MENGEJAR CINTA MAS-MAS DINGIN

"Mbak Viona," lirih Jeje.

Viona yang merasa kasihan itu mengusap lengan Jeje dan memberikan senyum.

"Kenapa kamu bicara seperti itu, lihat dirimu," kata Viona seraya membawa Jeje ke depan cermin.

"Kamu cantik, manis dan yang paling penting adalah baik hati. Jika memang kalian berjodoh apapun rintangannya pasti akan kalian lewati bersama, tapi, sekeras apapun kita menggenggam, jika itu bukan milik kita makan akan terlepas juga," kata Viona dan Jeje terdiam, air matanya menetes dan Vio menghapusnya.

****

Di aula, Darren yang duduk dengan menyandarkan punggungnya itu terus menatap Rossi, menatap tanpa ekspresi, sementara Sam sedang berbincang dengan koleganya.

Dan Rossi yang sedang menunduk itu mengucapkan selamat pada Darren dan Darren tersenyum smirk.

Lalu, Darren berdecak, "Ck."

"Kenapa kamu menangis?" tanya Darren.

"Tidak tau," jawab Rossi seraya menghapus air mata itu. Lalu, Rossi mengangkat kepalanya, ia menatap Darren dan tersenyum.

"Aku harus pulang, permisi," kata Rossi seraya bangun dari duduk, Rossi yang berbalik badan itu bertemu dengan Jeje dan Rossi pergi tanpa mengatakan apapun.

****

Malam ini, karena perasaannya sedang kacau membuat Darren mengajak Jeje untuk pulang lebih awal, padahal, makan saja belum.

Jeje yang mengerti itu pun mengiyakan, di perjalanan, keduanya hanya diam dan Jeje yang duduk di samping Darren itu memilih untuk memejamkan mata, hanyut dalam pikirannya dan kembali Jeje teringat dengan ucapan Darren yang memintanya untuk tidak berpikir yang macam-macam.

Sesampainya di depan rumah Jeje, Darren melepaskan jasnya, ia memberikannya pada Jeje.

"Pakailah," kata Darren, ia tidak ingin Pak RT berpikiran yang macam-macam melihat anak gadisnya yang mengenakan gaun tanpa lengan.

Dan Jeje menganggap itu adalah bentuk perhatian darinya.

Singkat cerita, Jeje sudah di kamarnya dan Jeje yang tidak melihat ayahnya itu bertanya-tanya dalam hati, "Di mana Ayah?"

Lalu, Jeje segera melepaskan jas Darren, ia menatap jas itu dan mengajaknya berbicara seolah sedang berbicara dengan pemiliknya.

"Setelah bertemu Rossi, sekarang, bagaimana perasaanmu?"

Lalu, Jeje menarik nafas dalam dan segera meletakkan jas itu di kursi meja riasnya, Jeje segera berbaring dan menatap lama pada gelangnya.

"Mas Darren, bahkan, gelang ini sangat mirip dengan miliknya, aku ragu saat kamu membelikan ini untukku siapa yang kamu pikirkan?" tanyanya pada diri sendiri.

Dan Jeje merasa kalau ini adalah cintanya yang begitu menyesakan dada, sampai untuk bernafas saja terasa berat.

"Hati, kenapa kamu jatuh terlalu dalam?" tanyanya seraya menekan dadanya yang terasa nyeri dan Jeje mencoba untuk memejamkan mata.

Sementara Darren, ia baru saja sampai dan di rumahnya sudah ada Rossi yang sedang menunggu.

Darren menatapnya datar dan Rossi segera bangun dari duduk. Ia berjalan mendekat dan Darren segera bertanya tujuannya.

"Aku kembali dan tidak akan pergi lagi," ujarnya.

"Lalu?" tanya Darren dengan begitu datarnya, ia sedang mencoba untuk menahan amarahnya atas sikap Rossi.

Pergi, menghindar, lalu kembali setelah Darren membuka hatinya untuk wanita lain.

"Bisakah kita seperti dulu, sebelum aku berpura-pura kencan dengan pria lain?" tanya Rossi dengan mata yang berkaca-kaca.

Darren tidak menjawab, ia pergi meninggalkan Rossi yang masih berdiri di ruang tamu.

"Darren," lirih Rossi mengiba.

Dan Darren menjadi tidak tega saat mendengar suara lirihnya, ia pun menghentikan langkahnya dan Rossi mengatakan kalau dirinya menyesal.

"Aku menyesal, Ren. Aku menyesal!" ucapnya dengan air mata yang mengalir deras.

"Menyesalmu tiada artinya!" jawab Darren dan Darren yang begitu kesal itu benar-benar meninggalkan Rossi di ruang tamu.

"Darren!" teriak Rossi, ia ingin meluapkan segala kerisauan hatinya dan Darren tak mendengarkan.

Darren yang masuk ke kamar itu membanting pintunya dan Rossi dapat mendengarnya.

"Marahlah, keluarkan semua unek-unek hatimu, Ren. Caci aku, bentak aku, lepaskan amarahmu, lalu, lekaslah membaik," ucap Rossi dan Rossi pun segera terduduk di lantai.

Ia menangis dan terus menatap ke arah Darren yang sudah tidak terlihat.

Sementara Darren, ia melepaskan jam tangannya, lalu, meletakkannya di nakas begitu saja, dengan raut wajah yang tak bersahabat, Darren melepaskan kancing kemejanya dan entah kenapa kancing kemeja itu tiba-tiba saja menjadi sulit untuk dilepaskan dan itu semakin membuat Darren menjadi jengkel.

Dengan rahang yang mengeras, Darren membuka kemeja itu begitu saja tanpa melepaskan kancingnya dan tentu saja, kancing-kancing kemeja terlepas dan Darren segera melemparkan kemejanya itu ke keranjang pakaian kotornya.

Malam ini, Darren kembali tidak dapat memejamkan matanya dan ia memilih untuk ke ruang olahraga, di sana, Darren yang sedang berjalan di atas treadmillnya itu membayangkan wajah Jeje.

"Je, sungguh aku tidak ada niat untuk menyakitimu, aku tidak tau dia akan kembali," ucap Darren.

Lalu, bayangan wajah Rossi yang baru saja menangis itu muncul dan Darren bertanya pada dirinya sendiri. "Maumu apa Ross? Kenapa susah sekali menebak isi hatimu, sesuka hatimu pergi, hilang tanpa kabar dan sekarang kamu kembali, kamu benar-benar gadis yang ajaib," ucapnya.

****

Dan malam ini bukan hanya Darren yang tak dapat memejamkan mata, ada Jeje dan juga Rossi yang sama-sama sedang menangis di kamarnya.

esok harinya, Jeje yang sedang menyiapkan sarapan itu ditatap oleh Ayahnya.

Ia melihat mata sembab putrinya dan menanyakan apa penyebabnya.

"Kenapa kamu menangis? Apakah Darren?"

Mendengar itu, Jeje yang sedang menuang tumisan jamur ke piring itu menjawab kalau dirinya sangat merindukan Ibunya.

"Je rindu Ibu, Yah."

"Iya, kita harus mengunjunginya," jawab Ayah Jeje dan Jeje mengangguk.

Lalu, air mata lolos begitu saja saat dirinya menyembunyikan luka hatinya sendiri.

Melihat itu, Somat pun tak percaya kalau Jeje menangis karena merindukan Ibunya.

Setelah itu, semua orang sarapan tanpa bersuara, selesai sarapan Jeje segera mencuci piring-piring kotor itu dan karena Jeje sedang sedih, rumah itu terasa sepi karena jantung hati rumah tersebut sedang tidak baik-baik saja.

Selesai dengan itu, Jeje yang sama sekali tidak mendapatkan pesan dari Darren pun berinisiatif untuk ke rumahnya.

Sesampainya di sana, bibi memberitahu kalau Darren belum keluar dari kamar dan Jeje yang sama sekali tidak berani masuk ke kamar itu memilih untuk menunggu di ruang tengah.

Dan sudah cukup lama bagi Jeje untuk menunggu, tetapi yang ditunggunya itu tak juga datang.

Dengan perasaan yang tak menentu, Jeje pun bangun dari duduk, ia pergi dari rumah Darren tanpa pamit, Jeje yang keluar dan menutup pintu itu kembali meneteskan air matanya.

"Kenapa aku merasa bodoh sekali," kata Jeje dan Jeje pun segera pergi, tanpa Jeje tau kalau sebenarnya ada yang sedang memperhatikan.

Siapakah dia?

Bersambung..

Dukung authornya, ya. Dengan like dan komen, jangan lupa difavoritkan juga, ya.

Yang baik hati boleh kasih bintang lima dan vote/giftnya. Terima kasih yang sudah mendukung.