Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 13
"Halo!" Edgar berseru kepada seorang di antara rombongan penunggang kuda yang memisahkan diri itu, memutari mobil.
"Buenos dias, senor," jawab orang itu. Ia menghentikan kudanya dan turun. Tubuhnya yang besar tertutup oleh jaket kulit yang kotor dan sudah kusam.
"Anda berbicara bahasa Perancis?" tanya Edgar.
"No hablo frances, tidak berbicara bahasa Perancis," orang itu menggelengkan kepala.
"Inggris?' Edgar berharap bahasa Inggris lebih dikenal.
"No, senor," sekali lagi orang itu menggelengkan kepalanya dengan raut wajah sedih.
Edgar menarik napas dalam dalam. "Begini..... mobilku mogok," katanya kepada orang itu sambil memberikan isyarat agar maju lagi ke depan, berdiri di depan mobil. "Kau melihat itu? Selang airnya putus."
Orang itu mengatakan sesuatu dalam bahasa Spanyol, tetapi kemudian ia mengangkat bahunya dengan tidak berdaya sambil meninggalkan posisinya di depan mobil tadi.
Para penunggang kuda yang lain kini berkerumun mengitari orang itu, mengamati percakapan aneh antara teman mereka dengan Edgar. Jeane kini dapat menghitung jumlah mereka. Delapan orang, sembilan dengan pria yang barusan berbicara dengan Edgar. Entah mengapa, Jeane tidak dapat menyingkirkan rasa menggigil yang merambati punggungnya. Seakan akan ada sesuatu bagian dirinya yang masih primitif telah mencium bau bahaya. Dengan mengabaikan perintah suaminya, Jeane membuka pintu dan turun dari mobilnya.
"Mobil ini tidak dapat jalan sebelum kerusakan dibetulkan. Aku memerlukan......." Edgar menoleh ketika mendengar bunyi pintu mobil yang ditutup dan ia berbalik dengan mata melotot kepada Jeane. "Kembalilah ke dalam mobil."
"Tidak," kata Jeane. Pandangan matanya tidak sekejap pun beralih dari rombongan penunggang kuda itu.
Berbagai macam orang ada pada rombongan itu. Pakaian mereka penuh debu, jaket kulit mereka rata rata sudah kusam. Kuda kuda mereka itu kecil kecil dan berdada sempit.
Dengan memadukan bahasa isyarat dan pantomim, Edgar memcoba berkomunikasi dengan orang orang Spanyol itu. Dari sudut matanya, Jeane menyaksikan gerak gerik suaminya.
"Apakah ada orang atau desa di sekitar sini agar aku dapat memperbaiki kendaraanku?" Edgar mengucapkan kata kata itu secara perlahan lahan, disertai gerakan tangan dan memakai tanda tanda. "Aku harus mencari seseorang yang dapat memperbaiki mobil ini sehingga bisa berjalan lagi. Mengerti?"
Orang itu mendengar dan mengamati Edgar dengan penuh perhatian, tetapi akhirnya ia menggelengkan kepala dan mengangkat ke dua tangannya. "No entiendo, senor, tidak mengerti, tuan."
Edgar menggumam kepada isterinya. "Mengapa koboi koboi Spanyol ini tidak pernah belajar bahasa Perancis atau Inggris?" Dan ia mulai lagi berbahasa isyarat kepada orang itu. "Apakah di antara orang orangmu itu ada yang dapat memperbaiki kendaraan ini?"
Pandangan Jeane menyapu rombongan orang yang masih berada di atas kudanya masing masing itu, tetapi matanya tertarik kepada seseorang, sekalipun orang itu tidak berbeda penampilannya dari yang lain lain. Dengan topi koboi yang berdebu di atas kepalanya, orang itu duduk seenaknya di atas pelana kuda, dengan tangan yang bersarung berada di atas tanduk pelana. Entah bagaimana, Jeane melihat adanya kesiagaan hewani di balik sikapnya yang seenaknya itu.
Seperti yang lain, orang itu juga sudah lama tidak bercukur sehingga penampilannya tidak sedap dipandang. tetapi wajahnya kurus dan tajam, tidak lebar seperti anggota rombongan yang lain. Matanya yang kelam itu membalas tatapan mata Jeane dengan tajam dan dingin.
"Sialan! Mustahil tidak ada seorang mekanik pun di daerah ini!" Kesabaran Edgar habis karena ketidak mampuan nya berkomunikasi dengan orang orang Spanyol tersebut.
"Mecanico? Mekanik? Si, si. Ya, ya." Orang pertama yang diajak bicara oleh Edgar itu tiba tiba mengangguk mengerti dan menuding ke arah rombongannya.
"Nah, sekarang ada sedikit kemajuan," Edgar berkata dengan geram. "Maukah kau mengundang mekanik itu kemari?" Edgar memulai berbahasa isyarat lagi. "Aku akan memberi imbalan secukupnya. Akan kubayar.... mengerti? Peceta. Jangan kau berpura pura tidak mengerti apa itu peceta!" Edgar menambahkan dengan mencemooh.
"Peceta? Si, si," jawab orang itu dan menunggu.
"Kau meminta berapa?" Edgar bertanya sambil merogoh ke dalam sakunya. "Lima puluh?"
Ketika Edgar mengeluarkan amplop uang yang diberikan Jeane kepadanya itu, Jeane merasa dirinya diserang oleh kengerian. Ia ingin menegur suaminya atas ketololannya memperlihatkan uang sebanyak itu kepada rombongan orang orang Spanyol itu. Tetapi kengerian yang menggumpal itu seolah menyumbat tenggorokan Jeane sehingga tidak memungkinkan sepatah katapun terlontar keluar. Orang Spanyol itu tertawa senang dan mengatakan sesuatu kepada teman temannya.
Jeane tidak percaya bahwa Edgar tidak merasakan perubahan yang hampir tak terlihat dalam suasana itu. Ketika ia memandang para penunggang kuda itu, ia melihat kilatan kilatan senyum muncul di wajah wajah mereka mendengar kata kata teman mereka yang berbicara dengan Edgar. Hanya seseorang di atas kudanya itu yang seolah tak tersentuh dengan berita menggembirakan itu. Semua otot dalam tubuh Jeane menegang.
'Lima puluh peceta tidak cukup, huh?" Edgar menggerutu. "Benar benar serakah." ditariknya beberapa lembar lagi dari amplop uang itu. "Bagaimana kalau seratus peceta? Cukup?"
Tangan kiri orang Spanyol itu diulurkan kepada uang itu. "Aha, harganya cocok, eh?" kata Edgar sambil mulai memisahkan uang itu.
Orang Spanyol itu tidak menunggu hingga uang itu diserahkan kepadanya. Tangannya tiba tiba meraih seluruh amplop itu. Edgar terlambat menyadari bahaya yang telah dirasakan isterinya sejak awal. Dengan mengumpat, ia merogoh ke balik jas nya, ke pinggangnya, bermaksud mencabut revolvernya.
Ketika gagang revolver itu tampak dalam genggaman tangan Edgar, mata Jeane dengan penuh kengerian melihat tangan orang Spanyol itu bergerak lebih cepat dan telah mengarahkan pistolnya ke arah Edgar. Suatu letusan yang memekakkan telinga terdengar. Jeane melihat suaminya terkulai di atas tanah, revolvernya terlepas dari jari jari tangannya.
Ah, goblok, goblok! Dia benar benar tolol, pikir Jeane.
Jeane ingin sekali berlari menghampiri suaminya, tetapi orang Spanyol itu sudah berlutut di samping tubuh yang terkulai itu, menarik dengan paksa segepok uang dari jari jari tangan yang masih mencengkeramnya dengan erat.
Jeane melangkah gontai ke arah Edgar, memandang lubang merah dan kecil pada dada Edgar. Tidak ada darah yang muncrat keluar, sebagaimana sering dilihatnya dalam film film...... hanya sebuah lubang kecil dan noda merah yang perlahan lahan melebar, menandakan adanya luka yang mematikan.
Dengus napas kuda bercampur dengan bau mesiu dirasakan oleh Jeane. Ketika matanya menangkap pemandangan di seberang tubuh Edgar yang sama sekali tidak bergerak, Jeane melihat bahwa gerombolan berkuda itu telah bergerak maju dan berada dekat sekali dengan posisinya. Dua orang lagi turun dari kuda masing masing dan membantu temannya menggeledah saku saku Edgar.
Pandangan Jeane menyapu gerombolan yang menakutkan itu. Dia merasakan jantungnya berhenti berdetak sedetik lamanya, kemudian berdebar liar dalam ketakutan. Semua orang itu kini memandang kepada dirinya. Dan Jeane cuma bisa merapatkan diri pada pintu mobilnya.
Dua orang lagi turun dari pelana dan mulai berjalan ke arah dirinya. Tiada tempat dan kesempatan bagi Jeane untuk melarikan diri. Mereka telah membunuh Edgar dan Jeane menyadari bahwa ia tidak bisa mengharapkan belas kasihan dari mereka. Yang pasti, tidak akan ada belas kasihan sebelum mereka membunuh dirinya juga.
Bertahan hidup! Kata kata itu menjerit dalam seluruh pembuluh darahnya. Bertahan hidup! Debar jantungnya dalam kepanikan itu perlahan lahan mereda dan cengkeraman kengerian seperti melepaskan tenggorokannya.
Ya, ia harus bisa bertahan hidup.