Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.
Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.
Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Api Dalam Dilema
Aku berdiri di puncak Lawu, tubuhku gemetar bukan karena dingin, tapi karena keputusan mengerikan yang harus kuambil. Botol berisi Air Mata Dewata di tanganku terasa semakin berat, seolah-olah cairan kehidupan ini tahu betapa Eyang Retno membutuhkannya di Padepokan Tirta Amarta.
Tapi mataku tertancap pada kepulan asap hitam di Barat. Desa Sukoharjo. Tempat Bu Parmi, Pak Karto, dan semua kenangan masa kecilku berada. Jantungku berdebar kencang, terkoyak antara dua pilihan yang sama-sama terasa seperti pengkhianatan.
"Analisis probabilitas:
Jarak ke Padepokan: 15 km.
Jarak ke Desa Sukoharjo: 20 km.
Tingkat ancaman di Sukoharjo: 87%.
Tingkat ancaman di Padepokan: 42%."
"Sudah cukup, Mar!" Aku menggigit bibirku sampai terasa rasa besi. "Ini bukan tentang angka-angka!"
Tanganku merogoh sakuku, mencari peluit tulang pemberian Mpu Śāstra. Dengan napas bergetar, aku meniupnya. Suaranya hampir tak terdengar, tapi getarannya merambat melalui bebatuan vulkanik Lawu.
Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu. Lalu, dari balik kabut, muncul sosok perempuan Suku Pangrēksā. Tubuhnya ramping, kulitnya pucat kebiruan, dan tato perak di wajahnya berkilau samar.
"Pewaris memanggil?" suaranya datar, tapi matanya yang besar memancarkan kedalaman yang membuatku merasa kecil.
"Sukoharjo... mereka diserang," kataku terengah. "Aku tidak bisa menyelamatkan mereka sendirian. Bisakah kalian--"
"Kami penjaga pengetahuan, bukan prajurit," sela perempuan itu halus. Tapi matanya berbinar. "Tapi untuk Pewaris yang berani... kami bisa memberimu kecepatan."
Dia mengulurkan sehelai selendang tipis berwarna kabut. "Ikatkan di betismu. Ini akan membantumu berlari seperti angin yang mengalir melalui celah-celah gunung. Tapi hati-hati, kecepatan ini akan menguras energimu."
Tanpa pikir panjang, aku mengikat selendang itu. Saat kain menyentuh kulitku, dunia di sekitarku tiba-tiba berubah. Pepohonan dan batu-batu berubah menjadi blur, angin menderu di telingaku.
"Peringatan: Entitas [Sang Penguasa Lorong Angin] memberikan berkah. Kecepatan meningkat 300%.
Durasi: 1 jam.
Efek samping: kelelahan ekstrem."
Aku melesat. Desa Sukoharjo yang biasanya membutuhkan tiga jam perjalanan, kini terasa begitu dekat. Dalam hatiku, aku berdoa pada semua dewa yang mungkin mendengarkan.
Di Desa Sukoharjo, kekacauan sedang terjadi. Rumah-rumah terbakar, jeritan panik memecah kesunyian pagi. Bu Parmi berdiri di depan rumahnya yang mulai dilalap api, memegang celurit tua dengan tangan bergetar.
"Parmi, lari! Mereka terlalu banyak!" teriak Pak Karto, menarik lengannya.
"Tidak! Ini rumah kita!" jawab Bu Parmi dengan gigih yang tak biasa. Matanya berkaca-kaca melihat rumah yang telah dibangunnya dengan susah payah mulai hancur.
Para penyerang adalah manusia-manusia dengan mata kosong dan kulit menghitam, korban manipulasi energi gelap yang sama yang pernah menyerang Padepokan. Di antara mereka, sesosok figur bertopeng emas berdiri di atas bukit kecil, mengamati kekacauan dengan senyum puas.
Tiba-tiba, aku muncul bagai angin puyuh. Tubuhku mendarat di tengah desa dengan dentuman, mengangkat debu dan abu. Selendang kabut di kakiku mulai memudar.
"Berhenti!" teriakku, suaraku menggema dengan wibawa yang membuat semua orang terhenti sejenak.
Figur bertopeng emas itu tertawa. "Akhirnya, Pewaris datang. Kau memilih desa kotor ini daripada wanita tua di padepokan? Menarik..."
Aku tidak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, aku mengarahkan cincinku ke sungai kecil di pinggir desa. "Mar, kendalikan air! Padamkan api!"
"Memerlukan izin untuk menggunakan energi besar.
Risiko: kelelahan sistem."
"Lakukan! Sekarang!" potongku tanpa ragu.
Air sungai naik bagai ular raksasa, menyembur ke rumah-rumah yang terbakar. Api mulai mereda, tetapi para penyerang justru semakin ganas. Mereka menyerang warga dengan kekuatan tak wajar.
Aku berlari ke arah Bu Parmi. "Ibu! Kau baik-baik saja?"
"Jaka! Anakku!" Bu Parmi memelukku erat, air mata meleleh di pipinya yang berdebu. "Kau datang..."
Dia tak sempat menyelesaikan kalimat. Figur bertopeng emas itu tiba-tiba muncul di belakangku, pedang energi hitamnya sudah terhunus.
"Permainan selesai, Pewaris," desisnya.
Tapi tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Banaspati yang seharusnya menjaga Padepokan, meledak dari dalam tanah, menyemburkan api ke arah figur itu.
"Pewaris! Aku di sini!" teriak Banaspati, apinya berkobar-kobar.
Aku terkejut. "Bagaimana kau—"
"Sekar yang menyuruhku! Dia bilang Eyang Retno lebih ingin kau menyelamatkan desa ini!" jawab Banaspati sambil menahan serangan figur bertopeng.
Aku tak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut. Dengan sisa kekuatan, aku mengarahkan cincinku ke langit.
"Mengaktifkan modus 'Banjir Bandang'. Peringatan: ini akan menguras 80% energi sistem."
"Lakukan!" teriakku.
Langit mendadak gelap. Hujan turun dengan deras, tetapi air yang jatuh bukan air biasa, ia berkilau keemasan dan memancarkan energi murni. Para penyerang menjerit kesakitan saat air menyentuh kulit mereka, energi gelap perlahan tercuci.
Figur bertopeng emas itu mendongak, tertawa terbahak. "Bagus! Sangat bagus! Kau akhirnya menggunakan kekuatan sejati sistem!"
Tapi tawa itu terputus ketika pedang Bu Parmi menancap di pahanya. Wanita tua itu berdiri dengan gagah, mata berapi-api.
"Jangan sentuh anakku!" bentaknya dengan keberanian yang membuatku terpana.
Figur itu menjerit marah, melemparkan energi gelap ke arah Bu Parmi. Aku berteriak, melompat untuk menahan serangan itu dengan tubuhku.
Dunia menjadi putih. Semua suara menghilang.
Aku terbangun di sebuah ruangan yang dipenuhi cahaya keemasan. Di depannya, sesosok wanita cantik dengan aura yang terang duduk di atas singgasana yang terbuat dari air yang berkilauan.
"Jaka," suaranya lembut bagai gemericik air terjun. "Kau telah membuat pilihan yang berani."
"Peringatan: Entitas [Sang Dewi Kehidupan] terdeteksi.
Tingkat ancaman: Nol.
Tingkat kebijaksanaan: Tak terukur."
"Apakah... apakah ibu selamat?" tanyaku dengan suara serak.
Wanita itu tersenyum. "Pengorbananmu telah menyelamatkan banyak nyawa. Tapi setiap pilihan memiliki konsekuensi."
Dia mengangkat tangan, dan sebuah vision muncul. Eyang Retno terbaring lemah di Padepokan, napasnya semakin tersengal. Sementara di Desa Sukoharjo, Bu Parmi sedang merawat warga yang terluka, dengan luka kecil di dahinya.
"Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang, Pewaris. Tapi kau telah memilih untuk menyelamatkan yang paling rentan. Itulah makna sejati dari kekuatan."
Vision itu menghilang, dan aku kembali terbangun di tepi sungai Sukoharjo. Banaspati berdiri di sampingku, apinya redup.
"Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanyaku lemah.
"Sekar yang menyuruhku," jawab Banaspati. "Dia bilang... Eyang Retno lebih ingin kau menyelamatkan desa ini. Dia mengorbankan nyawanya untuk memberiku energi cukup sampai ke sini."
Aku menatap botol Air Mata Dewata yang masih tergenggam di tanganku. Cairannya masih berkilauan, tapi sekarang terasa berat bagai gunung. Air mata mulai mengalir di pipiku ketika menyadari pengorbanan yang telah dilakukan Eyang Retno dan Sekar.
Aku telah berhasil menyelamatkan Sukoharjo, tapi Eyang Retno mungkin sudah terlambat. Botol di tanganku tiba-tiba terasa begitu hampa, seakan mengingatkanku bahwa kadang-kadang, menjadi pahlawan berarti harus kehilangan.
Dan di kejauhan, figur bertopeng emas itu menghilang dalam kabut, meninggalkan janji yang tergantung di udara:
"Kita akan bertemu lagi, Pewaris. Dan berikutnya, kau tidak akan bisa berbuat apa-apa."
Aku berdiri, tubuhku masih lemah tapi hatiku dipenuhi tekad baru. Aku memandang botol di tanganku, lalu ke arah Padepokan. Perjalanan belum berakhir. Pertarungan masih akan berlanjut.
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
bantu akun gua bro