Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2. BALAS DENDAM
Lucia Davidson berdiri terpaku. Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir Samuel seperti belati yang menancap perlahan ke dalam dadanya. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan, apalagi sangka, keluar dari mulut pria yang selama enam bulan terakhir menjadi sandaran hatinya, suaminya, belahan jiwanya.
Ruang tamu yang megah dengan chandelier berkilauan di atas kepala mereka mendadak terasa dingin, membeku, seolah semua cahaya yang pernah memberi hangat kini meredup dan menyisakan gulita. Jantung Lucia berdegup kencang, keringat dingin merayapi tengkuknya, sementara kedua tangannya gemetar meski ia berusaha keras menggenggam erat jemarinya sendiri.
"Sam?" Suara Lucia lirih, hampir tak terdengar. "Apa maksudmu dengan semua ini?"
Samuel hanya menatapnya dengan tatapan mata tajam yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tatapan itu asing, dingin, seakan pria yang berdiri di hadapannya bukanlah pria yang sama yang dulu meraih tangannya di tepi pantai dan berjanji akan melindunginya selamanya.
Dan tiba-tiba, seperti sebuah pintu kenangan yang terbuka tanpa permisi, ingatan-ingatan indah tentang Samuel menyerbu kepala Lucia.
Ia ingat betul saat pertama kali bertemu Samuel di sebuah acara amal perusahaan Barnett Corporation. Samuel berdiri tegap, mengenakan setelan jas sederhana, bukan dari merk ternama, tetapi entah bagaimana caranya, pria itu tetap terlihat menawan. Ia tersenyum padanya dengan tatapan penuh kehangatan, seolah hanya ada Lucia seorang di ruangan yang dipenuhi para pengusaha dan sosialita itu.
"Lucia Barnett?" Samuel menyebut namanya dengan lembut waktu itu, dan Lucia merasa seakan dunia berhenti berputar.
Dari situlah segalanya bermula. Makan malam pertama mereka di restoran kecil, Samuel yang mengajaknya tertawa karena menceritakan kisah lucu masa kecilnya, lalu pelukan hangat di tengah hujan deras setelah mobil mereka mogok. Semua itu, bagi Lucia, adalah potongan-potongan mozaik yang membentuk cinta.
Dan malam ketika Samuel melamarnya, di taman yang diterangi ratusan lilin, Lucia menangis terharu. Samuel berlutut, menatapnya dengan mata berbinar.
"Aku ingin menua bersamamu, Lucia. Izinkan aku menjadi rumahmu."
Bagaimana mungkin kini pria itu bisa berkata sebaliknya?
Namun di tengah derasnya kenangan manis, tiba-tiba satu ingatan mencuat, begitu tajam hingga membuat Lucia terperanjat.
Bulan lalu, saat mereka sedang bersantai di kamar setelah makan malam, Samuel tiba-tiba bergumam lirih. Waktu itu Lucia mengira suaminya hanya sedang lelah.
"Jika saja kau tahu, Lucia ... semua ini adalah balasan yang pantas diterima keluargamu."
Lucia, yang setengah mengantuk, hanya menoleh sambil tersenyum samar. "Apa maksudmu, Sam?"
Samuel waktu itu cepat-cepat menggeleng, mengusap rambutnya, dan berbisik, "Tidak ada, Honey. Aku hanya bercanda."
Lucia tidak menaruh curiga. Lucia terlalu sibuk memanjakan dirinya dalam buaian kasih sayang Samuel.
Namun kini, ucapan itu kembali menghantam kesadarannya seperti badai yang mengguncang kapal rapuh. Itu bukan sekadar lelucon. Itu adalah petunjuk. Dan betapa bodohnya ia karena mengabaikannya.
"Kenapa kau melakukan ini, Sam?" suara Lucia pecah, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa kau menghancurkan semua yang kita miliki?"
Samuel tertawa pendek, getir, penuh ejekan.
"Hah? Semua yang kita miliki? Kau bahkan tidak tahu, Lucia. Tidak ada yang pernah kita miliki. Pernikahan ini ..." ia menunjuk dirinya dan Lucia dengan jari penuh kemarahan, "... hanya sebuah permainan bagiku. Sebuah pintu yang membawaku pada apa yang seharusnya menjadi milikku, akses ke harta ayahmu, perusahaan yang selama ini menghancurkan keluargaku. Semua hanya untuk balas dendam."
Lucia mundur setapak tubuhnya gemetar, dadanya sesak. "Kau ... menikahiku hanya untuk ... balas dendam?"
"Ya," jawab Samuel tanpa ragu. "Aku tidak pernah mencintaimu, Lucia. Aku hanya mencintai kesempatan untuk membuat ayahmu membayar semua dosanya."
Tangis Lucia pecah. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, tubuhnya bergetar. Kata-kata Samuel menusuk lebih dalam daripada pisau.
"Aku tidak mengerti ..." suara Lucia terisak. "Kenapa harus aku-"
"Cukup!" Samuel membentak, membuat Lucia terdiam. Tatapan pria itu penuh api kebencian yang membara bertahun-tahun.
"Kau tahu apa yang ayahmu lakukan, Lucia? Ayahmu bukan orang suci seperti yang kau bayangkan. Dia adalah monster dengan jas mahal. Ayahmu membunuh ayahku. Bukan penyakit, bukan takdir, ayahmu sendiri yang membuat ayahku mati," ujar Samuel tajam.
Samuel melangkah maju, suaranya berubah menjadi getir, setiap kata keluar dari kedalaman luka yang sudah lama ia pendam.
"Ayahku hanyalah seorang pengusaha kecil yang menolak menjual perusahaannya pada ayahmu. Dia menolak tunduk, menolak memberi jalan pada ambisi kotor Barnett. Dan apa yang ayahmu lakukan? Dia membuat ayahku bangkrut, memanipulasi kontrak, merusak semua reputasi bisnisnya, hingga ayahku jatuh sakit karena depresi. Dan ketika akhirnya ayahku mencoba melawan, dia ditemukan tewas dalam sebuah 'kecelakaan kerja'. Semua orang tahu itu bukan kecelakaan, tapi siapa yang berani menuduh Barnett? Tidak ada! Ayahmu membayar petugas dan saksi untuk tutup mulut!"
Lucia terdiam, matanya melebar atas ketidakpercayaan dari yang ia dengar. Lucia tidak tahu apa pun.
Samuel menahan napas, tangannya terkepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih. "Setelah itu, ibuku tidak sanggup menanggung penderitaan. Dia jatuh dalam depresi, tenggelam dalam kesedihan, dan akhirnya meninggal ketika aku berusia empat belas tahun. Aku sendirian, Lucia. Sendirian di dunia yang begitu kejam."
Lucia menatap Samuel dengan mata berlinang. "Sam ..."
Namun pria itu hanya menatapnya dengan dingin. Amat sangat dingin hingga membuat Lucia sulit untuk bernapas.
"Kau tahu, saat aku berjuang mati-matian untuk bertahan hidup, bekerja apa saja demi sesuap nasi, aku melihatmu di televisi. Kau berdiri di samping ayahmu, tersenyum dalam gaun mahal, diliputi cahaya sorotan kamera. Kau tampak ... begitu cantik. Cantik hingga membuatku ingin membunuhmu," tukad Samuel.
Lucia terisak keras. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, tubuhnya lemas. Bagaimana bisa cinta yang Lucia percayai sepenuh hati ternyata berakar dari kebencian sebesar itu?
Samuel menyeringai, sebuah senyum sinis yang tak pernah Lucia lihat sebelumnya. "Dan kau ... kau begitu naif, Lucia. Begitu bodoh. Kau dengan mudah percaya pada semua ucapanku. Kata-kata manis, janji cinta, pelukan hangat, semuanya palsu. Hanya umpan agar kau percaya, agar aku bisa masuk ke dalam dunia Barnett tanpa hambatan. Gadis manja yang hidup dalam kemewahan sepertimu benar-benar membuatku muak."
Lucia jatuh terduduk di sofa, air matanya jatuh tanpa henti. "Kenapa ... kenapa aku?"
Samuel menunduk, menatapnya dengan sorot mata setajam pisau. "Karena kau adalah darah daging Barnett. Jika ingin menyalahkan seseorang, salahkan ayahmu. Darahnya mengalir di nadimu, darah yang penuh dosa, darah yang telah menghancurkan banyak kehidupan. Kau adalah simbol dari semua yang kubenci. Anak kesayangan Thomas sudah sepatutnya jatuh bersama ayahnya."
Lucia merasa dunianya runtuh. Suami yang ia cintai, yang ia percayai, yang ia jadikan rumah bagi jiwanya, kini berdiri di hadapannya sebagai musuh yang memusnahkan segalanya.
Samuel meraih jasnya, lalu berjalan ke arah pintu. Tanpa sedikit pun menoleh, ia berkata dengan suara dingin.
"Selamat tinggal, Lucia."
Pintu tertutup dengan bunyi keras, meninggalkan Lucia yang terduduk sendirian di ruang megah itu, namun kini terasa seperti penjara kosong.
Air mata mengalir deras, menodai pipinya yang pucat. Suara tawa Samuel masih bergema di telinganya, bersama setiap kata yang menghancurkan hatinya menjadi serpihan.
Dan di tengah keheningan itu, Lucia menyadari satu hal; hidupnya telah hancur.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih