Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Negosiasi Di sudut Gelap.
Sasha tidak gentar. Alih-alih mundur, ia justru menarik kursi reyot di seberang meja dan duduk, gerakannya tenang dan terukur, seolah diundang ke sebuah rapat dewan direksi, bukan diancam di warung kopi kumuh.
“Kalau begitu, lakukanlah,” ujar Sasha, suaranya rendah namun mantap, membelah keheningan yang ditinggalkan oleh ancaman Zega. “Bongkar saja. Bersenang-senanglah. Selama kau tahu persis apa yang sedang kau hancurkan.”
Zega mengangkat sebelah alisnya, geli. “Oh, putri mahkota punya nyali. Aku terkesan.” Ia menyesap kopinya lagi, cangkir itu nyaris tak berbunyi saat diletakkan kembali di atas piring kecilnya. “Kau pikir aku tidak tahu apa itu DigiRaya? Sebuah mesin raksasa yang menelan data pribadi dan memuntahkannya sebagai keuntungan. Kalian menjual ilusi konektivitas, padahal yang kalian jual adalah jiwa pengguna kalian, bit demi bit.”
“Itu bukan visi Bara,” balas Sasha tajam. “Dan itu bukan visiku.”
“Visi?” Zega tertawa kecil, suara seraknya terdengar seperti kerikil yang digiling. “Semua korporasi memulai dengan ‘visi’. Sebuah dongeng pengantar tidur untuk para investor dan regulator. Pada akhirnya, kalian semua sama. Rakus.”
“Aku tidak datang ke sini untuk berdebat tentang filosofi kapitalisme denganmu,” kata Sasha, mencondongkan tubuh sedikit. “Aku datang untuk menawarkan pekerjaan.”
“Aku tidak bekerja untuk orang sepertimu.”
“Aku akan membayarmu berapa pun.” Sasha mengucapkannya sebagai fakta, bukan sebagai bujukan.
Zega tersenyum lagi, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya yang dingin. “Kau masih tidak mengerti, kan? Uangmu tidak ada artinya di sini. Uangmu adalah bagian dari masalah. Itu adalah rantai yang kau gunakan untuk mengikat dunia. Aku tidak tertarik memakai rantai itu.”
“Lima miliar. Tunai. Tanpa jejak,” desak Sasha.
“Kau bisa menawariku seluruh kekayaanmu, Victoria. Jawabanku tetap sama. Sekarang pergilah. Kau merusak aroma kopi di sini dengan parfum mahalmu.”
Sasha menghela napas, menyadari pendekatan pertamanya telah gagal total. Ia beralih strategi. Bukan lagi sebagai CEO yang merekrut, tetapi sebagai seseorang yang membawa sebuah peringatan.
“Baiklah. Lupakan uangnya,” kata Sasha. “Aku tidak akan memintamu bekerja untukku. Aku memintamu bekerja untuk melindungi jutaan orang yang datanya ada di dalam sistem kami.”
“Melindungi?” Zega mendengus. “Dari siapa? Dari model bisnismu sendiri?”
“Dari Express Teknologi.”
Nama itu terucap begitu saja, tanpa penekanan, namun efeknya langsung terasa. Gerakan Zega yang hendak meraih cangkir kopinya terhenti. Matanya yang tadi penuh cemoohan kini menajam, memindai wajah Sasha, mencari kebohongan, mencari jebakan.
“Dari mana kau dengar nama itu?” tanya Zega, nadanya berubah. Kekasaran sinisnya berganti menjadi kewaspadaan yang berbahaya.
“Dari sebuah hadiah perpisahan,” jawab Sasha. Ia merogoh tas tangannya, mengabaikan debaran jantungnya sendiri, dan meletakkan flash drive hitam pemberian Gunawan di atas meja kayu yang penuh goresan. Benda itu tergeletak di antara cangkir kopi Zega dan asbak yang penuh. “Hadiah dari seorang pengkhianat.”
Zega menatap benda kecil itu seolah-olah itu adalah seekor ular berbisa. Ia tidak menyentuhnya. “Apa isinya?”
“Cetak biru perang,” kata Sasha. “Sebuah serangan siber yang nyaris melumpuhkan seluruh infrastruktur DigiRaya enam bulan lalu. Serangan yang dihentikan oleh Bara.”
Keheningan kembali menyelimuti meja mereka. Kali ini, keheningan itu terasa berat dan penuh arti. Zega tidak lagi menatap Sasha sebagai seorang pewaris manja, tetapi sebagai pembawa pesan dari dunia gelap yang sangat ia kenal.
“Kenapa kau menunjukkannya padaku?”
“Karena Bara pernah menyebut namamu,” aku Sasha pelan. “Suatu malam, setelah serangan itu terjadi, meskipun dia tidak pernah memberitahuku detailnya. Dia bilang, jika dunia digital punya hantu penjaga, namanya Zega. Seseorang yang tidak bisa dibeli, tidak bisa diintimidasi, dan membenci penyalahgunaan kekuasaan lebih dari apa pun.”
“Bara terlalu puitis untuk kebaikannya sendiri,” gumam Zega, tapi matanya tidak pernah lepas dari flash drive itu. “Dia menghentikan mereka. Jadi, masalahnya sudah selesai.”
“Kau pikir perusahaan seperti Express Teknologi akan menyerah setelah gagal sekali?” tantang Sasha. “Serangan itu adalah penjajakan. Mereka sekarang tahu kelemahan kami. Mereka tahu apa yang Bara lakukan untuk menambal lubang itu. Dan sekarang, Bara sudah tidak ada. Yang mereka punya hanya aku.”
“Dan pamanmu yang serakah, Hadi Wibowo,” tambah Zega datar. “Aku membaca berita. Pertarungan keluarga yang menyedihkan.”
“Ini bukan lagi tentang Hadi,” tegas Sasha. “Hadi hanya pion. Dia mungkin bahkan tidak tahu siapa pemain di belakangnya. Express Teknologi ingin masuk ke Indonesia. Mereka menginginkan DigiRaya bukan hanya karena keuntungannya. Mereka menginginkan datanya. Data perbankan, data kesehatan, data lokasi, pola perilaku dari dua ratus juta orang. Mereka ingin memiliki kunci digital negara ini.”
Zega akhirnya bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di depan dada. Tatapannya menusuk. “Dan kau ingin aku menjadi anjing penjagamu?”
“Aku ingin kau menjadi bentengnya,” koreksi Sasha. “Benteng bagi data orang-orang itu. Orang-orang biasa yang tidak tahu bahwa kehidupan digital mereka sedang dijadikan target dalam perang korporat internasional. Lupakan aku. Lupakan DigiRaya. Pikirkan mereka. Para pengguna yang memercayakan potongan hidup mereka pada barisan kode yang kita bangun.”
“Sentimen yang mulia,” cibir Zega, tapi gigitannya sudah tidak setajam tadi. “Apa yang membuatmu berpikir kau bisa dipercaya? Besok lusa, saat Express Teknologi menawarkan harga yang tepat, kau mungkin akan menjual data itu sendiri.”
“Sebab, Bara mati karenanya,” balas Sasha, suaranya bergetar untuk pertama kalinya. Emosi yang susah payah ia tekan kini merembes keluar. “Aku tidak punya bukti. Belum. Tapi aku tahu kematiannya bukan kecelakaan. Serangan ini, pengambilalihan oleh Hadi, kematian Bara… semuanya terhubung. Mereka tidak hanya mencoba mengambil perusahaanku. Mereka membunuh tunanganku untuk mendapatkannya. Aku tidak akan pernah menjual warisannya kepada para pembunuhnya.”
Zega terdiam lama. Ia mengamati wajah Sasha, melihat di balik blazer mahal dan riasan tipis, menemukan duka yang nyata dan kemarahan yang membara di sana. Ia melihat sesuatu yang tidak ia duga: tekad yang terbuat dari baja.
“Kau meminta banyak,” kata Zega akhirnya. “Kau memintaku masuk ke sarang ular dan memercayai salah satu dari mereka.”
“Aku tidak memintamu memercayaiku,” sahut Sasha. “Percayai datanya. Percayai musuh yang kita hadapi bersama.”
Zega menatap flash drive itu sekali lagi. Kemudian, ia mengambil laptop tuanya, membukanya dengan satu gerakan cepat. Ia tidak menyambungkannya ke internet. Ia membuka sebuah terminal dengan latar belakang hitam dan teks hijau, lalu mengeluarkan sebuah kabel dari sakunya.
“Berikan,” perintahnya, nadanya kini murni profesional.
Sasha mendorong flash drive itu ke seberang meja. Zega mengambilnya dengan ujung jari, seolah jijik, dan memasangnya ke sebuah adaptor yang terhubung ke laptopnya. Jari-jarinya menari di atas papan tik dengan kecepatan yang mengerikan. Baris-baris kode memenuhi layar.
Sasha menahan napas.
Selama hampir sepuluh menit, satu-satunya suara adalah ketukan papan tik yang cepat dan ritmis. Wajah Zega tidak menunjukkan emosi, tetapi matanya bergerak cepat, menyerap informasi dengan kecepatan super. Tiba-tiba, ia berhenti.
“Sialan,” desisnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. “Ini bukan sekadar cetak biru. Ini adalah deklarasi perang.” Ia menatap Sasha, dan untuk pertama kalinya, Sasha melihat sesuatu selain kebencian di matanya. Sesuatu yang menyerupai… respek yang enggan. “Mereka punya akses menuju kerentanan zero-day pada infrastruktur telekomunikasi inti. Ini bukan hanya tentang perusahaanmu. Mereka bisa melumpuhkan seluruh negara jika mereka mau.”
“Sekarang kau mengerti,” bisik Sasha.
Zega menutup laptopnya dengan suara keras yang membuat beberapa pelanggan terakhir di warung itu menoleh. Ia menatap lurus ke mata Sasha.
“Aku akan melakukannya,” katanya. “Tapi dengan syaratku.”
“Sebutkan.”
“Satu, aku tidak melapor padamu. Kita adalah mitra. Keputusan teknis ada di tanganku. Tanpa terkecuali.”
“Setuju.”
“Dua, aku butuh akses tanpa batas. Ke semua server, semua log, semua kode sumber. Tanpa ada yang ditahan.”
“Kau akan mendapatkannya.”
“Tiga, identitasku tetap rahasia. Bagi seluruh duniamu, aku tidak ada. Aku adalah hantu.”
“Hanya aku yang akan tahu,” janji Sasha.
“Dan yang terakhir,” kata Zega, suaranya kembali dingin. “Aku tidak butuh uangmu. Bayaranku adalah kesempatan untuk menghancurkan Express Teknologi sampai ke akarnya. Tapi jika aku menemukan satu saja bukti bahwa kau berniat menyalahgunakan data ini, atau bahwa visimu tentang ‘melindungi pengguna’ itu bohong…”
Zega berhenti sejenak. Ia mengulurkan tangannya yang kurus namun kuat ke seberang meja. Sasha menatap tangan itu, lalu ke mata Zega. Ia tahu ini adalah titik di mana tidak ada jalan untuk kembali. Dengan mantap, ia menyambut uluran tangan itu. Genggaman Zega terasa kuat dan dingin, seperti baja.
Saat tangan mereka bertaut, Zega mencondongkan tubuhnya lebih dekat, bibirnya nyaris menyentuh telinga Sasha.
“Jika kau berbohong tentang melindungi data mereka,” bisiknya, setiap kata diucapkan dengan penekanan yang mematikan, “aku sendiri yang akan meruntuhkan istanamu, keping demi keping.”