Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13•
Malam itu, kabut melingkupiku seperti selimut tebal yang dingin. Mobil tuaku, sebuah Ford Fiesta lansiran tahun 90-an yang setia, tersengal-sengal di jalanan pegunungan yang berkelok. Aku sudah hampir putus asa. Jam menunjukkan pukul sebelas malam, dan desa terdekat masih entah di mana. Perjalanan ke rumah nenek di kaki Gunung Merapi ini selalu lebih menantang dari yang kubayangkan, apalagi di musim hujan seperti ini.
Pandanganku samar-samar menembus tirai kelabu, mencoba mencari rambu jalan yang mungkin terlewat. Tiba-tiba, sebuah siluet muncul dari balik pepohonan di sisi kanan jalan. Bukan rambu, melainkan sebuah gerbang besi tua yang berkarat, nyaris tertutup semak belukar. Di baliknya, samar-samar terlihat sebuah bangunan. Rumah.
Hatiku sedikit lega, bercampur rasa ingin tahu. Aku tak pernah tahu ada rumah di jalur ini. Apakah ini penginapan? Atau mungkin rumah warga yang terpencil? Dengan ragu, aku membelokkan setir. Ban mobil berdecit di atas kerikil saat aku memasuki halaman yang luas dan tak terawat.
Rumah itu berdiri menjulang, siluetnya mengancam di tengah kabut. Arsitektur kolonial Belanda yang megah, namun terabaikan. Jendela-jendela besar tertutup debu dan sebagian pecah, seperti mata kosong yang menatapku. Pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi di sekelilingnya tampak seperti bayangan raksasa yang menari-nari ditiup angin malam. Ada aura aneh yang memancar dari sana, perpaduan antara kemegahan yang pudar dan kesunyian yang mencekam. Aku merasa bulu kudukku merinding, namun rasa lelah dan rasa ingin tahu mengalahkan naluri untuk pergi.
Aku memarkir mobil, mesinnya masih bergetar pelan sebelum akhirnya ku matikan. Kegelapan dan keheningan langsung menyergap. Hanya suara jangkrik dan embusan angin yang sesekali menerpa pepohonan. Aku membuka pintu mobil, udara dingin segera menusuk kulit. Langkahku terasa berat saat aku mendekati pintu utama yang terbuat dari kayu jati tua, dihiasi ukiran naga yang nyaris tak terlihat karena lumut.
Aku mengetuk. Tidak ada jawaban. Ku coba lagi, kali ini sedikit lebih keras. Masih hening. Aneh. Biasanya, rumah di daerah terpencil seperti ini akan segera merespons kedatangan tamu. Apakah kosong? Atau penghuninya sudah tidur?
Saat tanganku hendak mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit pelan, terbuka sedikit. Aku terkesiap. Sebuah celah kecil, mengundang, sekaligus menakutkan. Rasa ingin tahu yang kuat akhirnya mendorongku untuk melangkah masuk.
Bagian dalam rumah itu gelap gulita. Bau apak dan lembap menyeruak, bercampur aroma kayu lapuk. Aku merogoh saku, mengeluarkan ponselku, dan menyalakan senter. Cahayanya menari-nari di dinding-dinding yang dihiasi lukisan-lukisan tua yang nyaris tak terlihat, tertutup kain putih lusuh. Debu tebal menutupi segala permukaan, seolah tak ada yang menginjakkan kaki di sini selama bertahun-tahun.
"Permisi?" suaraku bergema hampa di ruang tamu yang luas. Tidak ada jawaban. "Apakah ada orang di sini?"
Aku melangkah lebih dalam, senterku menyapu setiap sudut. Perabotan yang tertutup kain putih berdiri seperti hantu-hantu bisu. Sebuah piano besar di pojok ruangan, berlumuran debu, seolah menyimpan melodi-melodi masa lalu yang menyedihkan. Jendela-jendela yang tertutup tirai tebal membuat ruangan terasa pengap dan mencekam.
Aku berjalan menyusuri koridor panjang, diapit deretan pintu yang tertutup rapat. Setiap langkah kakiku menimbulkan bunyi derit yang mengerikan dari lantai kayu yang lapuk. Di ujung koridor, aku melihat seberkas cahaya tipis. Kamar?
Semakin dekat, cahaya itu semakin terang. Bukan cahaya lampu, melainkan cahaya rembulan yang menembus celah jendela yang terbuka. Aku mencapai sebuah ruangan yang tampak seperti perpustakaan. Rak-rak kayu penuh buku-buku tua yang berdebu. Di tengah ruangan, sebuah meja besar dengan kursi tunggal. Dan di atas meja itu, ada sebuah buku terbuka.
Penasaran, aku mendekat. Itu adalah sebuah diary, ditulis tangan dengan aksara kuno yang sudah pudar. Aku menyalakan senterku lebih dekat, mencoba membaca baris-baris yang samar.
"21 Mei 1965," aku membaca pelan, "Kabut tebal kembali menyelimuti rumah ini. Aku merasa sendirian, terperangkap. Suamiku pergi berburu, dan anak-anakku... mereka sudah lama tiada. Hanya ada aku dan hantu-hantu kenangan di sini."
Tanganku gemetar. Hantu? Apakah rumah ini berhantu?
Aku membalik halaman. "15 Juni 1965. Aku melihat mereka. Wajah-wajah pucat di balik jendela. Mereka memanggil namaku. Mereka ingin aku bergabung dengan mereka."
"23 Juni 1965. Aku tak tahan lagi. Suara-suara itu... mereka tak henti-hentinya. Rumah ini... bukan milikku lagi. Aku harus pergi. Atau mereka akan mengambilku."
Halaman terakhir itu kosong, kecuali noda kecoklatan yang terlihat seperti tetesan darah kering. Aku segera menutup buku itu, jantungku berdegup kencang. Aku harus keluar dari sini. Sekarang juga.
Saat aku berbalik, sebuah bayangan hitam melintas di ujung koridor. Aku terkesiap, mundur selangkah. Itu bukan bayangan yang disebabkan senterku. Ini adalah bayangan bergerak.
"Siapa di sana?" suaraku bergetar.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyesakkan. Aku memaksakan diriku untuk tenang, berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi akibat kelelahan. Aku mempercepat langkahku, kembali menyusuri koridor. Setiap derit lantai kayu membuatku semakin panik. Aku bisa merasakan tatapan yang mengikutiku.
Saat aku mencapai ruang tamu, ponselku tiba-tiba berkedip, baterainya sekarat. Senterku redup, kemudian mati total. Aku terperangkap dalam kegelapan yang pekat. Ketakutan yang sesungguhnya mulai menyelimutiku.
Lalu, kudengar sebuah suara. Suara bisikan. Tepat di telingaku. "Kau tidak bisa pergi."
Aku menjerit. Aku meronta, panik mencari arah pintu. Tanganku meraba-raba dinding, mencari pegangan pintu. Kuku-kuku jariku menyentuh sesuatu yang dingin dan licin. Bukan kayu. Melainkan sebuah kain yang usang.
Aku menariknya, dan kain itu terjatuh. Bersamaan dengan itu, cahaya rembulan menembus celah di dinding. Cahaya yang cukup untuk menerangi seisi ruangan, mengungkapkan kengerian yang selama ini tersembunyi.
Itu bukan ruang tamu. Itu adalah sebuah kamar mayat.
Ya Tuhan.
Di hadapanku, berdiri deretan manekin-manekin. Bukan, bukan manekin. Itu adalah jenazah-jenazah yang diawetkan, didandani dengan pakaian-pakaian kuno. Wajah mereka pucat pasi, mata mereka cekung, menatap kosong ke depanku. Masing-masing ditutupi dengan kain putih lusuh yang tadinya kukira hanya untuk melindungi perabotan. Lukisan-lukisan yang tadi kulihat di dinding ternyata adalah potret-potret keluarga, berbingkai usang, yang dipajang di samping setiap jenazah.
Yang paling mengerikan, di tengah-tengah kumpulan jenazah itu, berdiri sebuah kursi roda tua. Dan di kursi roda itu, duduk sesosok wanita tua. Wajahnya keriput, matanya terbuka lebar, menatapku dengan sorot yang menakutkan. Dia adalah jenazah yang paling mengerikan. Dia adalah... wanita yang menulis diary itu.
Tanganku yang tadi menyentuh "kain" di dinding, kini menyadari apa itu. Kain itu bukan kain. Itu adalah kulit manusia yang sudah kering dan lapuk, digantung di dinding. Seluruh ruangan itu, dari lantai hingga langit-langit, dipenuhi dengan sisa-sisa ritual yang tak masuk akal.
Suara bisikan itu kembali, kali ini terdengar lebih jelas. "Selamat datang, cucuku."
Darahku seolah membeku. Cucu?
Cahaya rembulan semakin terang. Aku melihat pantulanku di sebuah cermin besar yang tersembunyi di balik kain putih. Wajahku pucat pasi, rambutku acak-acakan. Namun, ada sesuatu yang aneh. Di belakangku, samar-samar terlihat sebuah bayangan. Bentuknya tak jelas, namun aku tahu itu bukan bayanganku.
Bayangan itu perlahan mulai mengambil bentuk. Sebuah sosok tinggi kurus, berbalut jubah hitam. Di tangannya, sebuah kapak berlumuran darah yang sudah mengering. Sosok itu perlahan mengangkat kapaknya, siap untuk menyerang.
Tiba-tiba, sebuah suara berat menggelegar dari kegelapan di belakangku. "Jangan!"
Sosok berjubah hitam itu berhenti. Aku berbalik, terhuyung-huyung. Di ambang pintu yang tadi kukira pintu masuk, kini berdiri seorang pria. Rambutnya putih semua, jubahnya juga hitam, namun wajahnya bersih, dan matanya memancarkan kesedihan yang mendalam.
"Cukup, Ayah," katanya dengan suara parau. "Jangan biarkan kegelapan mengambilnya juga."
Ayah? Pria berjubah hitam itu adalah ayahnya? Dan wanita di kursi roda itu adalah neneknya? Aku semakin bingung.
Pria yang baru datang itu melangkah maju, sorot matanya menatapku dengan iba. "Kau adalah Alisa, kan? Cucuku."
Aku hanya bisa mengangguk, lidahku kelu.
"Maafkan kami," lanjutnya. "Ini adalah kutukan keluarga. Kabut ini... ia tidak hanya menyelimuti rumah, tetapi juga pikiran kami. Ia membuat kami melihat hal-hal yang tidak ada, dan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya."
Dia menjelaskan, dengan nada yang begitu lembut namun penuh kepedihan, bahwa rumah ini memang berhantu. Namun, hantu yang sebenarnya bukanlah arwah yang gentayangan, melainkan sebuah ilusi kolektif yang turun-temurun, diperkuat oleh isolasi dan kabut yang tak pernah sirna. Para penghuni rumah ini, dari generasi ke generasi, secara perlahan menjadi gila, melihat "hantu-hantu" dan percaya bahwa mereka harus mengorbankan "tamu" untuk menenangkan mereka.
Nenekku, yang kutemukan sudah meninggal di kursi roda, adalah korban terakhir dari ilusi ini. Dia telah mengawetkan keluarganya sendiri, percaya bahwa itu akan menjaga mereka tetap bersamanya. Ayahku, yang seharusnya sudah tiada, ternyata diselamatkan oleh seorang tabib desa yang berhasil membebaskannya dari pengaruh ilusi ini sesaat sebelum dia kehilangan akal sehatnya sepenuhnya. Dia telah hidup tersembunyi di hutan dekat situ, mengamati rumah ini, berharap suatu hari bisa menghentikan kutukan ini.
Pria berjubah hitam, yang ternyata adalah kakekku, telah sepenuhnya dikuasai ilusi. Dia percaya bahwa aku adalah "hantu" yang harus ditambahkan ke koleksinya. Dia tidak mengenaliku sebagai cucunya sendiri.
Saat itu, pagi mulai menyingsing. Kabut mulai menipis, menyingkap pemandangan yang menyedihkan. Rumah itu tampak lebih tua, lebih lapuk, lebih hancur dari yang kulihat tadi malam. Dan di sekelilingku, bukan jenazah yang diawetkan, melainkan tumpukan-tumpukan pakaian tua dan patung-patung kayu yang menyerupai manusia, ditutupi debu tebal. Wanita di kursi roda itu... adalah patung kayu. Diary yang kubaca tadi malam... hanyalah sebuah buku kosong yang sudah lapuk, isinya hanyalah ilusi pikiranku.
Aku telah jatuh ke dalam ilusi yang sama. Kabut itu, bukan hanya di luar, tapi juga di dalam pikiranku.
Pria yang mengaku sebagai ayahku memelukku erat. "Kita harus pergi, Alisa. Jauh dari kabut ini."
Aku menatap kakekku, yang masih berdiri mematung, menatapku dengan tatapan kosong. Ayahku menjelaskan bahwa kakekku sudah tidak bisa diselamatkan. Dia sudah terlalu dalam terperangkap dalam ilusi. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menguncinya di rumah itu, agar dia tidak membahayakan siapa pun lagi.
Aku berjalan keluar rumah, terpincang-pincang, ditemani ayahku. Mobil tuaku masih terparkir di halaman. Kabut pagi masih tipis, namun aku bisa melihat desa nenekku yang sesungguhnya di kejauhan.
Rumah di balik kabut itu kini tampak lebih nyata, lebih mengerikan, namun juga lebih menyedihkan. Sebuah monumen bisu bagi kegilaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Aku tahu, kenangan malam ini akan terus menghantuiku. Bukan karena hantu gentayangan, tetapi karena kengerian akan bagaimana pikiran manusia bisa memutarbalikkan kenyataan, menciptakan mimpi buruk dari udara tipis, terutama ketika isolasi dan ketidakpastian memudar menjadi kekacauan mental.
Aku takkan pernah lagi meremehkan kabut. Dan aku akan selalu bertanya-tanya, apakah sedikit dari kabut itu masih melekat dalam diriku, menunggu untuk kembali melingkupiku.