Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keteguhan Abyan
Pak Akbar duduk di kursi kayu jati di beranda rumah besarnya. Sore itu angin bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun beringin tua yang sudah puluhan tahun tumbuh di halaman. Di pangkuannya, sebuah buku tua terbuka setengah, namun pandangannya menerawang ke kejauhan, jauh dari huruf-huruf yang tak lagi bisa mengalihkan pikirannya.
Pikirannya kembali pada Abyan. Cucu kebanggaannya. Anak tunggal salah satu putrinya.
Ia ingat betul saat cucunya masih kecil, begitu penurut, cerdas, dan selalu menduduki peringkat pertama. Ia bangga. Sungguh bangga. Setiap tamu yang datang ke rumahnya, tak luput ia ceritakan prestasi sang cucu.
Tapi kini, cucu yang sama itu menolak perintahnya. Semua demi seorang gadis cleaning service.
“Sudah gila dia…” gumam Pak Akbar pelan.
“Ayah?” suara lembut menanggapi dari balik pintu kaca. Ibu Abyan, Bu Mitha menghampiri dengan secangkir teh.
“Minum dulu, Ayah. Biar tenang.”
Pak Akbar menerima teh itu, tapi tidak langsung meminumnya.
“Kau tahu, Mitha… aku membesarkan anakmu dengan disiplin. Tidak manja. Tidak lemah. Tapi sekarang dia jadi pengekor cinta buta.” Bu Mitha duduk di sebelah ayahnya. Ia tidak langsung menjawab.
“Mitha, aku ingin yang terbaik untuk Abyan. Indira itu putri dari sahabatku, keluarga baik-baik, cerdas, cantik, mapan. Apa yang kurang?”
“Tapi, Ayah…” suara Bu Mitha bergetar.
"Apakah 'yang terbaik' menurut kita pasti terbaik untuk hati Abyan?” Pak Akbar menoleh cepat.
“Kau mulai membelanya juga?”
“Bukan membela, Ayah. Saya hanya… saya hanya ibu yang takut anaknya hidup dalam tekanan. Abyan itu selama ini selalu patuh. Selalu menurut. Dia tidak pernah menyuarakan isi hatinya.” Pak Akbar terdiam.
“Apa salahnya kali ini… dia memilih sendiri, Ayah?”
Di ruangan kerja lantai atas, Pak Akmal, ayah Abyan, sedang membaca ulang pesan dari anaknya. Kalimat terakhir menyentuh batinnya.
"Ayah, untuk pertama kalinya aku minta restu bukan karena ingin menuruti perintah… tapi karena aku ingin bahagia dengan caraku. Kumohon, biarkan aku memperjuangkannya meski jalannya berat."
Pak Akmal memejamkan mata. Dalam diam, ia tahu, anaknya bukan bocah lagi. Ia lelaki dewasa yang layak menentukan hidupnya sendiri.
Ia pun turun ke bawah, menemui istrinya yang masih duduk bersama Pak Akbar, mertuanya.
“Ayah,” ucapnya hati-hati,
“Saya juga ingin bicara soal Abyan.”
“Jangan bilang kau juga mau ikut-ikutan menyalahkanku,” desah sang mertua berat.
“Tidak, Ayah. Saya tidak menyalahkan siapa pun. Tapi saya rasa, kali ini biarkan Abyan memilih sendiri. Kita bisa tetap memberinya arahan, tapi jangan memaksanya.”
Pak Akbar bangkit berdiri, berjalan pelan ke depan pagar.
“Orang tua macam apa kalian ini…” desisnya.
“Anak durhaka, orang tua lemah. Kalian membiarkan anak kalian dicintai oleh perempuan yang bahkan tidak bisa duduk semeja dengan tamu kita!” Pekik Pak Akbar.
Di sebuah rumah yang tak kalah megah dengan rumah Kakek Akbar. Indira mengamuk di ruang tamu rumahnya.
“Mamaaa! Abyan itu pasti dipengaruhi sama perempuan itu! Nggak mungkin dia nolak aku kalau dia waras!” bentaknya sambil melemparkan bantal sofa ke lantai.
Mama Indira, Nyonya Yulia, berusaha menenangkan.
"Tenang, sayang. Jangan teriak-teriak, malu sama ART.”
“Pokoknya aku harus dinikahin sama Abyan, Ma! Dia itu cinta pertamaku dari SMP. Aku udah nunggu bertahun-tahun!”
“Sudah, Mama tahu. Nanti Mama bicara lagi ke Papa. Papa kamu pasti bisa hubungi Pak Akbar lagi. Kalian sudah dijodohkan, tinggal tunggu tanggal.”
Indira menunduk, lalu tersenyum dingin.
“Kalau perlu, aku temui langsung cewek itu. Biar tahu diri dia.”
“Jangan, Indira. Jangan main tangan. Keluarga Pak Akbar Wijaya itu keluarga terpandang, jangan buat masalah jadi besar.”
Indira tidak menjawab. Tapi sorot matanya sudah menyiratkan obsesi. Abyan adalah miliknya. Dan tak ada satu pun perempuan rendahan yang boleh merebutnya.
Keesokan harinya, Arya datang ke rumah kakeknya.
Ia adalah sepupu Abyan, sama-sama cucu Pak Akbar dari anak perempuan keduanya yang menikah dengan pengusaha tekstil di Bandung. Arya dan Abyan akrab sejak kecil.
“Kek…” Arya duduk di ruang tamu sambil menyeruput teh yang disediakan.
"Aku tahu ini bukan urusanku. Tapi aku ingin bicara soal Abyan.” Pak Akbar menatapnya datar.
"Kalau kau ke sini untuk membela dia, sebaiknya pulang.”
“Aku tidak membela siapa pun, Kek. Tapi aku melihat Abyan seperti tercekik. Selama ini dia selalu tunduk pada aturan keluarga. Bahkan dia nggak pernah pacaran dari SMA sampai kuliah. Karena takut mengecewakan Kakek.”
“Dan sekarang dia melawan demi perempuan itu?” Arya menunduk.
“Dia melawan bukan karena dia berubah, Kek. Tapi karena dia sedang belajar menjadi dirinya sendiri.” Pak Akbar diam membuat Arya kembali melanjutkan bicaranya.
"Abyan bukan anak durhaka. Dia cucu yang setia. Tapi bahkan manusia yang paling setia pun punya batas untuk menahan beban.” Pak Akbar berdiri, mendekati Arya.
“Kau pikir kau lebih tahu bagaimana membesarkan anak dibanding aku?”
“Tidak, Kek.” Arya menatapnya lembut.
“Aku hanya ingin Abyan bahagia.” Pak Akbar mendengus.
"Kalau begitu, kau yang kujodohkan dengan Indira kalau dia menolak terus.” Arya terkejut.
“Apa, Kek?”
“Biar kau yang nikahi Indira. Kalau Abyan gagal, kau pengganti paling cocok. Kau juga cucuku. Lulusan luar negeri. Tak kalah dari Abyan.” Arya berdiri cepat.
“Kek, ini bukan solusi. Kakek saja dengan memperlakukan kami memperlakukan kami seperti alat. Bukan manusia.” Wajah Pak Akbar berubah merah, sejak dulu cucu keduanya itu memang selalu melawan dan hidup semaunya, berbeda dengan Abyan.
“Keluar!” Arya menghela napas panjang.
“Baik. Tapi ingat, Kek. Orang yang terlalu mencengkeram kadang kehilangan genggamannya sendiri.”
Sementara itu di apartemen Abyan, pria itu duduk di depan laptop dengan wajah lesu. Ia belum makan siang. Telepon dari Indira masuk berkali-kali, tidak ia angkat. Begitu pun pesan dari kakeknya.
Tiba-tiba, layar ponselnya menyala—panggilan video dari Ayah. Abyan menjawab, dan wajah Pak Akmal muncul.
“Nak…” Abyan nyaris menahan tangis hanya karena sapaan itu.
"Iya, Yah?”
“Ayah tahu semua yang terjadi. Dan Ayah mau kamu tahu, Ayah dan Ibu di pihakmu.” Abyan menunduk.
“Alhamdulillah, terima kasih Ayah. Tapi ...sejujurnya aku takut, Yah. Aku takut jadi anak yang mengecewakan.”
“Kamu bukan mengecewakan, Abyan. Kamu sedang berani.” Abyan tersenyum getir.
"Terima kasih, Yah.”
“Kami akan bantu bicara lagi ke Kakekmu. Tapi kamu juga harus tetap tenang. Jangan sampai kamu jadi orang yang kasar hanya karena ingin bebas.” Abyan mengangguk.
“Aku janji.”
Di rumah keluarga besar Pak Akbar Wijaya, suasana mulai tegang. Pak Akbar terlihat lebih pendiam dari biasanya. Ia berjalan pelan ke ruang perpustakaan, tempat kenangan tentang istrinya tersimpan rapi dalam bingkai foto.
Ia menatap foto itu lama.
"Apa aku terlalu keras, Sayang?” bisiknya.
Dalam diam, ia mengingat cucunya yang selalu meraih piala dan mempersembahkannya dengan bangga ke pangkuannya. Mengingat Abyan yang kecil selalu menggenggam tangannya erat setiap kali diajak ke acara keluarga.
Apakah semua itu akan runtuh karena satu keputusan? Tapi egonya belum mau menyerah.
Dua hari kemudian, pertemuan keluarga diadakan di rumah Akbar. Pak Akmal, Bu Mitha, Arya dan kedua orang tua serta adik perempuannya juga perwakilan dari keluarga Indira hadir. Indira pun duduk anggun, dengan wajah yang dibuat seanggun mungkin.
Abyan datang paling akhir. Dengan kemeja putih sederhana, wajahnya tenang tapi tegas.
“Selamat sore semuanya,” ucapnya sopan.
Pak Akbar langsung bicara.
“Abyan, aku beri kau satu kesempatan terakhir. Pilih perjodohan ini, dan kau akan tetap jadi ahli waris utama keluarga. Atau kau menolak, dan kau keluar dari silsilah ini.”
Abyan menatap sekeliling. Ayahnya mengangguk pelan, memberinya kekuatan.
“Izinkan saya bicara sebentar,” kata Abyan.
“Untuk semua keluarga yang saya hormati…” Ia berdiri.
“Saya mencintai seseorang yang mungkin tidak sesuai harapan keluarga. Tapi cinta saya bukan sekadar perasaan. Ia datang dengan niat, dengan tanggung jawab, dengan keteguhan. Saya siap melepas semua ini, jika itu syarat untuk memilih hidup yang saya yakini.”
Semua terdiam. Bahkan Indira hanya bisa menatap nanar, tak percaya.
Pak Akbar menatap tajam. Tapi kali ini… ada getar halus di matanya. Sesuatu dalam hatinya mulai retak. Gertakannya pada Abyan ternyata tak membuat sang cucu gentar. Tanpa kata, ia bangkit dan meninggalkan ruangan.
Indira berdiri dan menghampiri Abyan.
“Kamu pikir kamu pahlawan, ya?” bisiknya tajam.
Abyan hanya menatapnya singkat.
“Aku hanya lelaki biasa yang ingin hidup tanpa topeng.”
Indira pun berbalik, meninggalkan ruangan sambil menyeka air mata marahnya.
Hari mulai gelap. Pak Akbar duduk di ruang belakang sendirian. Ia tahu, keluarganya tidak akan sama setelah ini. Tapi mungkin… inilah saatnya ia belajar, bahwa cinta tidak bisa dipaksa.
Arya masuk pelan.
“Kek…” Pak Akbar menoleh.
"Ya?” Arya duduk di sampingnya.
"Kalau Kakek nggak keberatan… besok kita sama-sama ke apartemen Abyan.” Pak Akbar menghela napas panjang.
“Biar aku pikirkan malam ini.”
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak