kisah cinta di dalam sebuah persahabatan yang terdiri atas empat orang yaitu Ayu , Rifa'i, Ardi dan Linda. di kisah ini Ayu mencintai Rifa'i dan Rifa'i menjalin hubungan dengan Linda sedangkan Ardi mencintai Ayu. gimana ending kisah mereka penasaran kaaan mari baca jangan lupa komen, like nya iya 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Husnul rismawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 13 . perhatian rifai
"Aku gak papa, sayang... Cuma lecet-lecet dikit kok," kata Ayu, berusaha meyakinkan Wati, meski meringis kecil saat Wati menyentuh lengannya.
Wati masih khawatir, matanya berkaca-kaca. "Syukurlah, beb... Aku panik banget pas Ardi bilang kamu jatuh dari motor," katanya sambil memeluk Ayu erat. "Lain kali hati-hati, ya?"
Ayu tersenyum dan memperkenalkan Rifa'i dan Linda kepada Wati. "Oh iya, kenalin, ini Rifa'i sama Linda, sahabat seperjuangan aku dari zaman kuliah," kata Ayu.
Rifa'i, dengan senyum ramah, mengulurkan tangan. "Rifa'i. Senang bertemu denganmu."
Linda, yang selalu tampil ceria, ikut menyalami Wati. "Linda. Senang kenal dengan mu !"
Wati membalas senyum mereka. "Aku Wati, senang bertemu dengan kalian juga. Makasih sudah jagain Ayu."
Ardi, yang merasa diabaikan, menyodorkan tangannya pada Wati sambil cengengesan. "Aku gak wati,." kata Ardi sambil mengulurkan tangan nya
Wati memutar bola mata, sambil memukul pelan tangan Ardi. "Halah , males ."
"Awas kamu, iya. Gak aku anterin pulang nanti," ancam Ardi, pura-pura kesal. Padahal, ia sudah menyiapkan jaket tebal untuk Wati di motornya.
Ayu terkekeh melihat interaksi mereka. "Kalian berdua emang gak pernah akur," katanya sambil menggelengkan kepala.
Tiba-tiba, aroma gorengan memenuhi ruangan. Ibu Ayu masuk sambil membawa nampan berisi pisang goreng hangat. Ayah Ayu menyusul dengan sebotol sirup dan es batu.
"Assalamu'alaikum... Ibu bawain cemilan," kata Ibu Ayu dengan senyum hangat.
Ayu tersenyum. "Terima kasih, Ma... Pa," katanya sambil membantu ibunya menata pisang goreng di meja. Aroma manis pisang goreng langsung membuat perutnya keroncongan.
"Ayo, Rif, Lin, Di, Wat, dimakan cemilannya," ajak Ayu.
Wati, Ardi, Rifa'i, dan Linda menyambut Ibu dan Ayah Ayu dengan sopan. "Selamat sore, Om... Tante," sapa mereka serempak.
Ibu Ayu tersenyum. "Selamat sore, anak-anak. Silakan dinikmati."
Suasana menjadi semakin hangat dan nyaman. Aroma pisang goreng bercampur dengan obrolan ringan dan tawa.
"Terima kasih, ya, kalian sudah mau jenguk Ayu," kata Ayah Ayu dengan senyum hangat, matanya berbinar menatap satu per satu tamunya.
Wati, Ardi, Rifa'i, dan Linda membalas senyum Ayah Ayu, merasa nyaman dengan kehangatan keluarga Ayu. "Sama-sama, Om... Tante," kata mereka serempak.
"Wati, kapan kamu pulang ke sini?" tanya Ibu Ayu sambil menatap Wati dengan sorot mata penuh kasih.
"Tadi Bude, begitu lihat story Ardi, aku langsung telepon dia. Nanyain Ayu kenapa, terus minta tolong jemput, soalnya Mas lagi tugas di luar kota," jelas Wati.
Ibu Ayu mengangguk mengerti. "Oh, ya... terima kasih ya, Wat, sudah jauh-jauh datang. Kalau kamu nggak sibuk dan nggak keberatan, di sini saja temani Tante," pinta Ibu Ayu dengan senyum tulus.
Wati tersenyum lembut. "Iya, Tante... Insya Allah, nanti aku lihat situasinya ya, Tan."
"Suami kamu masih belum pulang, Yang?" tanya Ayu pada Wati.
"Belum, Beb... Masih tiga bulan lagi dia tugas," jawab Wati.
"Kesepian, dong?" goda Ayu.
Wati mengerutkan bibirnya, berusaha terlihat sedih, tapi tawanya tetap pecah. "Iya, beginilah risiko punya suami abdi negara," jawabnya sambil tertawa.
Ibu Ayu tersenyum melihat interaksi akrab antara Ayu dan Wati. "Ya, memang berat jadi istri abdi negara, tapi kamu harus kuat ya, Wati," kata Ibu Ayu dengan nada hangat.
Wati mengangguk mantap. "Iya, Tante... Aku akan berusaha sekuat mungkin," kata Wati sambil tersenyum.
Obrolan terus berlanjut hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Rifa'i, Ardi, dan Linda pun berpamitan untuk pulang.
"Tante, Om, kami pamit pulang ya," kata Rifa'i sopan.
Ibu Ayu tersenyum. "Oh iya... Hati-hati di jalan ya," kata Ibu Ayu dengan nada lembut.
Ayah Ayu mengangguk. "Ya, hati-hati ya."
Rifa'i, Ardi, dan Linda bersalaman dengan Ibu dan Ayah Ayu. "Terima kasih, Tante... Om, sudah dijamu," kata mereka sopan.
Setelah bersalaman, mereka pun keluar dari kamar Ayu dan menuju ke luar rumah, meninggalkan kehangatan yang masih terasa di ruangan itu
Setelah Rifa'i, Ardi, dan Linda pulang, Wati membantu Ayu untuk berbaring lebih nyaman di tempat tidur. Ibu Ayu menawarkan untuk membuatkan teh hangat, tetapi Wati menolak dengan halus. "Biar Wati saja, Tante. Tante istirahat saja," katanya sambil tersenyum.
Setelah Ibu Ayu keluar, Wati duduk di tepi tempat tidur Ayu. "Gimana perasaanmu, Yu?" tanyanya lembut.
Ayu menghela napas panjang. "Kadang aku merasa capek, Wat. Capek banget," jawabnya lirih.
Wati menggenggam tangan Ayu erat. "Aku tahu, Yu. Tapi kamu nggak boleh nyerah. Kamu harus kuat," kata Wati dengan nada penuh semangat.
Ayu menatap Wati dengan mata berkaca-kaca. "Makasih ya, Wat, sudah mau ada di sini buat aku," ucapnya tulus.
Wati tersenyum. "Kamu kan sahabatku. Sudah seharusnya aku ada buat kamu," jawabnya sambil memeluk Ayu erat.
Malam itu, mereka berdua menghabiskan waktu untuk mengobrol dari hati ke hati. Ayu menceritakan tentang ketakutannya, harapannya, dan mimpinya yang belum terwujud. Wati mendengarkan dengan sabar dan memberikan dukungan yang terbaik.
Wati juga bercerita tentang suaminya yang sedang bertugas di luar kota. Dia mengaku sangat merindukannya, tetapi dia berusaha untuk tetap tegar dan kuat.
Mereka berdua saling menguatkan dan berbagi cerita hingga larut malam. Sebelum tidur, mereka berjanji akan selalu ada untuk satu sama lain, apapun yang terjadi.
Saat semua sudah terlelap, pintu kamar rawat Ayu terbuka perlahan. Suara itu membuatnya tersentak bangun. Di ambang pintu, berdiri sosok yang sangat ia sayangi, meski tahu tak mungkin ia miliki. Jantung Ayu berdegup kencang.
"Yu, bolehkah aku menemanimu di sini?" Rifa'i berbisik, langkahnya ragu memasuki ruangan."
"Bang, kok Abang balik lagi ke sini?" tanya Ayu, matanya membulat karena kaget sekaligus senang.
"Iya, aku boleh kan nemenin kamu di sini? Aku gak bisa tidur kalo gak mastiin kamu baik-baik aja," jawab Rifa'i lembut, tatapannya penuh perhatian.
Ayu jadi salah tingkah. "Tapi, Bang... Aku takut Linda salah paham nanti," bisiknya khawatir.
Rifa'i tersenyum, mencoba menenangkan. "Gak kok, Yu. Dulu waktu aku sakit, kan kamu yang nungguin aku sampe pagi. Sekarang gantian ya? Aku cuma pengen jagain kamu."
"I-iya terserah Abang aja," jawab Ayu, pipinya merona. Jantungnya berdegup kencang, antara senang dan gugup.
Rifa'i tersenyum lega, lalu menarik kursi dan duduk di samping ranjang Ayu. "Makasih ya, Yu," ucapnya tulus.
Hening sejenak. Ayu menatap Rifa'i, begitu juga sebaliknya. Ada banyak hal yang ingin mereka katakan, tapi bibir mereka terasa kelu. Akhirnya, Rifa'i membuka suara, "Kamu... udah baik? ...
Aaaaaa, Rifa'i, tolooong! Jangan seperti ini... Kamu milik sahabatku," jerit Ayu dalam hati. Matanya terpejam erat, berusaha mengusir bayangan Rifa'i. "Sadar, Ayu! Ayo sadar! Dia milik Linda... Kamu gak boleh egois," batinnya berulang-ulang, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Setetes air mata lolos dari sudut matanya. Ayu menggigit bibir, menahan isak tangis yang siap meledak. "Ya Allah, kuatkan aku..." bisiknya lirih.
"Kamu kenapa, Yu? Kok tiba-tiba nangis? Apa ada yang sakit?" tanya Rifa'i panik, tangannya terulur menghapus air mata di pipi Ayu.
Sentuhan itu membuat jantung Ayu berdebar semakin kencang. Ia menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Gak kok, Bang. Aku cuma... cuma terharu aja Abang perhatian sama aku," jawabnya lirih, suaranya bergetar.
Rifa'i menatap Ayu dengan tatapan lembut. "Kamu itu sahabat terbaikku, Yu. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa," ucapnya tulus.