Hidup sebagai single parent tak membuat Risa kesulitan dalam membahagiakan putri semata wayangnya. Namun satu hal yang ia lupakan. Safira, putrinya, juga membutuhkan sosok lelaki yang di sebut ayah, yang meski ada tapi terasa tak ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon putrijawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bujukan Calon Anak
Masih PoV Rendy
Sampai di warung. Suasana masih agak sepi. Hanya ada beberapa pembeli yang mampir. Begitu juga dengan bengkel milik Zein yang letaknya tepat di sebelah warung.
Aku menghampiri Zein yang sedang duduk bersandar di bangku depan warung. Dia tampak berkutat pada ponselnya. Sesekali senyum terukir di wajahnya.
"Lagi seneng nih, bro ?". Aku langsung meletakkan bokongku tepat di sebelahnya.
Dia sedikit terlonjak kaget. Mungkin saking fokusnya dia dengan ponselnya hingga tak sadar akan kedatanganku.
"Eh, bang Rendy. Enggak sih, bang. Cuma lagi liat - liat video lucu aja". Jawabnya sedikit gugup. Dia lalu mematikan layar ponselnya dan menyimpan ponselnya ke saku celananya. "Mau minum apa nih, bang ?"
"Kopi item aja, Zein". Pesanku padanya. Dia lalu berlalu ke dalam.
Aku terkesan padanya. Walau dia masih muda, dia tak pernah terlihat malu untuk membantu orang tuanya melayani pembeli saat bengkelnya tengah sepi. Apalagi sekarang warung orang tuanya sudah menyediakan makanan, yang peminatnya di dominasi dengan kaum hawa. Dia tak sungkan melayani pesanan mereka dengan ramah. Mungkin juga itu salah satu strategi dia memasarkan ketampanannya.
"Tuh, kan bener... Ternyata ada Papa. Fia kira tadi Fia salah denger". Aku tersentak mendengar pekikkan Safira. Wajahnya tampak sangat bahagia. Aaah. Aku akan selalu merindukan dia sepertinya.
"Sini sayang..." Aku menepuk tempat yang masih kosong disebelahku untuk di dudukinya.
"Fia ambil buku dulu ya, Pa. Tadi Fia masih ngerjain PR. Trus denger suara Papa". Ucapnya sambil berlalu ke dalam setelah mendapat anggukkan dariku.
"Firaaa. Jangan lari - lari. Nanti kamu bisa jatuh". Ucap Zein saat hampir menubruk Safira yang terburu - buru masuk ke warung. Zein berdiri di ambang pintu menatap Safira yang mengabaikan ucapannya lalu menggelengkan kepala. "Ini bang, kopinya. Kuenya dimakan juga". Dia meletakkan secangkir kopi di hadapanku dan piring kecil berisi kue yang sama seperti yang dibawa Safira sewaktu mereka bermain di taman.
"Thanks, bro". Jawabku sambil menggeser cangkir kopi. Ku dekatkan hidungku ke atas cangkir yang masih mengepulkan uap kopi itu. Aaah. Hanya menghirup aromanya saja bisa membuat pikiran sedikit tenang.
"Papa... " Safira datang membawa buku serta alat tulisnya lalu meletakkannya di meja hadapanku. Dia memilih duduk di seberangku. Mungkin karena Zein sudah menempati tempat duduknya tadi.
"Ini kue buatan Bunda loh, Pa. Fia juga bantu buatnya tadi. Kata Bunda, ini resep baru dari toko". Dia menggeser piring kecil itu ke sebelah cangkir kopiku. Lalu kembali fokus ke pekerjaannya. "Di cicipi, Pa. Kemaren juga Papa gak makan kue yang Fia bawa". Sambungnya lagi tanpa menoleh.
Aku menatap kue di hadapanku lalu beralih menatap Safira yang tengah fokus mengerjakan tugas sekolahnya. "Ini beneran Bunda sama Fira yang buat ?" Godaku untuk mendapat perhatiannya.
Safira melirikku tajam sambil memberengut. "Bener kata Bunda. Papa gak akan percaya kalo kue ini Bunda yang buat. Sekalipun Fia udah bilang sama Papa kalo Fia juga bantuin Bunda buat kue ini". Dia lalu melengos. Sepertinya jika berbicara dengan setiap gadis harus selalu berhati - hati dalam memilah kata. Tidak hanya yang dewasa, gadis kecil dihadapanku sekarang juga terlihat sensitif.
Zein terkikik disebelahku. Dia menggeleng - gelengkan kepalanya melihat tingkah keponakannya yang menggemaskan ini. "Udah, bang. Di cicipi dulu kuenya. Ntar Fira ngambek, loh. Susah ngebujuknya".
"Bang, tambal ban dong". Teriak seorang pria sambil mendorong sepeda motornya yang tampak kempes pada ban belakangnya. Di belakang pria itu seorang perempuan dengan wajah kesal tampak kelelahan.
"Oke, bang". Jawab Zein seraya mengacungkan jempol tangannya. "Bang, aku tinggal dulu, ya". Pamitnya sambil menunjuk arah bengkel dan berlalu.
Aku hanya menganggukkan kepala lalu kembali menatap Safira yang masih fokus mengerjakan tugasnya. Ku perhatikan tugasnya. Menulis angka sembilan puluh tiga. Ya, masih mengenal angka. Pelajaran awal sebelum memasuki sekolah dasar.
"Papa jangan liatin Fia terus. Kue nya dimakan. Nanti dihinggapi lalet loh. Kan jadi mubazir kue buatan Bunda".
Aku tercenung mendengarnya. Tatapannya sama sekali tak berpaling dari tugasnya. Tapi seolah dia bisa melihat setiap gerak gerikku yang sedang menatapnya. Sungguh, bakat Risa yang seperti cenayang telah menurun padanya. Dia membuatku salah tingkah, hingga spontan ku garuk tengkukku yang sama sekali tak gatal.
"Kenapa sih, Papa gak pernah mau makan makanan buatan Bunda ?". Kali ini dia menatapku dengan tajam.
Aaah. Gadis kecil ini selalu membuatku harus berpikir keras untuk membalas kalimatnya. "Mm... Bukan gitu, sayang. Itu... A... Apa ya... ?" Hah... Aku bingung harus memberi jawaban apa. Aku juga tak tahu kenapa setiap Risa memberiku makanan pasti tak ku makan. Bukan berarti aku tak menghargai buatannya. Hanya saja, jika sudah berada di dekat Risa, otakku seakan penuh dengan segala keinginan untuk membahagiakannya. Untuk menatap wajahnya yang seperti bayi itu. Rasanya pikiranku tak bisa berpaling darinya.
"Huh... Malah bengong, sih. Fia makan aja deh kuenya". Safira mulai meraih piring kecil berisi kue coklat putih itu ke hadapannya.
Dengan gerakan cepat dan tiba - tiba aku kembali meraihnya dari Safira. Matanya membelalak menatapku. Mulutnya menganga. "Biar Papa aja yang makan. Fira kan pastinya udah sering ngerasain kue buatan Bunda". Ku sendoki potongan kue tersebut. Lalu ku masukkan perlahan ke mulutku. "Hm... Enak banget". Mulutku terus mengunyah hingga menghabiskan hampir setengaj isi piring. Perpaduan cokelat putih dan kacang mette yang terasa creamy ditambah chocochip yang gurih. Rasanya begitu kentara dan ingin lagi. Lagi dan lagi. Aaah, seperti candu saja.
Ku letakkan piring tersebut lalu berganti dengan secangkir kopi dan menyeruputnya. "Aaah... Enak banget, ya kuenya. Pantes aja toko itu selalu rame pengunjung". Ku tatap wajah Safira yang begitu berbinar.
"Baru percaya Papa kan kalo kue buatan Bunda enak". Dia tersenyum puas.
"Percaya deh. Emang paling enak kue buatan Bunda". Ku jawil pipi chubby nya yang menggemaskan itu.
"Eh, Rendy... Maaf ya, Ibu baru selesai buat kuah sop. Mau makan siang sekalian ? Kebetulan hari ini Ibu masak di warung. Bapak juga udah siapin meja buat kita makan". Kata Ibu yang sudah di ambang pintu.
"Boleh deh, Bu. Emang lagi laper ini". Sambungku cepet. Sepertinya ini moment yang pas untuk menyampaikan maksudku.
"Fira panggil Om Zein, ya. Bilang kita makan bareng". Perintah Ibu pada Safira yang dianggukinya. Safira menutup buku tulisnya lalu membawanya ke arah bengkel.
Aku mengikuti ibu masuk. Kami berkumpul di dalam warung. Di meja sudut warung sudah tertata rapi nasi beserta lauk yang menurutku sangat menggoda itu. Sambal terasi dengan rebusan daun singkong. Ada lalapan daun selada, timun dan kol. Aah... Hidangan yang sempurna ini.
"Kruukk... ". Perutku seketika tak bisa dikondisikan. "Hehee... Lauknya bikin laper Pak, Bu". Kataku cepat saat kedapatan perutku tengah berbunyi.
"Silakan di makan Nak Rendy". Sambung Bapak sambil menyodorkan piring dan mangkuk nasi.
Aku langsung menyambutnya dengan semangat. Ku sendok nasi ke piringku. Lalu mengambil sambal dan lauknya. "Mari Pak, Bu. Makan". Aku langsung makan dengan lahap setelah meminta izin terlebih dulu. Aku memang sudah terbiasa dengan keluarga Risa. Bahkan dari semasa sekolah, aku sering mampir ke rumahnya hanya sekedar untuk makan siang.
"Mau pakai sup juga, Ren ?".
"Eng... Gak usah, Bu. Ini lebih mantap". Sahutku cepat saat Ibu sudah ingin bangkit dari duduknya. "Ibu nikmati aja dulu makannya".
"Iih... Papa makan gak ajak - ajak Fia". Aku menoleh ke sumber suara dibelakangku.
saya masih penulis baru, yang butuh masukan dan motivasi dalam penulisan cerita saya.
Di penulisan selanjutnya saya akan mencoba lebih baik 🙏
trima kasih sudah setia membaca sampai akhir ☺️