Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Bayang Masa Lalu dan Ambisi Baru
Elena membuka pintu kulkas, dan yang menyambutnya hanyalah udara dingin serta rak yang nyaris kosong. Ia menarik napas panjang, menatap beberapa bahan yang tersisa.
“Luar biasa…” gumamnya lirih dengan nada sarkastik.
Ia melirik jam di dinding, sudah lewat tengah hari. Perutnya mulai berbunyi dan memaksa untuk segera diisi, tapi bahan yang ingin ia masak sama sekali tidak ada. Dengan malas, Elena menutup kulkas dan beralih ke rak dapur. Matanya berhenti pada tumpukan mie instan yang masih tersusun rapi.
“Ya sudahlah… ini saja dulu,” ujarnya pasrah, lalu mengambil satu bungkus.
Tidak lama kemudian, aroma gurih mie rebus memenuhi dapur. Elena menuangkannya ke mangkuk, lalu berjalan menuju sofa tamu. Ia menyalakan televisi, dan layar menampilkan sebuah acara komedi yang riuh oleh tawa penonton.
Ia duduk berselonjor, meniup sendok mie-nya perlahan sebelum menyeruputnya. Sambil mengunyah, ia menatap televisi dengan wajah datar. Yang dilihatnya memang acara komedi, tapi sama sekali tidak berhasil membuatnya tertawa. Alhasil, ia lebih memilih mendengarkan suaranya saja, dan fokus pada mienya.
Setelah menghabiskan mienya, ia mematikan televisi, lalu mencuci peralatan makannya. Karena ingin pergi ke supermarket untuk belanja bahan makanan, ia pun segera melangkah ke kamar untuk berganti pakaian. Ia mengenakan mantel wol panjang berwarna biru tua, dan dalamnya beruapa dress rajut hitam berkerah tinggi. Penampilannya tampak elegan, dilengkapi tas kulit hitam dan anting square hoops.
Elena keluar dari kamar, menuju rak sepatu di samping pintu, lalu mengenakan ankle boots cokelat tua sebelum meninggalkan apartemennya. Saat menutup pintu, matanya tanpa sengaja menangkap pintu apartemen di seberang yang juga terbuka. Dari sana muncul seorang wanita muda yang tampaknya seusianya.
Iris yang tengah menenteng tas hitam besar berisi peralatan fotografinya, tampak sama terkejutnya melihat Elena.
“Hai,” sapa Iris sambil tersenyum.
Elena menatapnya bingung, “Iya?”
“Ah, ya. Kita belum berkenalan.” Iris mengulurkan tangan, “Aku Iris.”
“Elena,” jawabnya sambil membalas jabatan tangan itu.
“Oh, jadi namamu Elena,” ucap Iris setelah tangan mereka terlepas, “Aku hanya ingin bilang, semoga kita bisa rukun sebagai tetangga.”
“Tentu,” balas Elena ramah, “Maaf, aku harus pergi dulu.”
“Tunggu.”
Elena menoleh. Iris tampak ragu, seolah menimbang sesuatu.
“Ada apa?”
Iris hanya tersenyum, “Nanti saja. Biar Om Damian yang memperkenalkan kita. Aku permisi dulu.”
Langkah Iris cepat menjauh sebelum Elena sempat bertanya lebih jauh. Bagaimana wanita itu mengenal Damian? Dan ya, bagaimana juga wanita itu tahu ia ada hubungannya dengan Damian?
Elena menghela napas, tidak ingin memikirkannya terlalu jauh. Mungkin nanti, ia akan menanyakan langsung pada Damian.
Tidak butuh waktu lama, Elena tiba di depan supermarket tujuannya. Ia turun dari taksi, lalu mengambil kacamata hitam dari dalam tas. Setelah memakainya, ia melangkah masuk dengan langkah ringan.
Begitu memasuki supermarket, Elena langsung mengambil troli dan mendorongnya ke arah rak bahan makanan. Ia menelusuri lorong satu per satu, memilih sayuran segar, potongan daging ayam dan sapi, beberapa jenis jamur, telur, serta makanan olahan siap saji.
Setelah merasa cukup, ia berbelok ke bagian perlengkapan rumah tangga. Tangannya terulur mengambil tisu toilet, pembersih lantai, dan beberapa kebutuhan kecil lainnya.
Elena kemudian beralih ke rak makanan ringan. Ia pikir, perlu juga menyimpan beberapa camilan di rumah, lengkap dengan minuman ringan dan soda.
Saat sedang membaca komposisi pada salah satu botol, tiba-tiba trolinya ditabrak dari samping hingga minuman yang ia pegang terlepas dan menggelinding di lantai.
“Ah, maaf! Aku tidak sengaja,” ucap seorang pria tergesa, menunduk sambil menunjuk troli penuhnya, “Troliku terlalu penuh, jadi aku tidak bisa melihat ke depan dengan jelas.”
Ia berjongkok cepat, mengambil minuman yang tadi terjatuh, lalu mengembalikannya pada Elena.
Namun begitu menatap wajah pria itu, Elena langsung membeku. Napasnya tercekat, matanya melebar tidak percaya. Dengan reflek, ia memalingkan wajah dan menunduk dalam, berusaha menyembunyikan wajahnya di balik rambut panjang dan kaca mata hitamnya.
“Sekali lagi, maafkan aku,” ucap pria itu ramah.
Elena hanya mengangguk cepat tanpa berani menatap. Ia meraih minumannya dan segera mendorong trolinya menjauh.
“Nona,” panggil pria itu lagi, sedikit ragu, “Apa aku mengenalmu?”
Elena berhenti sejenak. Bahunya menegang, tapi ia menggeleng tanpa menoleh, lalu mempercepat langkahnya.
Pria itu menggaruk tengkuknya bingung, “Apa aku salah lihat?” gumamnya.
“Bastian!” panggil suara seorang wanita dari kejauhan.
“Iya, Ma!” jawabnya cepat, lalu berbalik pergi.
Elena baru berhenti setelah cukup jauh. Ia menoleh sekilas, Bastian ternyata sudah tidak terlihat. Napasnya ia hela berat, sementara dadanya terasa sesak. Tangannya menggenggam erat pegangan troli.
Wajah Bastian, suaranya, dan semua kenangan yang telah berusaha ia kubur, kini muncul kembali tanpa bisa ia cegah.
Flashback on
Langkah Elena berhenti di undakan terakhir tangga menuju rooftop sekolah. Dari sana, matanya langsung tertuju pada sosok Bastian yang duduk santai di kursi tua, tenggelam dalam buku yang terbuka di tangannya.
Elena menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia merapikan kepangan rambutnya, dan menaikkan sedikit kacamata tebal berbentuk persegi yang nyaris melorot, lalu memberanikan diri melangkah mendekat.
“B-Bastian…” panggilnya gugup.
Bastian menoleh, lalu menutup bukunya sambil tersenyum, “Elena? Kau di sini?”
Elena mengangguk canggung, kemudian mengulurkan sesuatu padanya, “I-ini… sapu tanganmu. Sudah kucuci.”
Bastian menerima sapu tangan itu dengan senyum hangat, “Tidak kau kembalikan pun tidak apa-apa.”
Elena buru-buru menggeleng, dan kacamata tebalnya ikut bergeser, “T-tetap saja, aku ingin mengembalikannya. T-terima kasih, Bastian.”
Bastian berdiri, meletakkan buku dan sapu tangan di kursi. Kedua tangannya masuk ke saku celana seragam, tubuhnya kini sejajar dengan Elena.
“Jangan gugup begitu. Aku bukan penjahat.”
Elena mendongak, tersipu malu, lalu ikut tersenyum kecil.
“Oh ya, soal Sean,” lanjut Bastian, nada suaranya berubah lebih serius, “Aku sudah memarahinya habis-habisan. Jadi kau tidak perlu takut lagi.”
Elena menatapnya penuh rasa kagum, “Pantas saja dia tidak menggangguku lagi beberapa hari ini. Ternyata kau yang—”
Bastian mengangguk ringan.
Elena menunduk, matanya berkaca-kaca, “Terima kasih, Bastian. Aku tidak tahu harus membalasmu dengan cara apa.”
Bastian tertawa kecil, “Kau ini. Kita teman sekelas. Tidak perlu repot-repot membalas budi. Lagipula…” Ia mendekat sedikit, membuat Elena spontan menahan napas, “Sean itu sebenarnya takut padaku.”
“B-benarkah?” tanya Elena.
“Buktinya malam itu dia langsung pergi setelah aku muncul,” jawab Bastian santai.
Elena mengangguk, hatinya terasa hangat. Tapi saat tangan Bastian tiba-tiba menyentuh bahunya, tubuhnya langsung menegang.
“Elena,” panggilnya lembut, “Aku berbeda dari mereka. Jadi jangan takut padaku. Kalau kau kesulitan, katakan saja padaku. Aku akan ada untukmu.”
Tatapan pria itu hangat, menenangkan, dan terlalu dalam untuk ukuran anak SMA. Elena menelan ludah, lalu perlahan mengangguk.
“Baiklah.” Bastian melepaskan bahu Elena, “Aku pergi dulu, ya. Sapu tangannya kuterima.” Ia mengambil buku dan sapu tangan di atas kursi, lalu melangkah pergi meninggalkan rooftop.
Elena berbalik, dan memandangi punggung Bastian yang semakin menjauh. Perlahan, tangannya terangkat menyentuh dada kirinya yang berdebar tidak karuan. Senyum kecil pun muncul di wajahnya tanpa bisa ia tahan.
Flashback off
Elena menegakkan tubuhnya, mencoba mengusir ingatan itu dari pikirannya. Napasnya terasa sedikit berat, tapi ia berusaha menata diri. Ia tidak boleh tenggelam dalam masa lalu. Tidak sekarang, tidak setelah semuanya berubah.
“Aku sudah bukan Elena yang dulu,” batinnya kuat.
Dengan langkah yang lebih tenang, ia pun mendorong troli menuju kasir.
......................
Di tempat lain, Damian keluar dari ruangan rapatnya dengan langkah mantap. Sementara di tangannya, ponsel sudah terbuka dan menampilkan daftar kontak. Jari telunjuknya segera menekan nomor kontak Elena, berniat menanyakan kabar wanita itu. Ia kemudian menempelkan ponsel ke telinganya sambil berjalan menyusuri koridor.
Nada sambung terdengar lama. Namun tidak ada jawaban.
Kening Damian berkerut, napasnya terdengar berat di antara suara langkah para peserta rapat yang telah jauh di depan. Ia mencoba lagi, berharap kali ini Elena menjawab. Namun hasilnya tetap sama. Nomornya aktif, tapi tidak diangkat.
“Damian.”
Suara yang cukup dikenal membuatnya menoleh. Alan mendekat, berjalan santai dengan map di tangan dan senyum ringan di wajahnya.
Damian menurunkan ponsel dari telinganya, kemudian menatap pria itu.
“Ada apa, Paman?”
“Kau sedang sibuk?” tanya Alan, sambil sedikit melirik ponsel yang ada di tangan Damian.
Damian menggeleng singkat, “Tidak,” jawabnya lalu memasukkan ponsel itu ke dalam saku jas.
Alan menghela napas kecil lalu tersenyum lega, “Syukurlah kalau begitu.”
Alan semakin mendekat, lalu melirik ke arah koridor yang mulai sepi, memastikan tidak ada siapa pun yang lewat. Dari gerak geriknya membuat Damian sadar, bahwa percakapan ini bukan hal yang seharusnya didengar orang lain.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Damian tajam.
Alih-alih menjawab, Alan justru terkekeh kecil, “Tidak, hanya saja…” Ia terdiam beberapa detik, “Tuan Barley memberitahuku kalau kau datang ke acaranya bersama seorang wanita.”
Damian tidak menunjukkan reaksi apa pun, “Lalu?”
Alan menatapnya lekat, sebuah senyum samar terukir di sudut bibirnya, “Dan aku baru tahu, ternyata yang kau bawa adalah sekretarismu sendiri.”
“Bicara yang jelas, Paman,” ujar Damian tegas.
Alan kembali tertawa kecil, “Sabar, Damian. Aku hanya ingin bicara sebentar. Mm... sampai mana tadi.” Ia terlihat berpikir, “Ah, iya. Tuan Barley mengatakan kau mengenalkannya sebagai kekasihmu.”
Tatapan Damian berubah dingin.
“Lihat, di sini aku bicara bukan sebagai rekan kerja, tapi sebagai pamanmu. Adik dari ibumu. Dan juga kakek bagi Sean. Kau mengerti maksudku, kan?”
“Soal Sean?”
Alan mengangguk perlahan, “Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan wanita itu. Tapi jika suatu saat kalian menikah dan memiliki anak, maka Sean akan memiliki adik.”
Damian menatap pamannya lama, “Bukankah itu hal yang bagus?” tanyanya datar, seolah memancing reaksi Alan. Ia jelas tahu arah pembicaraan pamannya itu.
Alan tertawa kecil, “Tentu saja bagus. Kau akhirnya memiliki pendamping, dan keluargamu akan lengkap. Rumah besarmu itu tidak akan terasa kosong lagi.” Ia berhenti sejenak, lalu menatap Damian dengan ekspresi lebih serius, “Hanya saja, Damian... sebagai adik dari ibumu, aku ingin kau mempertimbangkan satu hal. Sean sudah cukup menderita sejak kecil. Ia kehilangan ibunya dan tumbuh hanya bersamamu.”
Damian mengernyit, “Maksud Paman…?”
Alan menatapnya dalam, “Maksudku, segeralah tetapkan Sean sebagai calon penerus perusahaan.”
Damian menatapnya tajam, “Apa Sean mengadu padamu?”
Alan cepat-cepat menggeleng, “Tidak, Damian. Ini murni dari pemikiranku. Sejak Sean lahir, aku tahu suatu hari dia akan mengambil tempatmu. Dia anak pertama, maka dia berhak mendapatkannya.”
Damian menghela napas panjang, menatap lurus tanpa ekspresi, “Tidak usah memikirkannya, Paman. Aku punya cara sendiri untuk menentukannya.”
Tanpa menunggu tanggapan dari sang paman, Damian memilih melangkah meninggalkan koridor itu.
Sementara Alan hanya bisa menatap punggung keponakannya dengan pandangan rumit. Tangannya kemudian merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel yang sejak tadi menyala, dan menampilkan panggilan yang masih tersambung. Ia pun menempelkan ponsel itu ke telinganya.
“Kau sudah mendengarnya sendiri kan, Sean?Ayahmu tidak akan memberikannya dengan mudah. Karena itu, kau harus berbenah. Tunjukkan bahwa kau pantas. Maka semuanya akan lebih mudah.”
Di seberang sana terdengar suara helaan napas.
“Tapi Kakek selalu mendukungku, kan?”
Alan tersenyum kecil, meski tidak ada siapa pun yang melihat, “Tentu saja. Aku selalu ada di pihakmu.”
“Bantulah aku.”
Alan menatap ujung koridor yang kosong dengan mata yang menyipit, “Aku mengerti, Sean.”
Panggilan berakhir dan layar ponsel kembali gelap. Alan pun ikut melangkah meninggalkan koridor itu.