalimat itu. Ia menatap Anthony penuh arti, seolah menyampaikan lebih dari sekadar kata-kata.

“Papa percaya tidak, betapa kuatnya perempuan saat mereka dipaksa diam demi menjaga rumah yang retak tapi masih disebut ‘rumah tangga’? Dipaksa diam dengan segala rasa sakit hanya agar orang lain berpikir jika semuanya baik-baik saja?” Nayara sedikit menekankan sendoknya di atas piring, suaranya mulai sedikit serak, seperti menahan air mata yang ingin keluar.

“Itu memang berat. Tapi kamu… kamu tidak akan seperti itu, Nayara. Papa yakin kamu akan menemukan laki-laki yang tidak akan pernah membuat kamu merasa sendirian dalam hubungan. Belum saatnya kamu memikirkan hal seperti itu. Fokus pada pendidikanmu, jangan terlalu memikirkan masalah rumah tangga orang lain,” ujar Anthony, mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Semoga, Pa. Aku harap begitu. Tapi aku belajar satu hal… kalaupun suatu hari aku harus berpura-pura, aku harap aku bisa sekokoh sahabat ku.” Suaranya lebih pelan, lebih lembut, namun matanya tetap menatap Anthony dengan penuh makna. Pandangannya tajam, seakan-akan menembus jauh ke dalam pikiran sang ayah. Maria menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya yang hampir pecah. Hanya diam, dan matanya terfokus pada piringnya.

“Aku hanya penasaran Ma, Pa. Terkadang aku berpikir… kenapa ya, banyak laki-laki yang seperti lupa caranya bersyukur?” lanjut Nayara dengan suara yang rendah, hampir berbisik, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Matanya tak lepas dari Anthony, menunggu reaksi ayahnya.

“Papa, laki-laki sebaik apa sih sampai merasa pantas meninggalkan perempuan yang sudah berkorban segalanya untuk nya? Karier, kebebasan, dan sebagainya. Bahkan mereka melupakan mimpi-mimpinya hanya untuk mengabdi pada suaminya… lalu apa yang mereka dapatkan? Pengkhianatan?” Nayara mengucapkannya dengan nada yang tenang, namun ada kegetiran yang terasa dari kata-katanya. Ia menatap ayahnya dengan penuh arti, menunggu jawaban, namun tampaknya Anthony tidak menyadari bahwa setiap kata Nayara seperti sebuah sindiran langsung kepadanya.

Anthony hanya menggaruk pelipisnya, sedikit kikuk dengan ucapan Nayara yang menohok. Ia merasa tidak nyaman, tapi berusaha tetap tenang.

“Kadang... mungkin mereka tidak sadar. Atau... terlalu sibuk sama urusannya sendiri. Nay, terkadang semua yang terjadi di luar kehendak kita semua... tentang mimpi dan kebebasan sebelum ikatan suci terjalin, kedua belah pihak pasti sudah saling setuju. Semua orang awalnya menikah karena cinta, sayang... walaupun terkadang karena terlalu fokus pada hal lain, mereka salah jalan...” ujar Anthony menjelaskan sudut pandangnya pada sang putri, sembari melirik istri nya sekilas. Ada keraguan di matanya, seakan ia berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Nayara.

Nayara tertawa pelan, nada tawanya miris tapi ia mencoba menutupi perasaan itu dengan sedikit gurauan.

“Iya, terlalu sibuk sampai lupa siapa yang selalu ada di rumah menunggu dan melayani nya sepenuh hati.” Suaranya mulai sedikit sinis, namun tetap lembut. Matanya berkilat sejenak, melirik Anthony yang masih tampak canggung. “Teman aku juga bilang, suaminya itu bilang dia hanya ‘tersesat sebentar’, tapi nyatanya... dia sengaja tidak pulang dan memilih bersama dengan wanita barunya. Mungkinkah cinta bisa hilang karena hal baru yang lebih menarik?” Nayara berhenti sejenak, menunggu respons, namun Anthony hanya terdiam.

“Padahal kalau dipikir-pikir… apa susahnya bersyukur punya istri yang tidak banyak menuntut? Yang cukup hanya dengan kehadiran dan kesetiaan?” Ia tertawa kecil, tawa yang lebih terdengar seperti ejekan tanpa suara. Anthony kini tampak canggung, wajahnya memerah sedikit, seolah baru menyadari sesuatu yang belum ia pahami sebelumnya.

Maria, yang sejak tadi diam di ujung meja, mulai menyeka mulutnya dengan serbet. Ia berpura-pura sibuk, tetapi jelas sekali bahwa ia mendengarkan setiap kata yang diucapkan Nayara. Matanya yang mulai berkaca-kaca menandakan betapa berat beban yang sedang ia pendam. Nayara melirik Mama sekilas, lalu kembali menatap ayahnya. Kini suaranya lebih tenang, namun tetap ada ketegangan yang tak terucapkan.

“Aku hanya ingin tahu, Pa... kadang aku bingung, kenapa kebanyakan pria merasa berhak untuk melakukan itu. Untuk melupakan semua yang telah diberikan oleh perempuan yang mencintainya tanpa syarat.” Ujar nya yang membuat Anthony kembali terdiam, tapi kali ini, matanya mulai sedikit berubah.

“Apa mungkin… laki-laki memang tidak pernah benar-benar puas, ya? Bahkan setelah diberi hati, mereka masih cari tangan lain untuk digenggam. Padahal di rumah, ada perempuan yang dengan tenang terus menunggu, walau tahu hatinya sudah tidak dipilih lagi. Kadang aku pikir sahabatku itu terlalu bodoh,” ujar Nayara, kembali tertawa, namun tawanya terasa kosong, meluncur begitu saja tanpa ada keceriaan. Namun tidak dengan Anthony, sepertinya ia sedikit tersinggung dengan ucapan sang putri. Wajahnya yang biasanya tegap, kini sedikit mengkerut, seolah tidak tahu harus merespons apa. Anthony berusaha mengganti topik, suaranya sedikit gugup.

“Nay… kamu jangan terlalu banyak berpikir tentang hal seperti itu? Kadang hubungan orang tidak bisa dijadikan patokan untuk kita. Kamu jangan sampai kehilangan harapan karena cerita orang lain,” ujar Anthony, berusaha terdengar tegas meski ada kecanggungan yang mencuat di suaranya. Nayara hanya tersenyum tipis, senyuman itu terlihat tipis, namun matanya yang sayu tak bisa menyembunyikan perasaan yang membelenggunya.

"Sayang kamu ini kenapa dari siang membahas hal seperti ini?" ujar Maria, akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun ada sedikit kekhawatiran yang terbayang di sana. Nayara melirik sang ibu dengan senyuman tulusnya, tapi dalam hati, dia menangis. Menangis melihat sekuat apa wanita yang ada di hadapannya itu. Menahan luka tanpa ada yang tahu.

"Maaf Ma, Pa.. Naya hanya penasaran saja.. Naya tidak tahu harus meluapkan rasa penasaran Naya pada siapa jika bukan pada kalian.. Aku sering bertanya-tanya, Pa… Ma kenapa laki-laki mudah sekali jatuh cinta pada yang baru, dan lupa pada yang dulu pernah mereka perjuangkan?” Nayara menatap ke luar jendela, suaranya pelan dan berpikir, seolah mencari jawaban di luar sana, di balik langit malam yang gelap.

Anthony sedikit gelagapan, namun tetap berusaha tenang. Ia tahu ini bukan pertanyaan biasa. Ini adalah pertanyaan yang melibatkan hatinya, mungkin bahkan menyentuh luka lama.

“Mungkin… mereka hanya tersesat sesaat. Atau tergoda oleh sesuatu yang... berbeda seperti yang tadi papa bilang. Nay, tidak semua laki-laki sama seperti suami dari sahabatmu itu,” ujar Anthony, berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Nayara menoleh pelan ke arah Anthony, masih tenang, namun matanya menantang, seolah berkata.

“Benarkah, Pa?”

“Tapi bukankah yang berbeda belum tentu lebih baik, Pa? Kadang hanya karena sesuatu itu terasa baru, orang jadi buta. Padahal, yang lama itu—yang selalu ada—justru lebih berharga karena sudah terbukti bertahan meski berkali-kali dikecewakan.” Jawaban Nayara mengalir pelan, namun penuh makna. Anthony mulai kehilangan arah bicara, hanya mengangguk pelan sambil menunduk menatap meja, mencoba menahan perasaan yang seolah meluap dalam dirinya.

"Aku sekarang jadi takut pada takdirku sendiri, Pa, Ma," ujar Nayara dengan suara yang hampir tak terdengar, namun begitu dalam, mengisi ruang di antara mereka. Anthony menatap Nayara lama, mencoba mencari petunjuk—apakah putrinya sedang berbicara tentang orang lain… atau tentang dirinya sendiri.

“Betapa beruntungnya kalian, pernikahan Mama dan Papa sudah sangat lama tapi masih baik-baik saja. Jika saja semua pria di dunia ini seperti Papa…” Senyuman Nayara semakin tipis, namun hatinya kembali melanjutkan ucapannya tadi, “Aku lebih baik tidak menikah, karena aku tahu aku tidak sekuat Mama.” lanjut nya.

Maria yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. Suaranya lembut namun tegas, mengandung kehangatan yang tergerus oleh waktu.

“Nay, percaya tidak… jika kesetiaan itu sebenarnya sederhana? Tinggal pilih untuk tidak berpaling dan fokus pada satu tujuan maka kita tidak akan pernah tersesat. Tapi terkadang tidak semua orang bisa fokus pada tujuan mereka, itulah yang menyebabkan mereka gagal untuk melakukan hal sesederhana itu,” ujar Maria dengan mata yang penuh kebijaksanaan, meski ada sedikit kesedihan di sana.

Anthony membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Hanya napas berat yang lolos dari bibirnya, sementara wajahnya mulai surut, bibirnya gemetar, tetapi ia belum berani menatap Maria yang masih duduk diam, menahan air matanya. Nayara menambahkan pelan, nada lembut tapi memukul keras.

“Nay percaya, Mah, kalau nanti aku punya suami… aku hanya ingin dia melihatku fokus pada tujuannya, yaitu aku, seperti pertama kali dia memilihku. Tidak perlu romanisasi, tidak perlu puisi. Cukup jadi pria yang tahu cara bersyukur dan tidak menganggap rumah sebagai tempat singgah sementara,” ujar Nayara dengan mata yang berbinar namun ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan.

Maria mengangguk dan mengusap lembut kepala sang putri, bibirnya tersenyum, namun air mata tiba-tiba mengalir dari mata indahnya. Melihatnya, hati Anthony tersentak. Ia tak bisa menahan rasa bersalah yang menggerogoti dirinya. Dia menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar.

“Putri Mama, sudah dewasa.. Mama selalu berdoa yang terbaik untukmu, sayang. Sampai kapanpun Mama tidak akan membiarkanmu bersedih,” ujar Maria dengan suara yang penuh cinta. Dia bangun dan memeluk putri semata wayangnya itu, berusaha menenangkan hati yang hampir retak oleh kenyataan.

Hening. Meja makan terasa makin sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar jelas. Anthony tak menjawab dan tidak melakukan apapun. Dia hanya melihat interaksi antara istri dan putrinya itu. Sekilas kenangan masa lalu datang menghampiri—di mana dirinya dengan tega berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri karena nafsu sesaat. Kini, ia harus menanggung akibat dari tindakannya itu. Kepercayaan yang hilang, hubungan yang retak. Maria, istrinya, sudah menutup hatinya untuknya. Ia tahu, Maria bertahan hanya untuk putri mereka, Nayara. Penyesalan datang terlambat.

Drttt... Drttt... Drttt...

Suara ponsel Nayara berdering nyaring di atas meja makan, memecah keheningan malam yang sebelumnya terasa begitu tenang. Nayara segera menarik pelukan hangat dari ibunya dan menoleh, tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Begitu melihat nama Vina tertera di layar, matanya menyipit. Tanpa berpikir panjang, jari telunjuknya menggeser ikon hijau, menyambut panggilan dengan cepat.

"Nay, aku di depan, buka gerbangnya... Tolong," ujar Vina di seberang telepon, terdengar cemas dan terburu-buru. Nayara terkejut mendengar suara Vina yang penuh desakan.

“Lah… katanya bertemu di tempat?” suaranya terkejut, hampir tak percaya.

"Kamu lama, konsernya hampir di mulai nanti! Cepat buka, kita pergi bersama saja," jawab Vina lagi dengan nada yang semakin mendesak.

"Tunggu sebentar… baiklah," jawab Nayara, cepat-cepat meletakkan ponsel dan berlari keluar villa, langkahnya ringan namun terburu-buru. Udara malam yang sejuk menyambutnya, dan saat dia melangkah ke luar, pandangannya tertuju pada gerbang yang tertutup rapat. Sebuah mobil terparkir di depan gerbang villa. Nayara melirik sekelilingnya, ke arah pos satpam yang seharusnya berjaga. Namun, kosong. Itu aneh. Biasanya ada seseorang yang menjaga. Namun, tanpa berpikir panjang, dia segera membuka gerbang tersebut. Vina tidak berniat masuk, dia hanya ingin menjemputnya.

"Ayo, tidak perlu masuk, langsung saja," kata Vina, melambaikan tangan dengan terburu-buru.

"Sebentar, aku belum pamit pada orang tua," jawab Nayara cepat, sedikit ragu, namun tahu ia harus menghormati orang tuanya. Dengan langkah cepat, dia berbalik, matanya langsung tertuju pada kedua orang tuanya yang sudah berdiri di ambang pintu, tampak menunggunya dengan tatapan yang sulit dibaca. Vina ikut turun dari mobil, menghampiri mereka untuk berpamitan.

"Mama, Papa, Nay pamit ya…" ujar Nayara sambil menghampiri keduanya dan memeluk mereka bersamaan. Pelukan hangat itu seolah menjadi pertanda kasih sayang yang tidak pernah pudar, meskipun ada keraguan yang samar di hati Nayara. Ia membalas pelukan itu, namun hatinya terasa semakin berat. Vina yang berdiri di sampingnya, mendekat dan berkata dengan suara yang sopan.

“Om, Tante, kami berangkat ya." Pamit nya.

"Iya, hati-hati di jalan," ujar Anthony, suaranya tegas namun mengandung kekhawatiran yang tak terucapkan. “Naya, telepon Papa kalau ada apapun, oke? Dan ya, jangan pulang terlalu larut. Kalau sudah terlalu malam, lebih baik menginap di hotel. Jangan mengemudi dalam keadaan lelah… kalian paham?" tambahnya, matanya menatapnya dengan perhatian penuh.

Nayara dan Vina mengangguk paham, meskipun di dalam hati Nayara, ada rasa cemas yang mulai muncul. Ia tahu, ayahnya begitu perhatian, namun ia juga merasa sedikit terjepit dengan kata-kata itu.

"Ini tasmu, sayang. Hati-hati ya kalian…" ujar Maria, tangannya lembut menyodorkan tas selempang milik Nayara. Maria tersenyum, meskipun senyum itu tampak sedikit dipaksakan, seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Nayara memegang tas itu dengan erat, namun di dalam hatinya, ada sesuatu yang berat. Setelah itu, ia menatap kedua orang tuanya satu kali lagi, memori masa kecilnya yang penuh kasih sayang seolah melintas dalam pikirannya sejenak, namun ia menepisnya. Waktu terus berjalan, dan kini ia harus pergi, meski hatinya tidak sepenuhnya tenang.

Setelah sesi berpamitan selesai, akhirnya Vina dan Nayara meninggalkan villa tersebut. Langkah kaki mereka terasa begitu ringan, namun di dalam hati Nayara, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Di luar, malam yang gelap semakin pekat, lampu jalanan berpendar samar, menciptakan bayang-bayang panjang yang mengikuti setiap langkah mereka.

Sementara itu, Anthony dan Maria yang menyaksikan kepergian putri mereka, kembali terdiam di tempat mereka berdiri, hanya ada hening yang menyesakkan. Pandangan mereka terpaut pada mobil yang semakin menjauh, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Keheningan itu terasa sangat tebal, lebih terasa seperti jurang yang terbentang antara mereka berdua. Maria, yang biasanya penuh dengan perhatian dan kelembutan, langsung berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh sedikit pun kepada suaminya. Tubuhnya kaku, langkahnya cepat, seperti ingin menyingkir dari segala percakapan yang tidak ingin ia dengar. Raut wajahnya dingin, dan matanya terpejam seolah menahan sebuah luka yang terlalu dalam untuk bisa disembuhkan.

Di luar rumah, mobil yang membawa Nayara dan Vina semakin menjauh, dan hanya suara desiran angin yang tersisa, menghiasi keheningan malam. Anthony berdiri lama, menatap kepergian mereka, namun tidak ada yang bisa dia lakukan. Dalam hatinya, ia tahu ada kekhawatiran besar yang belum terucapkan, terutama setelah apa yang Nayara katakan tadi. Keinginan untuk berbicara, untuk membahas semuanya dengan Maria, kembali muncul. Namun, saat ia melangkah masuk ke dalam rumah, ia langsung merasakan ada sesuatu yang sangat berbeda.

"Maria…" ujar Anthony pelan, mencoba untuk memulai pembicaraan.

Namun, Maria tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan ke ruang tamu, melewati Anthony dengan langkah yang cepat, seolah ada sesuatu yang ingin ia hindari. Hatinya terasa berat, namun ia berusaha keras untuk menahan segala emosi yang ingin ia keluarkan. Tanpa menunggu balasan, Anthony menyusul, akhirnya membuka percakapan dengan nada yang lebih tegas, namun masih penuh dengan rasa penyesalan.

"Maria, kita harus bicara," ujar Anthony, suaranya bergetar sedikit, menahan amarah yang mulai naik ke permukaan.

Maria berhenti sejenak, menatap Anthony dengan mata yang dingin. Raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, hanya sebuah kekosongan yang sangat menyakitkan bagi Anthony.

"Apa yang ingin kamu bicarakan, Anthony?" jawab Maria, nada suaranya datar, tapi ada ketegangan yang terasa jelas. Ia menunduk, menggenggam ujung bajunya, berusaha menahan amarah yang membakar dada. Anthony menghela napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat, namun rasa sesak di dadanya membuatnya kesulitan.

"Tentang Nayara… apa yang dia katakan tadi. Aku tahu kamu terluka, Maria. Aku tahu aku sudah melukai kamu, dan itu membuatku merasa sangat bodoh. Tapi kita harus menyelesaikan ini." Ujarnya yang membuat Maria tertawa miris, suaranya terpecah dan penuh kepedihan.

"Oh, jadi sekarang kamu ingin menyelesaikan semuanya, Anthony? Setelah semua yang terjadi? Setelah semua pengkhianatan yang sudah kamu lakukan?" Maria berbalik, wajahnya dipenuhi dengan emosi yang sulit dibendung. "Apa yang bisa kamu katakan untuk menghapus semua itu? Apakah kata-kata itu cukup untuk menebus semua yang sudah kamu lakukan padaku?" Tambah Nya yang membuat Anthony merasakan kepedihan itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Ia berdiri terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Setiap kata yang keluar dari mulut Maria seperti guntur yang menggelegar, menghantam perasaan bersalah yang sudah lama menggerogoti dirinya. Wajahnya suram, bibirnya gemetar, dan matanya yang biasanya penuh dengan kelembutan kini terlihat kosong dan penuh luka. Maria melangkah mundur, menunduk, dan mengusap matanya dengan tangan.

"Aku sudah cukup terluka, Anthony. Aku sudah cukup menderita. Semua penyesalanmu sekarang sudah tidak berguna lagi. Tidak ada kata-kata yang bisa mengembalikan waktu, mengembalikan kepercayaan yang sudah hilang." Air mata mulai mengalir di pipinya, dan tanpa kata, dia berbalik meninggalkan Anthony yang hanya bisa terdiam, merasakan rasa sakit yang luar biasa dalam diam.

Keheningan kembali menyelimuti rumah itu, hanya ada suara napas mereka yang berat. Pertengkaran yang tak terhindarkan kali ini seolah membuka luka yang sudah lama tersembunyi, dan kini, semuanya tampak tak terobati.

Sementara di tempat lain, Nayara sibuk mengobrak-abrik isi tasnya. Gerakannya terburu-buru, seolah ada sesuatu yang sangat penting yang harus dia temukan. Vina yang sedang menyetir, merasa sedikit terganggu, sehingga tak bisa menahan diri untuk melirik sekilas ke arah Nayara, sebelum kembali fokus pada jalanan yang semakin gelap.

"Kenapa, Nay?" tanya Vina, suara herannya pecah di tengah keheningan mobil. Hanya ada suara mesin mobil yang berdesir pelan.

"Ponselku tertinggal, sepertinya Mama lupa," ujar Nayara dengan suara cemas. Tangannya terus meraba-raba di dalam tas, matanya sesekali melirik ke luar jendela, tetapi wajahnya jelas mencerminkan ketegangan.

"Jangan bilang kita harus putar balik," ujar Vina, sedikit mengeluh, tetapi suara itu dipenuhi rasa frustrasi yang terselip di baliknya. Tanpa banyak bicara, dia menghentikan mobilnya dengan agak kasar di pinggir jalan.

"Ya mau bagaimana lagi," ujar Nayara, suaranya terdengar ringan meskipun sebenarnya hatinya tak tenang. Dia terkekeh pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Vina yang tampaknya kesal, namun tetap menuruti permintaan sahabatnya, memutar balik arah mobil. Kecepatan mobil meningkat, melesat lebih cepat dari sebelumnya, namun hati Nayara terasa makin berat. Tidak ada yang bisa mengusir kecemasan yang terus menghantuinya.

Mereka akhirnya tiba kembali di villa, dan pada saat itulah, hari yang seharusnya menjadi hari biasa berubah menjadi mimpi buruk yang tak akan pernah bisa dilupakan Nayara. Begitu mereka tiba di depan villa, suasana seolah menjadi lebih gelap, bayang-bayang malam terasa lebih pekat. Ada keheningan yang mencekam, meskipun suara mesin mobil Vina masih terdengar berdengung pelan.

Nayara, yang semula berniat mengambil ponselnya, justru tertegun. Sebuah bayangan samar melintas di matanya, dan untuk sesaat, dia merasa dunia sekitarnya berhenti berputar. Di dalam kepalanya, gambaran mengerikan muncul begitu saja, tak terelakkan. Dalam mimpi buruk yang tiba-tiba menghampirinya, dia melihat sang ibu, Maria, terjatuh dari lantai dua balkon kamar villa mereka. Tubuh Maria melayang begitu cepat, dan dalam sekejap, jatuh ke lantai dengan keras. Nayara merasa seolah tubuhnya membeku, matanya terbuka lebar, terfokus pada tubuh ibunya yang terjatuh begitu tragis.

Rasa panik langsung menyerbu. Tanpa berpikir panjang, Nayara berlari menuju tubuh ibunya. Kakinya terasa berat, namun jantungnya memacu langkahnya, memaksanya untuk berlari secepat mungkin. Alas kaki yang dia kenakan tidak penting lagi—apa yang ada dalam pikirannya hanya satu: menyelamatkan ibunya. Pagar villa yang semestinya sudah terbuka terbanting kasar saat Nayara mendorongnya dengan tangan yang bergetar, membuat kulitnya terluka. Tetapi itu tidak penting. Hanya ibunya yang ada di pikirannya.

Begitu memasuki pekarangan villa, Nayara melihat tubuh wanita yang sangat dia cintai—sang ibu—tergeletak tak bergerak. Darah mengalir dari kepala Maria, menodai lantai yang kering, menciptakan genangan merah yang semakin lebar. Hati Nayara seperti dihimpit oleh sebuah batu besar, tetapi dia terus berlari, tak peduli dengan rasa sakit atau apa pun yang ada di sekitarnya.

Dia jatuh berlutut di samping tubuh sang ibu, tak peduli dengan darah yang membasahi tangannya. Nayara dengan sigap memegang kepala ibunya, berusaha menenangkan dirinya meski seluruh tubuhnya gemetar. Darah segar terus mengalir, tetapi dia hanya bisa merasakan dunia seolah runtuh di sekelilingnya.

"Mama... jangan pergi, jangan... aku sayang pada Mama, tolong, Mah... bertahan... ayo, pergi ke rumah sakit... jangan tutup mata, Mama... aku tidak mau, Mah... Jangan..." jerit Nayara, suaranya pecah dan penuh dengan rasa takut yang mendalam. Air matanya terus mengalir, jatuh menetes di pipinya, namun ia tak bisa berhenti. Tangannya menggenggam erat tangan sang ibu, mencoba memberi sedikit kehangatan, meskipun dia tahu itu tidak cukup.

Namun, dalam sisa-sisa kesadaran yang masih dimiliki Maria, dia justru menggelengkan kepala. Wajahnya tampak lemah, napasnya terengah-engah, namun ia berusaha untuk tetap berbicara.

"Nay... sudah dewasa sekarang... Mama selalu bangga padamu, nak..." ujar Maria dengan suara yang sangat lemah, namun penuh dengan kehangatan. Suaranya semakin tercekat, napasnya semakin berat, namun ia berusaha untuk terus berbicara, meskipun itu menyakitkan bagi Nayara.

"Tugas Mama sudah selesai di dunia ini... Mama akan menemui kakek dan nenek terlebih dahulu..." Dengan suara yang semakin serak, Maria melanjutkan.

"Maaf... Mama terlalu banyak berbohong pada Naya... terima kasih juga sudah selalu mendukung Mama... Nay... Mama sayang padamu... sangat... sangat menyayangi..." Kata-kata itu terhenti begitu saja, dan napas Maria terhenti. Matanya yang semula terbuka perlahan menutup, dan tubuhnya menjadi kaku. Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan yang muncul dari wanita yang sangat Nayara cintai.

"Mamaaaaaaaaaaaaaa..." teriak Nayara, suara tangisannya begitu memilukan, seolah suaranya mencabik-cabik udara yang menekan dada. Dunia terasa gelap, dan dalam sekejap, semuanya terasa hancur.

Tiba-tiba, suara teriakan Nayara menghentak Razka yang tertidur di sampingnya. Ia terbangun dengan wajah pucat, napasnya terengah-engah, keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Begitu melihat Nayara yang menangis dengan napas memburu, ia langsung melirik sekeliling mereka. Ternyata, mereka masih berada di dalam mobil, dan hari sudah gelap. Entah berapa lama mereka tertidur di dalam mobil, yang jelas mimpi buruk itu masih terasa nyata, dan Nayara tak bisa menghilangkan rasa takut yang masih menghantui dirinya.

"Nay... you okay?" tanya Razka khawatir, suara lembutnya terayun pelan saat dia memeluk sahabatnya tanpa ragu. Kehangatan pelukan itu seolah menjadi satu-satunya kenyamanan yang bisa diberikan saat itu. Nayara hanya diam, tubuhnya gemetar saat menangis sesenggukan di pundak Razka, seolah semua rasa takut, kesedihan, dan kehilangan yang terpendam begitu lama meledak keluar. Razka tetap diam, membiarkan Nayara menangis hingga akhirnya, air mata yang mengalir perlahan mereda, meski napasnya masih terdengar sesenggukan.

"Kenapa?" tanya Razka pada akhirnya, suaranya penuh perhatian namun juga penuh kepedulian.

"Aku mimpi buruk," jawab Nayara pelan, suara serak, hampir tak terdengar. Razka mengangguk, mengerti dengan sangat jelas. Dia tahu betapa buruknya kenangan masa lalu yang menekan sahabatnya. Villa ini bukan hanya sekadar bangunan bagi Nayara, tetapi tempat yang menyimpan jejak-jejak kelam kenangan yang tak mudah dilupakan—tempat di mana sang ibu, wanita yang paling dia cintai di dunia ini, menghembuskan napas terakhirnya di pangkuannya sendiri. Semua itu terjadi karena ayahnya, Anthony. Satu kenyataan yang menjadi luka dalam hati Nayara, seolah tidak ada lagi tempat aman yang bisa menenangkan perasaan hancurnya.

Wajar jika hal itu menjadi trauma terbesar dalam hidupnya. Bahkan sampai saat ini, hubungan antara Nayara dan Anthony sangatlah renggang. Waktu yang berlalu cukup lama sejak kepergian ibunya, namun bayang-bayang luka itu masih begitu membekas.

"Kamu yakin tidak ingin menginap di hotel? Atau begini saja, menginaplah di Apartemen-ku. Aku bisa kembali ke rumah orang tuaku," ujar Razka dengan suara lembut, menawarkan kenyamanan meskipun dia tahu sahabatnya sangat keras kepala.

"Aku tidak apa-apa, ayo turun," jawab Nayara, suara itu terdengar sedikit lebih tegas, meski mata yang basah dan wajahnya yang memerah masih menunjukkan kelelahan batin yang dalam. Dengan gerakan cepat, dia membuka pintu mobil dan keluar, meninggalkan Razka yang masih terdiam sejenak.

"Keras kepala sekali dia," ujar Razka, pelan namun terdengar jelas, dengan tatapan khawatir yang masih membayangi wajahnya. Tanpa banyak kata, Razka ikut turun dan melangkah mengikuti Nayara yang sudah lebih dulu melangkah menuju villa, terasa seakan-akan keheningan yang mencekam mengiringi setiap langkah mereka.

"Menginap saja di sini," ujar Nayara, dengan suara yang sedikit lebih rendah, namun tetap penuh tekad.

"Oke," jawab Razka singkat, tanpa banyak tanya. Dia tahu, meskipun Nayara tampaknya ingin terlihat tegar, dia butuh sahabatnya untuk tetap berada di sisinya.

Dengan langkah yang lebih tenang, mereka berdua melangkah masuk ke dalam villa. Pintu villa yang tertutup kembali membawa keheningan yang mendalam di udara sekitar mereka, menyisakan kesepian yang hanya bisa dipahami oleh hati yang terluka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!