"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke-gep.
Merasa diterima dengan baik oleh semua orang, Giselle terlihat mulai membaur dengan senior-seniornya yang ada di divisi AR. Tidak hanya dengan Sora dan Kayla, melainkan dengan Axel, Jo dan Tama juga. Setidaknya itulah yang terjadi selama dua minggu dia ada di sana. Sedangkan untuk Julian sendiri, belum bisa dibilang kompak, karena laki-laki itu terlalu pendiam seperti biasa.
Jika kaum pria merasa kehadiran Giselle menambah warna di dalam ruangan ini, berbeda dengan Sora yang semakin hari semakin was-was dengan tingkah anak baru yang dirasa sedikit berlebihan. Sora seperti melihat dirinya sendiri dalam diri Giselle, setiap kali anak kecil itu berkomunikasi dengan Tama. Semuanya persis. Cara mereka bercanda, cara bicaranya yang manja, cara mereka tertawa saat sedang diskusi berdua, hampir tidak ada bedanya dengan Tama dan Sora biasanya.
Sora merasa sedikit terganggu? Jelas. Namun tidak ada yang bisa disalahkan, karena semuanya terlihat sangat wajar di mata orang lain. Keakraban itu terjalin karena dan untuk kepentingan pekerjaan. Dia sama sekali tidak bisa melakukan apapun. Dan selama sikap Tama kepadanya tidak berubah, Sora merasa memang dialah yang harus belajar bersabar. Dia harus menerima fakta bahwa sekarang, tim AR punya anggota perempuan yang baru. Tidak lagi hanya dia dan Kayla.
“Mba, lunch di mana?” Si anak aktif itu bertanya saat menjelang jam makan siang. Alangkah lucunya ketika sekarang Sora punya saingan. Sebelumnya, hanya suaranya lah yang bergema di dalam ruangan. Karena Kayla cenderung irit bicara. Sekarang ada Giselle yang seakan tak mau kalah.
“Eh, saya sama Kayla udah order on line tadi, Sel.” Sora menunjukkan wajah menyesalnya. Dia dan Kayla memang sudah memesan makanan sendiri. Tadi keduanya saling japri untuk memilih beli di restoran mana dan menunya apa.
“Oh… gituu.” Wajah Giselle berubah sedikit murung. Berusaha menyembunyikan raut wajah kecewa karena lagi-lagi Sora membuat jarak di antara mereka. Padahal sudah dua minggu berlalu.
“Hm-m. Sori yahhh.” Sora tersenyum sungkan. Ada benteng tinggi bernama gengsi jika dia dan Giselle harus makan bersama. Tidak. Dia tidak akan membiarkan gadis itu memerkan kedekatannya dengan Axel, Jo dan juga Tama.
Sora juga ogah mendengar dia memanggil semua laki-laki itu dengan panggilan ‘mas’-nya yang manja. Bukankah kita sendiri yang harus membentengi diri kita dari rasa sakit hati?
“Ya udah, lo sama kita aja. Ayo.” Tau-tau Axel menarik pundak Giselle dan membuat gadis itu terjepit di bawah ketiaknya. Jo muncul di belakang dan ikut menyusul dua orang yang baru saja keluar.
Lantas bagaimana dengan Tama?
Sora tidak berani melirik ke depan. Terlalu sulit untuk mengatakan ini. Harapan Sora, laki-laki itu akan memilih untuk bersamanya saja. Namun tentu saja dia tidak bisa mengubah kebiasaan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun. Tama memang seringnya lunch bersama Jo dan Axel.
Sedangkan Julian, laki-laki itu punya kegiatannya sendiri. Sesekali nimbrung, tapi lebih sering makan sendiri. Jadi, sudah jelas keberadaan Giselle tidak serta merta mengubah segalanya. Tama tetap saja keluar bersama ketiga orang itu.
Sora tidak ingin menerka-nerka apa yang terjadi selama makan siang. Apakah mereka memperlakukan si ‘adik bungsu’ layaknya tuan putri? Apakah ada yang berebutan meletakkan makanan di depan Giselle, atau mengambilkan minuman untuk dia?
Apa yang mereka bicarakan? Apakah Tama antusias bertanya banyak hal tentang anak itu? Sedikitpun Sora tidak berani memikirkan ini terlalu jauh. Takut semakin makan hati yang bisa membuat mood-nya jelek.
Perempuan itu masih berpura-pura fokus pada layar komputernya. Meski tidak sedang melihat Tama yang ada di meja depan, dia tau kalau laki-laki itu sudah beranjak dari kursinya. Jantung Sora langsung berdebar tidak karuan. Apakah dia akan selalu begini setiap jam makan siang? Sejak kapan jam istirahat yang begitu dinanti-nanti, berubah menjadi horor seperti ini?
“Sora, kalian beli makan apa?” Laki-laki itu menghampiri kubikelnya.
“Tadi… pesan ayam geprek, Tam.” Perempuan itu tersenyum hingga hidungnya sedikit terangkat.
“Kok nggak ngajak-ngajak? Tau gitu gue nitip.”
Oke, hati Sora seperti disiram air dingin yang menyejukkan. Bukankah itu berarti Tama punya keinginan duduk bersamanya di sini ketimbang di kantin bawah?
“Yah, biasanya ‘kan lo makan di bawah sama anak-anak.” Tapi harus kembali perih saat dia mengucapkan itu. Salahkah jika Sora berharap lebih agar Tama yang bergerak lebih dulu semisal pria itu memang mengingat dirinya? Jelas salah. Karena dia bukanlah orang penting dalam kehidupan Tama. Mereka hanya sebatas partner ranjang dengan status yang tidak jelas.
Benar ‘kan?
Menyedihkan.
“Lain kali bilang-bilang dong. Gue juga bosan makan di kantin.”
“Siap, Bos!” Sora membuat gesture menghormat serta memamerkan senyumnya yang jenaka. Deretan giginya yang rapi dan putih menular ke Tama yang otomatis melakukan hal serupa. Tanpa sadar laki-laki itu mencubit pipi Sora sambil pamit menyusul Axel dan yang lainnya.
Setelah pria itu menghilang di balik pintu, mata Sora kembali tertuju ke layar komputer. Diam-diam dia membuang napas, memberi ruang untuk dadanya yang mulai sesak. Tidak lama kedua matanya mulai berkaca-kaca.
“Keluarin aja, Ra. Nggak ada orang ini kok.” Kayla membawa sebungkus tisu dan meletakkan benda itu di dekat Sora, temannya. Yang bersangkutan langsung menarik satu dan menekan ujung tisu di kedua sudut mata.
“Thank you, Kay,” ucapnya sambil menarik ingus.
Kayla mengangguk, membuang napas nelangsa. Dia sungguh iba melihat Sora yang tersiksa dengan situasi ini. Memang sih kalau dipikir-pikir, semisal Sora mau bergabung dengan yang lain, dan mau menekan gengsinya, bisa jadi ketakutan yang sekarang ada di dalam pikirannya itu tidak pernah terjadi. Bisa saja Giselle tidak seburuk yang dia pikirkan.
Tapi, Kayla bukanlah Sora yang punya affair dengan Tama. Jadi dia sama sekali tidak berhak menghakimi temannya itu. Sora sudah pasti merasa tersingkir karena Tama juga terlihat dekat dengan Giselle. Ah, rumit sekali.
“Makanannya udah nyampek belum, Kay?”
Kayla mengangkat ponsel yang ada dalam genggaman dan mengecek posisi driver ojek online.
“Udah di loby. Eh, gue turun dulu ya?”
“Gue aja, Kay. Kemarin ‘kan udah lo. Sekalian cari angin segar.” Sora berdiri. Dia ingin berjalan kaki untuk melupakan kesedihannya. Kay pun tidak menahan dia lebih lama.
Perempuan itu keluar dan membuka pintu tangga darurat. Dia tidak ingin naik lift karena memang ingin berjalan kaki. Lagian hanya perlu turun satu lantai. Dia kembali menutup pintu dengan pelan dan berjalan menuruni anak tangga.
Saking banyaknya pikiran, Sora berjalan dengan sangat lesu. Dan tak sedikitpun langkahnya menimbulkan suara. Menuruni lima anak tangga saja dia lakukan dengan begitu lama. Niatnya ingin mengusir pikiran-pikiran jelek, malahan semakin menjadi karena melewati tempat yang sepi.
“Duh, sakit, Mas.”
Sora tersentak.
Suara itu… suara Giselle ‘kan?
“Tunggu dulu. Jangan bergerak. Diam!”
Dan itu... suara Tama??
Jantung Sora seakan ingin meledak. Suara itu sangat dekat dari posisinya berada sekarang. Apakah mereka sedang sama-sama berada dalam tangga darurat? Kok bisa? Bukannya tadi Tama berangkat terakhir?
Tubuh Sora bergetar. Kakinya terasa berat untuk melanjutkan langkah. Tapi dia sungguh penasaran apa yang terjadi sampai Tama menyuruh Giselle untuk diam.
Maka dengan sisa keberanian yang dia punya, juga dengan kesiapan untuk kembali sakit hati, gadis itu melangkahkan kakinya menuruni anak tangga pertama setelah membelok. Lalu anak tangga kedua, ketiga, keempat sambil menahan diri untuk tidak menoleh. Hingga tiba di anak tangga kelima, dia harus kembali membelok untuk menggapai pintu. Dan di sanalah dia melihat sesuatu yang benar-benar membuat hatinya semakin terluka.
Tama dan Giselle dalam posisi yang nyaris berciuman. Lebih tepatnya, Giselle berada dalam pangkuan Tama dan wajah mereka terlihat begitu dekat.
Ah, jantung Sora seperti terlepas dari gantungannya.
Rupanya, kedatangan gadis itu membuat Tama dan Giselle tersadar. Keduanya langsung salah tingkah. Giselle refleks turun dari pangkuan Tama dan laki-laki itu menaruh salah satu tangannya ke dalam saku. Salah tingkah.
Sora sempat mematung. Sepersekian detik. Namun beruntung dia mampu mengembalikan seluruh nyawanya ke dalam raga. Dan entah dari mana datangnya kekuatan itu, dia berjalan sambil menepuk pundak Tama. Catat, dengan sangat santai.
“Kalian bukannya mau makan siang, ck?” tanyanya seolah sedang tidak sekarat. Menghampiri pintu sambil geleng-geleng kepala. Sesungguhnya, seluruh darah di dalam tubuh Sora sudah berpindah ke ubun-ubun hanya untuk mengucapkan kalimat itu. Tanpa menyapa Giselle, dia keluar dari area tangga darurat.
OH TUHAN!!
Dada Sora teramat sesak. Sejak tadi dia menahan napas karena takut Tama akan mendengar debaran jantungnya. Kedua matanya dengan cepat menggenang. Please, Ra!! Ini loby kantor! Tahan sebentar lagi aja!
“Atas nama Mba Kayla?” Satu-satunya driver ojol yang sedang duduk di kursi tunggu, bergerak lebih dulu setelah melihat ada perempuan yang berjalan ke arahnya.
“Iya, Pak, benar.” Sora mengiyakan, karena tadi yang memesan memang Kayla. “Sudah bayar di aplikasi ya, Pak.”
“Sudah, Mba.”
Sora memberikan selembar uang sepuluh ribu untuk tip. Setelah driver mengucapkan terima kasih, dia berbalik lagi dan berjalan menuju lift. Sye tidak akan naik tangga lagi. Sudah pasti.
Perempuan itu berusaha mengontrol mimik wajah. Walau saat ini hatinya sedang porak-poranda, tidak perlu orang lain tau. Lebih tepatnya jangan sampai orang lain tau. Termasuk Tama dan Giselle sendiri. Gadis itu berkali-kali menarik napas pelan yang tidak terlalu ketara. Kenapa giliran sangat dibutuhkan, pintu lift ini sangat lama terbuka?
TING!
Huft akhirnya!
Sora melangkah ke dalam lift setelah semua orang keluar. Pantas saja turunnya lama. Mungkin harus berhenti di setiap lantai. Dia menekan tombol agar pintu kembali menutup.
“Tunggu!” Seseorang muncul saat kedua benda itu nyaris menyatu. Tanpa perlu bertanya, itu adalah Tama. Dan Sora tidak ingin bersusah payah menahan pintu untuknya. Lift tertutup begitu saja dan langsung bergerak membawanya naik ke lantai dua.
Biarlah Tama berpikir apa. Sora tidak ingin ambil pusing. Dia juga harus menata perasaannya sendiri.
***
“Kok lama, Ra?” Kayla menarik kursi miliknya ke kubikel Sora saat sang teman karib sudah muncul di ambang pintu.
“Iyaa, ilft-nya loh lama banget. Sori ya, Kay.” Yang ditanya tersenyum sumringah. Dia pun tidak akan membiarkan Kayla tau.
“Santai, sayang. Masih lama ini jam istirahatnya.”
Kedua perempuan itu membuka box nasi masing-masing sesaat setelah Sora duduk. Saat itu pula Tama muncul. Kayla menoleh lebih dulu.
“Loh, Tam? Lo nggak jadi makan bareng anak-anak?”
Sora menoleh sekilas. “Nggak jadi makan lo?” tanyanya seperti biasa. Seperti tidak terusik sama sekali. Gerakannya menuang sambal ke atas ayam geprek terkesan sangat santai. Layaknya tidak terjadi sesuatu di tangga darurat tadi.
Tama ingin membuat kontak mata, namun perempuan itu sengaja menghindar. Sudah pasti.
“Gue lupa ada kerjaan yang belum dikirim ke bos.” Pria itu berjalan ke mejanya. Padahal semua kerjaan sudah dia bereskan sebelum turun tadi.
Sora tidak berniat untuk menanggapi. Selanjutnya, yang terdengar di dalam ruangan adalah suara pelan dirinya dan Kayla yang makan sambil mengobrol.
Rasanya begitu aneh, janggal, ketika Sora harus menahan diri untuk tidak melirik ke arah meja Tama. Untuk tidak mengajak laki-laki itu berkomunikasi. Tapi hatinya sedang sakit. Harapannya Kayla akan mengerti kalaupun dia menyadari kejanggalan itu.
***
"Sora."
Sebuah pesan masuk ke akun pandion Sora. Ck. Kenapa tangannya selalu gercep kalau logo software itu berkelap-kelip menjadi kuning?
"Yesss, Tam?"
Sora tidak mengubah ciri khasnya kalau sedang berkomunikasi lewat chat.
"Gue mau ngomong sama lo. Nanti."
Biasanya perempuan itu akan melirik ke depan. Tapi kali ini tidak. Dia hanya mengetik 'okee' dan menekan enter. Tanpa melakukan kontak mata dengan laki-laki itu.
"Di mana? Apart gue? Apart lo?" lanjut Tama.
"Bebas. E tapi nanti gue sama Kayla mau ke Kokas bentar. Gapapa malam?"
"Oh gitu. Oke deh. Gapapa."
"Sippp."
Sebenarnya Sora sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan Tama. Cara pria itu menatap Giselle tadi sudah menjawab semuanya. Entah apa yang terjadi sehingga mereka berdua bisa terpisah dengan Axel dan Jo, dan berakhir di tempat sepi itu.
Apakah itu yang selama dua minggu ini? Apakah seharusnya tadi adalah momen yang sudah mereka tunggu-tunggu untuk berciuman tapi sialnya Sora datang?
Sepertinya Sora harus menguatkan hati lebih dan lebih lagi. Ini hanyalah sebuah permulaan.
***
Nge-mall sepulang jam kerja bukanlah kebiasaan yang dianut Sora maupun Kayla. Namun sejak Giselle datang dan mencuri sumber kebahagiaan salah satu dari mereka, jalan-jalan tanpa tujuan dirasa cukup penting untuk melepas penat.
Sekalipun Sora tidak menceritakannya secara detil, Kayla cukup tau hanya dengan melihat sorot matanya yang redup, juga semangatnya yang jauh berbeda dari yang dulu.
"Lo lagi ngehindarin Tama, Ra?"
Kunyahan Sora berhenti. Potongan sushi yang sudah sempat masuk ke dalam mulut terlihat menggembung di pipi.
"Kok lo tau?" tanyanya jenaka. Memaksa tertawa padahal pertanyaan itu bukanlah sesuatu yang lucu.
Kayla menatapnya dengan iba. "Gue harus bantu apa, Ra? Gue kasian liat lo."
"Di saat orang-orang ninggalin gue, tapi lo tetap stay, itu gue udah berterima kasih banget, Kay. Thank you."
...
"Sebelum Giselle datang, kita nggak pernah out bareng begini karna gue selalu sama Tama. Dan setelah gue nggak punya teman, barulah gue sadar kalau ada lo di antara kita."
"Ck. Nggak perlu ngomong gitu, Ra. Gue senang kita bisa semakin dekat. Gue justru harus berterima kasih ke lo yang udah ajakin gue out. Selama ini gue nggak tau mau pergi sama siapa."
"Harusnya lo ajak Julian. Kalian 'kan sejenis." Sora meledek. Membuat Kayla tak kuasa menahan tawa.
Tiga jam lamanya mereka berbincang di restoran yang bertempat di mall Kokas. Setelah itu Kayla mengisyaratkan hari sudah malam dan mereka sudah seharusnya pulang. Orang tua Kayla pasti sudah mencarinya.
"Ayo, gue antar lo sampai lampu merah." Kay menawarkan tumpangan kepada. Perempuan itu memang berasal dari keluarga yang cukup berada.
"Eh, repot-repot, Kay. Gue bisa naik taksi nanti. Lo duluan aja, nggak apa-apa." Sora tentu saja langsung menolak.
"Lo mau ngelayap ke mana lagi, Raaaa?" desah Kayla frustasi.
Shanon sepertinya tidak akan bisa berbohong lebih lama lagi. Dadanya terlalu sesak menahan ini sejak siang tadi.
"Gue malas pulang ke apart."
Kayla menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengemasi isi tas. "Lo emang udah malas pulang ke apartemen sejak beberapa hari yang lalu. Tapi nggak pernah sampai se malam ini, Ra. Bukannya Tama udah tidur jam segini?"
"Justru itu. Tadi... dia kirim pandion ke gue, bilang kalau dia mau ngomong sesuatu. Gue... gue nggak siap, Kay." Sora membuang napas, lalu menggigit bibir yang mulai bergetar.
"Memangnya, menurut lo dia mau bilang apa?"
"Tadi siang gue memergoki dia dan Giselle di tangga darurat. Nyaris kissing."
"HAH?!"
***