Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Perasaan yg tumbuh
Salon mewah itu berdiri megah di sudut pusat kota, dengan dinding kaca besar, lampu-lampu kristal yang menggantung anggun, dan aroma wangi mahal yang langsung tercium begitu pintu terbuka. Semua orang di sana berpakaian mewah dan berbicara dengan nada lembut, tempat para sosialita menghabiskan waktu seharian.
Mobil Narendra berhenti tepat di depan pintu masuk.
Ia mematikan mesin, lalu bergegas turun sebelum petugas vallet sempat mendekat. Dengan cekatan dan tanpa ragu, ia membuka pintu sisi penumpang.
“Pelan-pelan,” ucap Narendra dengan suara tenang.
Veronica menyodorkan tangannya. Gerakan itu elegan, sangat terlatih, seakan ia memang selalu mendapatkan perlakuan seperti ini.
Narendra meraih tangan itu, menopangnya ketika ia bergeser dari kursi mobil ke kursi roda dengan hati-hati. Veronica tampak memerhatikan wajah Narendra, mencari sesuatu yang tidak ia pahami.
“Kamu seperti tidak ada semangat hari ini,” gumam Veronica, nadanya lembut tapi mengandung tanya.
“Aku hanya kurang tidur,” jawab Narendra singkat sambil mengunci posisi kursi roda.
Veronica tidak membalas. Ia hanya mengangguk, lalu menghela napas seolah menerima jawaban itu meski matanya masih penuh rasa ingin tahu.
Narendra mendorong kursi roda istrinya memasuki salon.
Begitu mereka masuk, beberapa pelanggan langsung melirik, beberapa kenal Veronica sebagai istri CEO perusahaan besar, beberapa lagi hanya terpukau pada kecantikan dan auranya yang elegan.
“Selamat datang, Bu Veronica!”
Sambut seorang resepsionis dengan senyum besar.
“Treatment seperti biasa?”
“Ya.” Veronica tersenyum kecil. “Dan suami saya akan menunggu di sini.”
Narendra berdiri di belakang kursi Veronica, diam, tenang, menjalankan perannya seperti biasa.
“Boleh saya dorong masuk, Pak?” tanya salah satu staff salon.
Tapi Veronica menoleh cepat, menolak tanpa perlu banyak kata.
“Tidak perlu. Biar Suamiku saja.”
Narendra mengangguk sopan pada staff itu, lalu kembali mendorong kursi Veronica masuk ke ruangan VIP salon.
Gerakan tangan Narendra begitu telaten, perlahan, hati-hati, seolah ia sudah melakukan hal ini seribu kali. Dan memang begitu adanya.
Namun kali ini…
di balik ketelatenan itu, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.
Ia memikirkan wajah Livia yang demam.
Napasnya yang melemah.
Dan bagaimana perasaannya yang aneh itu muncul, rasa yang tidak pernah ia rasakan saat bersama Veronica.
Sesaat, langkah Narendra terhenti tanpa sengaja.
“Kenapa?” tanya Veronica pelan.
“Tidak,” ucap Narendra cepat. Ia kembali mendorongnya. “Tidak apa-apa.”
Tapi Veronica tahu.
Ada yang berubah dari suaminya.
Dan meski ia belum tahu apa…
ia merasakannya dengan sangat jelas.
Narendra duduk di ruang tunggu salon, ruangan yang terlalu wangi, terlalu terang, dan terlalu tenang baginya. Kursi-kursinya empuk, desainnya modern, tapi tidak memberi kenyamanan. Baginya semua terasa seperti dekorasi kosong tanpa jiwa.
Di tangannya, ada segelas infused water yang disodorkan oleh resepsionis.
Ia hanya memutarnya tanpa meminumnya.
Veronica akan berada di dalam paling cepat dua jam.
Kadang tiga.
Kadang lebih.
Narendra sudah terbiasa dengan itu.
Ia sudah menunggu Veronica di tempat ini puluhan kali sebelumnya.
Tapi hari ini… rasanya berbeda.
Ia memandang kosong ke arah pintu ruangan VIP tempat istrinya melakukan perawatan.
Dan... Hatinya tidak berada di sini.
Dari sudut lain, tampak beberapa sosialita berbicara pelan sambil meliriknya, mungkin mengenal wajahnya sebagai CEO muda yang menggantikan ayahnya. Tapi Narendra mengabaikan semua tatapan itu.
Ia mencondongkan tubuh, menyandarkan kepala ke kursi sambil mengembuskan napas panjang.
Livia.
Nama itu berputar-putar di kepalanya.
Bayangan gadis itu—wajah lelahnya, tubuh demamnya yang bersandar pada sofa, kulitnya yang panas saat Narendra memegangnya, dan… gambar indah di tubuhnya itu.
Narendra menegakkan badan, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Ia tahu ia tidak seharusnya memikirkan itu.
“Pak Narendra, apakah Anda ingin kopi? Atau makanan ringan ?”
Seorang staff menghampirinya dengan sopan.
Narendra menggeleng. “Tidak perlu. Terima kasih.”
Staff itu pergi, dan Narendra kembali terjebak dalam keheningannya sendiri.
Ia mengarahkan pandangan ke jendela besar kaca salon.
Hujan semalam meninggalkan genangan kecil di pinggir jalan, dan matahari pagi memantulkan cahaya halus.
Narendra tiba-tiba merasakan dorongan kuat untuk menelepon Livia, untuk sekedar memastikan bagaimana kondisi gadis itu hari ini. Mungkin ia sudah lebih baik. Mungkin ia butuh sesuatu.
Namun jari-jarinya berhenti di udara.
Dia bukan siapa-siapanya.
Suaranya sendiri bergema di kepalanya.
Narendra menggenggam kedua tangannya, menahan sesuatu yang tidak semestinya tumbuh.
Di balik pintu ruangan perawatan, suara secukupnya terdengar, suara hairdryer, tawa tipis para stylist, dan segala instruksi kegiatan mereka.
Di sini, waktu berjalan lambat.
Terlalu lambat.
Narendra menatap jam di dinding.
Baru berjalan tiga puluh menit.
Masih ada satu setengah jam lagi. Atau lebih.
Ia menutup mata, menyerah pada kebosanan…
dan membiarkan pikirannya kembali melayang.
Kembali pada gadis dengan tatapan kosong namun penuh cerita itu—
Livia.
Narendra sempat menajamkan telinga ketika suara berat seorang pria terdengar dari ruang kecil di samping ruang tunggu, tempat khusus untuk layanan tattoo premium.
“Eh, Livia, akhirnya gue bisa lihat lo lagi, udah lama banget lo nggak kesini, gila... makin cantik aja.”
Nama itu membuat Narendra reflek menoleh.
Livia.
Ia duduk tegak, matanya otomatis mencari sumber suara.
Dan benar saja—di pintu ruang tato yang terbuka lebar, Livia berdiri disana.
Rambutnya digulung asal, ia hanya memakai baju tanpa lengan, menampilkan bahunya yang tergambar indah, wajahnya tanpa makeup, tapi tetap mencuri perhatian.
Berbeda dari penampilannya di kantor yang selalu rapi, sopan dan elegan…
Hari ini Livia tampak seperti dirinya yang sebenarnya.
Narendra terpaku.
Livia tidak melihatnya. Ia sibuk berbicara dengan laki-laki bertubuh tegap yang lengan keduanya penuh tato rumit, tampaknya artis tato itu sudah lama mengenalnya.
“Gue sibuk, baru sempat mampir kesini, Willy, dan gue mau bikin tato baru disini.” kata Livia sambil menunjukkan pergelangan tangannya.
Narendra melihat jelas gerakan itu walau jarak memisahkan mereka.
Bekas memar di bawah kulit yang memucat…
dan Livia ingin menutupinya dengan tato.
Lagi.
Pria bertato itu mengernyit prihatin.
“Liv… ini kebanyakan. Lo makin penuh aja gambar di badannya.”
Livia tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan di kantor.
“Seni, Bang. Biar nggak keliatan jeleknya.”
“Seni apaan, Liv? Ini nandain luka lagi, ya?”
Nada prianya melembut.
Livia mengalihkan pandangan, sebentar saja, tapi cukup menunjukkan jawaban yang ia tutupi.
Narendra menelan napas pelan.
Ada sesuatu yang mengencang di dadanya; sesuatu yang tidak pantas ia rasakan.
Salon makin ramai, tapi Narendra seperti kehilangan suara di sekelilingnya.
Matanya tertuju pada Livia terus.
Livia masuk ke ruangan tato, duduk santai seperti tempat itu sudah sangat biasa baginya. Pria bertato itu menyiapkan alat, sarung tangan, stencil desain kecil berbentuk gambar bunga yang Livia pilih berwarna merah gelap.
“Mawar lagi?” tanya prianya sambil tersenyum miring.
“Hmm.”
Livia mengangguk.
“Biar sama kayak yang di punggung.”
Degup jantung Narendra seketika berubah ritmenya.
Ia baru mengetahui satu hal penting hari ini:
Livia menutup semua luka lamanya dengan gambar bunga mawar.
Dan jumlah bunga mawar itu… banyak.
Sangat banyak.
Livia merebahkan sedikit tangannya di meja, mempersiapkan diri untuk rasa sakit yang sebentar lagi datang.
Ia tampak tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang akan kembali melukai kulitnya.
Narendra tidak bisa berpaling.
Bahkan ketika Veronica memanggil namanya dari dalam ruangan perawatan…
Narendra tidak langsung menjawab.
Narendra baru saja berdiri, ia nyaris tanpa sadar, begitu melihat jarum tato menyentuh kulit pergelangan tangan Livia. Dorongan untuk menghampirinya datang begitu kuat, seolah langkahnya bergerak sendiri.
Ia ingin melihat lebih dekat.
Ingin memastikan Livia baik-baik saja.
Ingin… sesuatu yang bahkan ia sendiri tak berani sebutkan.
Namun baru dua langkah ia maju—
“Pak Narendra?”
Seorang pegawai salon berdiri tepat di depan jalannya sambil membungkuk sopan.
Narendra berhenti mendadak.
“Maaf mengganggu, tapi Ibu Veronica sudah selesai perawatan dan menunggu Anda di ruang VIP.”
Narendra memejamkan mata sepersekian detik.
Sial.
Waktunya terlalu cepat.
“Baik,” jawabnya, mencoba terdengar tenang.
“Tolong ikuti saya, Pak.”
Narendra menoleh sekali lagi ke arah ruangan tato.
Pintu kaca itu kini tertutup separuh, namun ia masih bisa melihat Livia dari celahnya, duduk diam, lengan kirinya terulur, wajahnya tenang tapi matanya kosong.
Narendra ingin menghampirinya.
Ingin menanyakan apa ia baik-baik saja.
Ingin meminta Livia berhenti menyakiti dirinya sendiri.
Tapi ia tidak punya hak.
Tidak pada saat ini.
Tidak pada posisi yang ia miliki.
Ia menundukkan kepala tipis pada pegawai itu dan melangkah pergi.
Setiap langkah terasa berat.
Saat ia melewati ruangan tato, Livia tidak melihatnya, dan mungkin itu lebih baik.
Pintu VIP terbuka, memperlihatkan Veronica yang duduk anggun di kursi roda, rambutnya tertata rapi setelah perawatan mahal.
“Sayang, kamu lama sekali,” keluh Veronica manja.
Narendra menoleh sebentar ke arah Livia, yang kini tak terlihat lagi.
Ia memaksa tersenyum pada istrinya.
“Maaf. Ayo pulang.”
Tapi di dalam hati, ia tahu—
yang tertinggal di ruangan sebelah bukan sekadar tato baru.
Melainkan perasaan yang perlahan tumbuh di waktu dan tempat yang seharusnya tidak mungkin.
...🌹...
...🌹...
...🌹...
...Bersambung......
lanjut dong🙏🙏🙏