Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
Hujan turun deras sore itu, membasahi kaca jendela kamar kontrakan yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Sudah tiga hari sejak Nina memutuskan tinggal di rumah orang tuanya untuk sementara waktu. Rumah itu tak lagi dipenuhi aroma masakan hangat atau tawa kecil Nina saat menggoda Devan.
Yang tersisa hanyalah sunyi. Dan penyesalan.
Devan duduk sendirian di ruang tamu, memegang secarik kertas kecil bertuliskan tulisan tangan Nina.
“Kalau kamu butuh waktu, ambillah. Tapi jangan biarkan diam membuat cinta kita mati perlahan.”
Kalimat itu mengendap di dadanya. Sejak Nina pergi, dan Devan baru sadar bahwa ia bukan kehilangan kenyamanan... tapi rumahnya.
Hari itu, Devan mengambil cuti. Ia memutuskan mengunjungi rumah orang tua Nina, tapi yang ia temukan hanyalah penolakan halus dari ibunya Nina.
“Nina butuh tenang dulu, Nak. Bukan karena dia marah. Tapi karena dia hancur dan sedang mencoba utuh lagi.”
Devan menghela nafasnya kasar ia hanya menunduk. “Boleh saya titip surat?”
Ibunya mengangguk.
"Boleh nak,"
Deva. mengambil sebuah surat yang memang ia tulis lalu menyerahkannya pada ibunya Nina. Ia tau, kontak wanita itu tidak aktif. Jadi, jalan satu-satunya hanya mengirim surat.
Sementara itu, di dalam kamarnya, Nina...
Nina duduk di tempat tidur masa kecilnya. Di tangannya ada amplop putih—hasil dari klinik yang ia kunjungi diam-diam tiga hari lalu, sebelum pergi dari rumah.
Tangannya gemetar saat membukanya. Perlahan-lahan, ia membaca:
“Selamat, Anda positif hamil. Usia kehamilan diperkirakan 5 minggu.”
Matanya membelalak. Lidahnya kelu. Dadanya berdebar tidak karuan.
Ia menatap bayangan wajahnya di cermin: lelah, pucat, dan... takut.
“Aku hamil...” bisiknya.
Tapi yang pertama terlintas di benaknya bukanlah kebahagiaan. Melainkan keraguan:
"Apakah Devan akan senang... atau justru merasa makin tertekan? Tapi bukannya ini yang dia dan keluarganya mau?"
Malam itu, Ibunya Nina menyerahkan surat kecil yang dititipkan Devan.
Dengan tangan bergetar, Nina membacanya:
“Nin... aku salah. Aku terlalu diam. Bukan karena aku nggak sayang, tapi karena aku takut. Aku takut kamu tahu betapa kecilnya aku di hadapan ekspektasi semua orang. Tapi ternyata… aku menyakitimu jauh lebih dalam dari yang aku kira.
Kamu adalah rumahku. Aku kehilangan arah saat kamu pergi. Aku janji, mulai sekarang, aku akan bicara, walau suaraku gemetar. Aku akan pegang tanganmu lebih erat, walau dunia memaksa kita goyah.
Pulanglah, Nin. Aku butuh kamu. Dan kalau kamu bersedia, izinkan aku menjemputmu besok… bukan sebagai suami yang sempurna, tapi sebagai lelaki yang mau belajar mencintaimu lebih baik lagi setiap hari.”*
Air mata Nina mengalir. Ia memeluk surat itu, dan untuk pertama kalinya setelah tiga hari penuh tangis, ia tersenyum.
Devan berdiri di depan pagar rumah orang tua Nina dengan setangkai bunga lili—favorit Nina—dan sebuah buku catatan kosong.
Begitu Nina keluar, Devan mendekat, lalu menyerahkan bunga itu.
“Aku nggak tahu harus bawa apa. Tapi aku tahu kamu suka lili.”
Nina mengangguk. “Kamu masih ingat...”
“Dan ini…” Devan menyerahkan buku catatan kecil. “Aku mau isi buku ini bareng kamu. Satu halaman per hari. Boleh isinya cuma ‘hari ini aku ngambek’, atau ‘hari ini aku masak gagal’. Tapi aku pengen kita belajar cerita, bareng. Supaya kita nggak saling menebak dan terluka karena diam.”
Nina menerima buku itu. Matanya berkaca-kaca.
Devan menggenggam tangannya. “Boleh aku minta maaf sekali lagi? Dan... boleh aku peluk kamu sekarang?”
Nina mengangguk. Devan menariknya ke dalam pelukan yang begitu erat, penuh permintaan maaf, penuh rasa takut kehilangan, dan juga… penuh harapan.
Tapi di tengah pelukan itu, Nina berbisik pelan:
“Vam…”
“Hm?”
“Aku hamil.”
Devan terdiam. Tangannya mengendur sedikit.
Nina menggenggam lebih erat. “Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa. Aku bisa sendiri.”
Tapi Devan justru menariknya lebih erat, mencium ubun-ubun Nina, dan berkata:
“Bukan cuma kamu. Kita bisa bareng. Kita akan jadi orang tua terbaik—karena kita mulai dari saling memilih.
Malam itu mereka kembali ke rumah mereka. Tidak lagi dengan suasana sunyi, tapi dengan tawa, air mata, dan rencana.
Nina menempelkan hasil tes kehamilan di dinding ruang tamu.
“Kita mulai isi buku ini sekarang,” katanya sambil tersenyum.
Devan mengambil pulpen, membuka halaman pertama buku catatan, dan menulis:
Hari ini istriku pulang. Dan aku janji, mulai sekarang… aku akan bicara, sebelum diam menyakiti.