Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bareng Devy
Aku mulai terbiasa dengan keseharian hidupku di ibukota yang nyatanya ini menjadi awal kehidupanku setelah berkeluarga.
Di tengah kondisi hiruk pikuk kota yang tidak familiar denganku dengan keramaiannya dan biaya hidup yang relatif serba lebih mahal tapi gampang daripada saat tinggal di kota asal.
Sesibuk apapun kota ini beraktivitas seperti yang biasa aku lihat dari balik balkon kamarku, tapi aku tetap merasa sepi jika seharian hanya diisi untuk berkeliling di dalam apartemen tempat tinggal.
Ponsel yang biasa hening, kini berdering.
"Halo, Mbak Dita tinggal di mana? Di kota bukan?"
"Iya, Dev. Kenapa?"
"Ayo lah kita main, tinggal dimana?"
Pagi hari, ponselku berdering. Devy yang menghubungi, sejak pertemuan kami di kafe hari itu, aku dan Devy berteman cukup dekat. Aku menyebutkan lokasi tempat tinggalku.
"Share lock, aku jemput ya mumpung free. Siap-siap, Mbak!"
Panggilan ditutup olehnya.
"Mas, apa aku boleh pergi bersama Devy? Adik temanku," pesan aku kirimkan pada suami. Namun, dia tidak lantas membalas, sedangkan Devy mengabarkan jika dia sudah sampai di bawah. Aku belum bersiap karena pesanku belum dibalas olehnya.
Aku mencoba mendial nomornya, aku tahu dia sedang sibuk, tapi harusnya tidak ada masalah jika istri sendiri menelepon supaya dia mengerti jika aku mengirimkannya sebuah pesan.
Beberapa panggilan terdial, dan percobaan terakhir terhubung tanpa aku perhatikan.
"Halo?" terdengar suara dari ponselku. Aku yang belum siap berbicara segera memutus sambungan telepon.
"Mau kemana?" pesanku baru terbalas olehnya.
"Jalan-jalan sama temen, Devy. Boleh?"
Hanya terbaca, aku mengartikan jika dia sudah memberi izin. Mungkin dia tidak sempat membalas. Asalkan sudah terbaca, itu sudah mewakilkan pergiku direstuinya.
"Mbak, jadi tidak? Aku udah naik ke lantai 15 ini," ujar Devy menelepon.
"Jadi. Oke, aku keluar," jawabku, di depan Devy sudah di sana berdiri bersama dengan putranya yang masih kecil.
Devy mengajakku berkeliling kota yang memang menjadi tempat tinggalnya sejak kecil, sedangkan aku hanya seorang urban yang datang dari kota kecil. Dia membawaku berkeliling mall, berfoto-foto, berbelanja, dan mengunjungi beberapa tempat makan.
Gadis kecil yang sering aku gendong dulu sungguh luar biasa, dia sudah bertransformasi menjadi wanita dewasa yang mandiri, modis, dan pintar.
"Mbak, bagaimana keadaan Mbak setelah menikah? Senang, kan? Gak ada yang perlu dikhawatirkan, kan? Benar bukan kataku, marriage is not scary. Pasti pak Elham sayang banget sama Mbak, haha ... awal menikah memang begitu." Dia sudah mode on berceloteh, ia tidak hilang fokus meski sedang mengemudi di jalan raya yang padat kendaraan.
"Happy, kan? Pasti dong, aku aja istri dari karyawannya dia aja udah bahagia banget, berkelimpahan. Apalagi Embak yang jadi istrinya, aku masih gak nyangka lho, ternyata istri Pak Elham itu Mbak Dita."
"Memangnya kenapa, Dev? Apa yang kamu tahu soal dia?"
"Hah? Apa yang aku tahu? Bukan hanya aku, Mbak. Mungkin semua orang sudah tahu siapa pak Elham itu Mbak. Dia pengusaha, anak konglomerat, pak Galih Wicaksono yang itu tuh dulu pemilik mall yang barusan kita kunjungi," terang Devy sembari menyendokkan es krim ke mulutnya.
"Oh, ya?"
"Ya, of course. Sekarang kan yang pegang anak pertamanya, siapa itu ya namanya. Reza atau..."
"Resa, Mas Resa kakaknya mas Elham," ujarku meluruskan, aku ingat saat bu Galih mengenalkan nama anak-anaknya. Mas Resa anak pertama keluarga itu.
"Nah, itu! Ya, itu dia anaknya pak Galih."
Aku tidak begitu familiar dengan pengusaha bernama Galih itu, setahuku nama Galih hanya bu Galih yang kaya raya di komplekku. Suaminya, aku tidak pernah tahu. Aku tidak bertanya jika mereka pun tidak mengenalkannya.
"Terus pak Galih itu sekarang kabarnya bagaimana, Dev?"
Devy mengernyit, ini pertanyaan tidak masuk akal dariku.
"Kabarnya sih yang sudah meninggal sepertinya, sudah tua banget, Mbak. Dia terkenal jadi pengusaha di tahun 80-an. Mbak kan menantunya, kok, tanya ke aku? Kan bisa tanya ke suami mbak sendiri, aduh.... Gimana?"
Devy menertawaiku. Andai dia tahu jika aku pun baru mengenal keluarga itu baru-baru ini, pintu rumah mereka baru terbuka untukku kemarin, sebelumnya mereka tertutup dan aku tidak paham urusan hidup di balik dinding kokoh rumah mereka.
"Haduh, pokoknya beres deh mbak jadi istrinya pak Elham. Semua pasti keturutan, apa aja. Sudah dikasih apa saja sama suami, Mbak? Aduh, aku kepo banget. Aku sampai nggak bisa nganan, aku ngiriiiii."
Sebenarnya siapa yang sedang berdusta di sini? Apakah Devy sedang salah orang terkait orang bernama Elham selaku atasan suaminya atau mas Elham yang tidak jujur dan mengaku siapa dia yang sebenarnya.
Yang aku tahu, dia mengaku sebagai karyawan biasa. Dia bukan siapa-siapa dan tidak terlihat seperti siapa-siapa, bahkan wajahnya tidak pernah muncul di media.
"Tapi, dia bilang dia karyawan biasa. Bukan pengusaha atau anak pengusaha, Dev."
Devy menepuk pahaku. "Hahaha, alah, Mbak. Semua orang kaya pasti merendah biar gak dibilang sombong atau gak mau banyak orang tahu karena nanti akan banyak yang datang ngaku jadi saudara atau teman dekat dan ujungnya mau pinjem uang, hahaha."