Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panas
Semakin malam semakin ramai pula tempat remang-remang yang diminati baik muda mau pun tua itu.
Ada Ebha yang berjarak lima meter dari tempat Merzi dan teman-temannya yang sedang berkerumun. Entah apa yang anak-anak sekolah itu perbincangkan dan perdebatkan. Ebha hanya mampu terus mengawasi Merzi dari tempatnya.
Lelaki itu memesan bir dengan kadar alkohol rendah. Ebha menyesapnya sesekali hingga untuk kesekian kalinya bahunya ditabrak oleh seseorang.
"Uh, maaf! Seseorang dibelakang ku menabrakku, maaf, Tuan." Seorang wanita membungkuk sedikit lalu mendongak lawan bicara yang tak sengaja ditabraknya.
"Ya, tak masalah." Balas Ebha tak ambil pusing kembali mengedarkan pandangannya pada Merzi.
Dibawah lampu kelap-kelip club, si wanita tadi belum beranjak. Dia mengucek mata bahkan berjinjit memeriksa lelaki yang disenggol tadi.
"Kau …. Kau Ebha, bukan?" Ucap wanita itu yakin tak yakin. Dia masih berusaha mengenali wajah familiar didepannya.
Merasa namanya dipanggil, Ebha menoleh dan menaikkan sebelah alisnya. "Ya?"
Wanita itu menepuk tangannya sekali dan tersenyum lebar. "Edam Bhalendra? Benar? Siswa terpintar tapi terkenal playboy dijamannya." Tambah wanita itu lagi lalu terbahak. Dia mundur beberapa langkah untuk menelisik penampilan Ebha dari bawah keatas lalu turun lagi kebawah.
Ebha menurunkan botol birnya. Perhatiannya lumayan lama teralihkan dari Merzi. Lelaki itu juga melakukan hal sama seperti wanita itu sebelumnya. Memeriksa wajah tak asing dihadapannya.
"Dan kau …."
"Kau sudah melupakanku, Ebha? Astaga?! Luar biasa sekali pria ini." Mulut wanita itu melengkung kebawah sambil bertepuk tangan bertahap-tahap.
Menyesap birnya sekali Ebha berujar, "aku ingat. Kau Angeline. Si bendahara yang selalu menagih uang kas dengan galak."
Wanita bernama Angeline itu kembali tertawa. Dia mengangguk-angguk. "Ternyata ingatanmu masih kuat. Tidak berubah sama sekali. Bahkan …." Tangan Angeline mengitari ruangan penuh kebisingan ini, "….kau masih sama playboy-nya."
Sudut bibir Ebha terangkat sebelah. Dia melirik Merzi disana yang sedang mendekatkan telinganya ke dekat mulut kawannya. Seperti mendengar bisikan. Lalu terlihat Merzi yang dikelilingi oleh teman-teman perempuannya yang beberapa diantara dari mereka melihat kearah Ebha. Bagai memeriksa lelaki itu.
Angeline yang melihat Ebha terus memandang lurus ke depan, ikut menoleh dan berusaha mencari objek mana yang dilihat teman lamanya itu.
Lalu mata wanita itu menyipit, memastikan yang Ebha lihat dengan apa yang ada dipikirannya. "Oho! Sekarang incaranmu adalah siswi-siswi disana, Ebha? Apakah kau ingin menjadikan salah satu diantara mereka sebagai sugar baby-mu?"
Perhatian Ebha kembali jatuh pada Angeline dengan kening berkerut.
"Hem, biar aku tebak gadis yang sedang kau incar itu." Angeline berjinjit dan menengok dengan seksama perkumpulan Merzi dan teman-temannya. "Aku tahu! Pasti gadis dengan rambut merah itu, bukan? Seleramu ternyata masih perempuan-perempuan montok. Haha!"
Ebha ikut mengarahkan pandangannya pada teman Merzi yang Angeline tunjuk. Yang ditunjuk wanita itu adalah Lulu yang sedang memasangkan lipstik merah diatas bibir kecil Merzi. Tapi tunggu, ada yang berubah dari nona mudanya itu.
Untuk sesaat Ebha mengabaikan Angeline dan maju beberapa langkah, memastikan penglihatannya. Dan semakin jelas apa yang dilihat samar olehnya tadi setelah lingkaran yang menutupi Merzi perlahan menjauh lalu seperti memuji Merzi dengan penampilan berbeda.
"Hey!" Angeline menepuk kuat lengan besar Ebha. "Apa yang kau lihat? Apakah gadis berambut putih itu?"
"Diamlah, Angel."
"Mau kemana kau? Aku belum selesai berbicara."
Tubuh Ebha dihadang Angeline membuat lelaki itu berdecak. "Semua yang kau katakan tidak ada yang benar."
"Kalau begitu katakan yang benar padaku."
"Ck, aku tak punya waktu untuk mengobrol denganmu. Pergilah."
"Woah, Ebha, beraninya kau mengusir aku?! Haruskah aku mendatangi gadis-gadis disana dan mengatakan bahwa mereka sedang diincar predator berbahaya?"
"Apa yang kau bicarakan? Aku bukan Ebha yang dulu. Pergilah. Aku sedang sibuk, Angle."
"Ya ya ya, sibuk mencari mangsa baru. Ngomong-ngomong aku kemari bersama …." Angeline berjinjit dan berbisik, "mantan terlamamu."
Ebha mengabaikan ocehan Angeline. Kini dia melihat Merzi bersama temannya berjalan menuju lantai dansa. Lelaki itu otomatis beranjak untuk mendekat tapi dengan jarak yang sama. Lima meter.
Melihat itu tentu Angeline mengikuti Ebha. Dia cukup penasaran akan kehidupan masa kini Ebha. Pekerjaan apa sedang digeluti siswa terpintar di sekolahnya dulu sekarang ini?
Apakah Ebha berubah menjadi Presdir seperti cerita-cerita fiksi diluaran sana? Atau mafia-mafia yang sedang mencari jati diri dibalik sosok calon istri? Entahlah.
Ebha tak peduli dia dibuntuti, lelaki itu kembali fokus pada Merzi yang sedang disodori— alkohol?
Mata Ebha membulat. Tidak! Merzi tidak boleh menyentuh minuman itu. Ebha tidak bodoh untuk tidak mengetahui kadar alkohol pada minuman yang akan Merzi coba. Lelaki itu ingin melangkah, tapi kakinya terhenti karena suara seseorang.
"Angeline! Dari mana saja kau?! Aku mencarimu dari tadi."
"Mona! Aku menunggumu dari tadi. Lihat, siapa yang kutemui di bar ini." Seru Angeline merentangkan tangannya didepan badan Ebha. "Edam Bhalendra."
Wanita yang Angeline pergi bersamanya tadi adalah Mona. Wanita cantik dengan rambut pendek dan kaos crop dipadu rok jeans diatas lutut.
Kini Ebha di hadang oleh dua wanita sekaligus. Dalam hati dia mendesah. Terlambat sudah mencegat Merzi meneguk minuman itu. Dari jauh dia bisa melihat Merzi yang mengusap lehernya dengan tampang kesakitan.
"Ebha?"
"Hm."
"Kau juga disini?"
"Ya."
Angeline melipat bibir ke dalam. "Kuingat pertemuan kalian juga di bar. Kau ingat kan, Mon? Kau pernah bercerita."
Mona tersenyum canggung sambil menyelipkan anak rambutnya ke telinga. Dia mendongak menatap Ebha yang tak melihat kearah mereka.
"Bagaimana kabarmu, Ebha? Lama tidak bertemu kau cukup banyak berubah."
"Tidak, Mona. Ebha masihlah pria playboy seperti dulu. Kau lihat perkumpulan gadis-gadis disana." Angeline mengarahkan telunjuknya kearah Merzi dan temannya.
Mona mengangguk. "Lihat."
"Nah, mantanmu ini ingin mengincar salah satu gadis cantik disana. Dia hanya berubah sedikit. Sekarang tipenya berubah pada gadis bertubuh lurus dan pendek. Hanya itu yang berubah darinya."
"Berhentilah berbicara omong kosong, Angeline. Kau tak tahu menahu tentang kehidupanku." Ucap Ebha memandang datar pada Angeline.
"Tidak perlu berbicara ketus seperti itu, Ebha. Kau tahu bahwa Angeline memang banyak berkata."
Ebha menghela napas, meneguk minumannya dan ternyata sudah habis.
"Senang bertemu kalian kembali. Aku duluan." Ebha berlalu dari Angeline dan Mona menuju meja bar. Dia ingin memesan bir kedua.
Dari tempatnya, Angeline masih melanjutkan gosip. "Ebha mengincar gadis berambut putih itu, Mon, kau lihatlah. Seleranya menurun."
Mona hanya menggelengkan kepalanya. "Biarkan saja. Bukan urusanku juga."
"Kau sudah move on darinya?"
Mona menatap Ebha yang duduk diatas kursi bar dan sedang melihat perkumpulan gadis-gadis yang ditunjuk Angeline tadi.
"Tentu sudah, Angel. Sudah bertahun-tahun terlewati. Untuk apa memikirkan orang yang sama?"
"Ah, kau benar." Angeline mendesah berat lalu merangkul pundak Mona. "Hanya aku saja yang belum move dari ketua kelas dingin kelasku itu. Ck, aku dengar dia akan menikah."
"Haha! Tak masalah jika kau belum move on, setidaknya kau masih waras untuk memanfaati pria-pria yang berani mendekati perempuan galak sepertimu."
"Kau benar."
Kembali pada Ebha yang meneguk minumannya dengan fokus penuh pada Merzi. Akhirnya lelaki itu membiarkan Merzi mencoba tegukan kedua dari minuman berwarna ungu pekat itu dan lagi-lagi Merzi mengeluh dengan wajah meringis dan itu membuat Ebha terkekeh kecil.
Ketika temannya menyodorkan gelas kembali, gadis itu menolak dan berjalan menjauhi teman-temannya untuk bergoyang mengikuti dentuman musik.
"Tipeku memang sudah berubah."
Gumaman itu hanya didengar olehnya. Ebha memperhatikan betapa indahnya Merzi bergerak asal dengan badan dan kepala yang bergoyang. Baju mini tipis berwarna merah menyala itu membuat penampilannya begitu mencolok ditambah rambut putihnya yang bersinar dibawah temaram lampu.
Ebha meneguk minuman terakhirnya. Dia tak tahan melihat tubuh Merzi yang meliuk diantara tubuh laki-laki dan perempuan. Dia ingin bergabung walaupun tak ikut bergoyang. Setidaknya menjauhkan Merzi dari sentuhan nakal laki-laki cabul.
Tepat ketika Ebha pergi selangkah, seorang pemuda … mungkin adalah teman Merzi karena dia ingat wajah siapa-siapa saja teman gadis itu walau tak tahu namanya. Mulanya pemuda itu menyenggol lengan Merzi agar melihat kearahnya dan aksi itu berhasil.
Club itu semakin sesak oleh manusia. Langkah Ebha tak lebar seperti biasanya. Tapi semakin dia mendekati perkumpulan anak-anak muda yang sedang berpesta itu, semakin dia mendengar dengan jelas sorakan dari mereka.
"Lihatlah si Wilson. Dia mulai bergerak."
"Aku dengar Wilson sudah lama menyukai Merzi."
"Dan kurasa ini adalah waktu miliknya."
"Merzi hanya berbohong mengatakan jika dia tidak suka disentuh padahal dia memeluk dan meraba badan Wilson."
"OH MY GOD! Wilson mendekatkan wajahnya!!"
"MEREKA AKAN BERCIUMAN!"
BRAK!
"Ck, sialan! Berhati-hatilah berjalan. Kau menumpahkan minuman di bajuku." Umpat laki-laki tua yang menabrak lengan Ebha.
"Tua bangka bodoh!" Balas Ebha kasar. Dia kembali melangkah dan kembali melihat Merzi.
Dan sesuatu didepan sana membuatnya bergemuruh. Rahangnya terkatup dengan kepalan yang siap dilayangkan untuk laki-laki yang berani mencium Merzi dihadapannya.
Lautan manusia itu Ebha terabas, tak peduli bahu dan bajunya ditumpahi minuman keras. Wajahnya merah padam melihat betapa sang laki-laki begitu menikmati mencium bibir sang perempuan.
Disaat itu Ebha menyesal tak mengiyakan permintaan Merzi yang ingin mencium bibirnya dimobil tadi padahal tuan Oldrich Jay sendiri yang memintanya menjadi kekasih putrinya semalam.
BUGH!