NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:362
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 13

Beberapa hari terakhir, berita tentang kedekatan Bastian dan Vita semakin santer. Bukan hanya di kantor, tapi juga di media sosial. Foto mereka makan malam bersama, menghadiri acara keluarga, bahkan rumor bahwa mereka akan segera menikah semua membuat dada Jenia terasa sesak.

Namun berbeda dengan dulu, kali ini ia tidak lagi menangis. Ia sudah terlalu lelah.

Di meja kerjanya, Jenia menatap layar komputer tanpa benar-benar fokus. Ia teringat ucapan Bastian dulu bahwa dirinya tidak level. Ucapan yang sempat menghancurkan hati, tapi kini justru menjadi pengingat agar ia tidak lagi berharap.

“Kalau memang dia bahagia sama Vita, aku harus bisa ikhlas,” gumam Jenia pelan.

Malam itu, di kamar kosnya, Jenia membuka laci dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil. Buku itu penuh dengan coretan doa, keluh kesah, dan diam-diam ungkapan perasaan tentang Bastian yang ia pendam bertahun-tahun.

Ia menatap halaman terakhir yang ditulis beberapa minggu lalu:

"Aku masih suka sama dia… tapi aku lelah menunggu."

Dengan senyum getir, Jenia menutup buku itu dan memasukkannya kembali ke laci. Kali ini ia bertekad untuk tidak lagi membuka-buka isinya.

Hari-hari berikutnya, Jenia berusaha menyibukkan diri. Ia lebih sering keluar bersama Leony, menerima ajakan makan siang dengan Rehan, bahkan mulai meluangkan waktu dengan Raka yang makin perhatian.

Setiap kali nama Bastian disebut, ia hanya menanggapi singkat lalu mengalihkan topik. Hatinya masih bergetar, tapi pikirannya sudah mantap ia harus belajar melupakan.

Di dalam hatinya, Jenia berkata, “Kalau memang Bastian jodohku, dia akan kembali dengan caranya. Tapi kalau tidak… aku harus kuat untuk melepaskan.”

Raka berdiri di depan lobi kantor Jenia dengan setangkai bunga mawar putih di tangannya. Sejak pertemuan mereka kembali di desa, rasa sayangnya pada Jenia semakin kuat. Ia melihat kesungguhan, kerja keras, dan ketulusan dalam diri perempuan itu.

Ketika Jenia keluar dari pintu kaca, langkahnya terhenti.

“Raka?” tanyanya heran, sedikit terkejut melihatnya di sana.

“Boleh aku antar pulang? Aku kebetulan lewat,” ucap Raka sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan degup jantungnya.

Jenia sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah.”

Di dalam mobil, suasana terasa hangat. Raka bercerita tentang bisnisnya, tentang kesibukannya, juga tentang rencananya membangun rumah di kota. Sesekali ia melirik Jenia, yang kini terlihat lebih dewasa, lebih tenang dan baginya, lebih memesona dari siapa pun.

Sementara itu, di ruang kerjanya yang luas, Bastian duduk termenung. Di mejanya tergeletak sebuah undangan draft pernikahan dirinya dengan Vita yang baru saja diserahkan orang tuanya.

Namun pikirannya bukan pada Vita. Bayangan Jenia terus menghantui, terutama sejak insiden ciuman di pesta pernikahan tempo hari. Senyum Jenia, tatapan matanya, bahkan sikap cueknya belakangan ini justru membuat Bastian merasa kehilangan.

“Kenapa sekarang aku justru gelisah saat dia menjauh?” gumam Bastian lirih.

Telepon di mejanya berdering, Vita menelepon menanyakan kepastian soal acara pertunangan. Tapi Bastian hanya menatap layar ponselnya tanpa menjawab.

Di tempat lain, Raka berhenti di depan kos Jenia. Sebelum Jenia turun, ia memberanikan diri berkata, “Jenia… aku nggak tahu kamu masih menunggu seseorang atau tidak. Tapi yang jelas, aku ingin mencoba lagi. Memberimu kebahagiaan yang dulu mungkin belum bisa aku kasih.”

Jenia terdiam, hatinya bergetar. Ia menatap Raka, lalu menunduk pelan. “Aku… butuh waktu, Rak. Tapi terima kasih sudah selalu ada untukku.”

Raka tersenyum hangat, menerima jawaban itu tanpa memaksa.

Sementara dari kejauhan, tanpa mereka sadari, sebuah mobil hitam terparkir diam. Dari balik kaca gelap, sepasang mata mengawasi dengan tatapan sulit ditebak Bastian.

Hari-hari Jenia kembali normal setelah kepulangannya dari desa. Pekerjaan di divisi baru membuatnya lebih sibuk, dan ia bersyukur karena tak harus berhadapan langsung dengan Bastian setiap hari. Meski begitu, tiap kali nama pria itu disebut, hatinya masih terasa getir.

Raka semakin sering hadir dalam hidupnya. Ia mengajak Jenia makan siang, menemaninya pulang kerja, bahkan sekali waktu mengantar Jenia ke kantor dengan mobil mewahnya. Semua itu dilakukan dengan tulus, tanpa banyak janji manis, hanya perhatian nyata yang membuat Jenia merasa dihargai.

“Rak, kamu nggak capek? Kayaknya kerjaanmu juga padat, tapi masih sempet aja nemenin aku,” tanya Jenia suatu sore di sebuah kafe kecil.

Raka tersenyum, menatapnya lembut. “Capek pasti ada, Jen. Tapi kalau capeknya buat kamu, rasanya malah ringan.”

Pipi Jenia memanas. Ia buru-buru mengalihkan pandangan ke jendela. Dalam hati, ia sadar perlahan ia mulai nyaman bersama Raka. Tidak ada tekanan, tidak ada rasa takut ditolak. Yang ada hanya rasa hangat yang selalu menenangkannya.

Namun, di satu sisi, bayangan Bastian masih menempel erat di sudut hatinya. Ia sering teringat tatapan pria itu saat insiden di pesta pernikahan. Tatapan yang berbeda dari biasanya. Tatapan yang membuatnya bimbang.

Tapi setiap kali ingatan itu muncul, Jenia mengingat jelas kata-kata Bastian pada Vita: “Jenia tidak level denganku.” Kata-kata yang meremukkan hatinya, yang membuatnya sadar bahwa ia harus berhenti berharap.

Suatu malam, setelah makan malam bersama Raka, Jenia berdiri di depan pintu kosnya.

“Terima kasih ya, Rak. Aku… senang ada kamu,” ucapnya pelan, namun tulus.

Raka tersenyum, menatap Jenia dalam. “Aku nggak akan kemana-mana, Jen. Aku akan terus di sini, selama kamu mau.”

Jenia hanya bisa mengangguk. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya sebuah perasaan baru yang mulai tumbuh, menggantikan luka lama yang perlahan ia biarkan pergi.

Dan di balik jendela mobil hitam yang tak jauh dari sana, seseorang kembali menyaksikan semua itu. Rahang Bastian mengeras, tangannya mengepal di pangkuan.

Ia baru sadar, semakin ia mencoba meyakinkan dirinya untuk bersama Vita, semakin ia takut kehilangan Jenia.

Suasana restoran mewah malam itu begitu elegan. Lampu gantung kristal berkilau, musik piano lembut mengisi ruangan. Raka mengundang Jenia dengan alasan makan malam bersama untuk merayakan keberhasilan proyek barunya. Jenia tidak menaruh curiga sedikit pun.

Namun saat mereka tiba, ternyata bukan hanya mereka berdua. Rehan sudah duduk di meja yang sama, dan beberapa tamu lain tampak hadir, termasuk… Bastian bersama Vita.

Jenia nyaris terhenti di tempat ketika melihat Bastian. Tatapan mereka sempat bertemu, hanya sekejap, tapi cukup membuat jantung Jenia berdegup kencang.

“Silakan duduk,” ucap Raka sambil menarikkan kursi untuk Jenia, sangat gentleman.

Makan malam berlangsung cukup tegang. Rehan sesekali mencoba mencairkan suasana dengan candaan, tapi pandangan Bastian yang dingin setiap kali melihat Raka begitu perhatian pada Jenia tak bisa disembunyikan.

Hingga akhirnya, saat hidangan penutup dihidangkan, Raka tiba-tiba berdiri. Ia meraih mikrofon kecil yang disediakan untuk live music, lalu menoleh pada Jenia dengan senyum yang penuh keyakinan.

“Jenia,” suaranya menggema di seluruh ruangan. Semua tamu menoleh, termasuk Bastian yang kini menatap tajam.

“Aku sudah mengenalmu sejak lama, dan aku tahu… kamu adalah perempuan yang selama ini aku cari. Kamu tulus, pekerja keras, dan selalu bisa membuatku merasa lengkap. Jadi malam ini, di depan orang-orang terdekat kita…”

Raka berlutut, membuka kotak cincin berkilau.

“Jenia, maukah kamu menikah denganku?”

Seisi ruangan hening. Semua mata tertuju pada Jenia.

Rehan terdiam, dadanya sesak melihat perempuan yang diam-diam ia kagumi akan direbut sahabatnya sendiri. Vita tersenyum tipis, menepuk tangan Bastian pelan seolah ingin mendukung suasana bahagia itu.

Namun Bastian justru membeku. Tatapannya tak pernah lepas dari Jenia. Hatinya bergejolak, marah pada dirinya sendiri karena baru kali ini ia sadar betapa besar rasa cemburunya.

Jenia menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Ia tidak menyangka Raka akan seberani itu. Semua luka yang ia rasakan dulu tiba-tiba bercampur dengan rasa haru.

“Raka, aku…” suaranya bergetar, sementara Bastian menggenggam erat gelas di tangannya hingga nyaris pecah.

Suasana restoran masih hening. Semua mata tertuju pada Jenia yang berdiri terpaku di depan Raka. Kotak cincin berkilau itu masih terbuka, menanti jawaban.

Bibir Jenia bergetar. Ia menatap Raka, lalu sekilas melirik ke arah Bastian. Tatapan dingin pria itu seakan menusuk jantungnya, membuat lidahnya kelu.

“Raka… aku… aku sangat menghargai perasaanmu. Tapi… aku minta waktu untuk berpikir.” Bisikan lirih itu membuat seisi ruangan bergemuruh pelan. Beberapa tamu tampak terkejut, ada juga yang tersenyum penuh harap.

Wajah Raka sedikit menegang, namun ia segera tersenyum lembut. “Itu sudah lebih dari cukup bagiku, Jen. Aku akan menunggu jawabanmu, kapan pun itu.” Ia bangkit dari posisi berlutut, lalu meraih tangan Jenia dengan penuh hormat, mengecupnya singkat di depan semua orang.

Rehan menarik napas lega, meski hatinya tetap saja perih. Baginya, kesempatan masih ada.

Sementara itu, di sisi lain meja, Bastian membisu. Matanya tajam, rahangnya mengeras. Vita yang duduk di sampingnya menatap penuh tanda tanya, lalu menggenggam lengan Bastian.

“Sayang, kamu nggak apa-apa?” bisiknya.

Bastian hanya mengangguk tipis tanpa menoleh. Namun di dalam hatinya, ia berteriak gelisah, marah, sekaligus takut.

Kenapa aku nggak bisa tenang saat melihat Raka melamarmu, Jenia? Kenapa aku begitu takut kehilanganmu?

Malam itu berakhir dengan perasaan yang campur aduk. Jenia pulang dengan kepala penuh kebingungan, Raka pulang dengan harapan, Rehan dengan rasa tak rela, dan Bastian dengan luka yang ia sendiri tak mengerti.

Untuk pertama kalinya, Bastian mulai sadar… bahwa hatinya tidak benar-benar dimiliki Vita.

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!