Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Randy yang Mulai Peduli
Bab 13: Randy yang Mulai Peduli
Hari itu, seperti janjinya, Randy mengajak Nadine makan siang.
Mereka bertemu di lobi kantor sebelum berangkat ke restoran yang tidak terlalu jauh dari gedung perusahaan. Nadine sempat ragu untuk menerima ajakan ini lagi, tetapi entah kenapa, ada sesuatu dalam diri Randy yang membuatnya sulit berkata tidak.
Sepanjang perjalanan, Nadine hanya diam, sesekali mencuri pandang ke arah pria di sampingnya. Randy terlihat santai, mengenakan kemeja biru yang digulung hingga siku, seolah-olah ia bukan seorang CEO yang memiliki banyak tanggung jawab.
Ketika mereka tiba di restoran, Randy dengan sigap menarikkan kursi untuk Nadine sebelum duduk di hadapannya.
"Kamu suka makanan apa?" tanyanya sambil menyerahkan menu.
Nadine menggeleng pelan. "Aku tidak terlalu pilih-pilih."
Randy tersenyum. "Baiklah, aku yang pilihkan."
Setelah memesan makanan, mereka mulai mengobrol santai. Nadine masih merasa canggung, tetapi Randy tampaknya benar-benar menikmati percakapan mereka.
Namun, di sela-sela obrolan, Randy mulai memperhatikan sesuatu.
Baju yang dikenakan Nadine sangat sederhana. Bukan hanya itu, meskipun selalu bersih dan rapi, pakaian itu terlihat sudah lama dipakai.
Awalnya, Randy tidak ingin berkomentar. Tetapi, saat Nadine mengatakan bahwa ia jarang membeli baju baru karena lebih memilih menyimpan uang untuk keperluan lain, ada sesuatu dalam dirinya yang terusik.
***
Setelah makan siang, bukannya kembali ke kantor, Randy justru membawa Nadine ke sebuah pusat perbelanjaan.
"Nggak usah, Pak," tolak Nadine cepat saat menyadari ke mana mereka menuju. "Aku nggak butuh baju baru."
Randy menoleh dan menatapnya dengan sabar. "Aku tahu kamu nggak butuh, tapi aku ingin membelikan sesuatu untukmu."
Nadine menggeleng. "Aku nggak bisa menerimanya. Ini terlalu berlebihan."
"Tidak ada yang berlebihan, Nadine," kata Randy dengan nada lembut. "Aku cuma ingin membantumu. Anggap saja ini hadiah kecil."
Nadine menelan ludah. Hatinya berdebat—di satu sisi, ia tidak ingin menerima sesuatu yang bisa menimbulkan gosip di kantor, tetapi di sisi lain, ada sesuatu dalam tatapan Randy yang membuatnya sulit menolak.
Namun, ia tetap mencoba. "Kalau aku menerima ini, orang-orang akan mulai berbicara. Aku nggak mau jadi bahan gosip lagi."
Randy terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kalau begitu, biarkan mereka berbicara. Aku tidak peduli."
"Tapi aku peduli," bisik Nadine.
Randy menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. "Oke. Kalau begitu, kita anggap ini bukan dari aku sebagai CEO. Anggap saja aku seorang teman yang ingin memberimu sesuatu. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?"
Nadine menggigit bibirnya. Randy benar-benar tahu bagaimana meyakinkannya.
Melihat keraguannya masih tersisa, Randy menambahkan, "Kalau kamu masih merasa nggak enak, anggap ini pinjaman. Kamu bisa ganti kapan saja kalau kamu mau."
Nadine mendesah pelan. Ia tahu Randy tidak akan menyerah. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi hanya satu baju."
Randy tersenyum puas. "Setidaknya kamu menerima."
***
Mereka memasuki butik sederhana di dalam mall, dan Nadine merasa semakin canggung saat Randy dengan santai memilihkan beberapa baju untuknya.
"Aku nggak tahu selera pakaianmu, tapi yang ini pasti cocok buatmu," katanya sambil menyerahkan dress berwarna pastel.
Nadine mengambilnya dengan ragu, lalu melirik harga di labelnya. Matanya langsung melebar.
"Pak, ini mahal," bisiknya.
Randy terkekeh. "Nadine, aku pikir kita sudah sepakat soal ini."
"Tapi..."
"Kalau kamu terus mengeluh, aku akan memilih lebih banyak lagi," ancam Randy dengan nada menggoda.
Nadine menghela napas pasrah dan akhirnya membawa baju itu ke ruang ganti.
Ketika ia keluar, Randy menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Cantik," katanya singkat.
Nadine merasakan pipinya sedikit memanas. Ia segera menghindari tatapan Randy dan kembali ke ruang ganti untuk berganti pakaian.
Setelah selesai, mereka menuju kasir. Nadine masih merasa canggung saat Randy dengan santai membayar, seolah ini bukan masalah besar baginya.
Saat mereka keluar dari toko, Randy menoleh ke arahnya dan berkata, "Aku harap kamu menyukainya."
Nadine mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak. Aku... aku nggak tahu harus bilang apa."
"Kamu nggak perlu bilang apa-apa. Cukup pakai saja dan percaya diri."
Nadine tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia merasa seseorang benar-benar peduli padanya tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Namun, di dalam hatinya, ia juga tahu satu hal—ini berbahaya. Karena semakin dekat dengan Randy, semakin sulit baginya untuk menyembunyikan rahasia masa lalunya.
Dan jika Randy tahu siapa dirinya sebenarnya, apakah pria itu masih akan peduli?