NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 Alasan yang Terlalu Profesional

Malam turun perlahan di kota Surabaya. Bukan malam yang gelap — justru penuh cahaya dari gedung-gedung tinggi yang berbaris seperti lautan bintang buatan manusia. Di jalanan, lampu kendaraan memantul di aspal basah sisa hujan sore, membentuk garis-garis cahaya yang memanjang, berlari ke arah horizon.

Angin malam membawa aroma khas kota besar: campuran aspal, bunga yang mekar di taman, dan samar-samar aroma laut yang terbawa angin utara.

Di langit, bulan sabit tergantung tenang — tidak terlalu terang, tetapi cukup untuk membuat setiap bayangan terasa hidup. Kota ini, di jam seperti ini, seperti menenangkan diri setelah hari yang panjang.

Namun, bagi dua orang di dua tempat berbeda… ketenangan itu justru membuat semuanya terasa terlalu sunyi.

Di lantai tiga puluh satu Arjuno Grand Hotel, Bhumi berdiri di balkon penthouse-nya. Udara malam berhembus lembut menerpa wajahnya, menyingkap sedikit rambutnya yang mulai lepas dari tatanan rapi. Di tangannya, segelas teh melati hangat mengepul perlahan, aromanya lembut dan familier.

dia menatap ke arah kota yang berkilau di bawah sana — lampu-lampu gedung tinggi, jalanan, dan titik-titik kendaraan yang terlihat kecil dari ketinggian. Pemandangan yang seharusnya memberi ketenangan.

tetapi malam ini… justru terasa aneh.

Pikirannya tak benar-benar di sini. Bukan pada laporan bisnis di meja kerja, bukan pada proyek ekspansi resor barunya di Banyuwangi, melainkan pada seseorang — dengan suara lembut tetapi tegas, yang entah mengapa masih terdengar jelas di kepalanya.

“Kadang, makin tinggi posisi seseorang, makin sempit ruang untuk jadi diri sendiri.”

Kalimat itu bergema pelan di benaknya, seolah baru saja diucapkan beberapa menit lalu, bukan beberapa jam yang sudah lewat. Dan tanpa bisa dijelaskan, Bhumi merasakan sesuatu yang tak biasa — perasaan hangat yang tenang tetapi membuat dadanya bergetar halus.

dia menghela napas panjang, menatap bulan sabit di langit.

“mengapa bayang kamu gak bisa keluar dari kepala saya?” gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada udara.

Angin berhembus lebih lembut kali ini, membawa aroma teh dan sesuatu yang samar — mungkin kenangan dari siang tadi, atau bayangan wajah yang tersenyum di bawah cahaya jendela restoran.

**

Sementara itu, beberapa kilometer dari sana, di apartemen sederhana di tengah kota, Rembulan berdiri di balkon kamarnya. Angin malam mengibaskan helai rambutnya yang bergelombang, dan di tangannya ada mug berisi cokelat panas yang belum disentuh.

Lampu-lampu kota terlihat sama seperti dari balkon Bhumi — berkilau, ramai, tetapi terasa jauh. Bulan bersandar di pagar balkon, menatap ke langit yang sama.

Hari ini terlalu panjang. Penuh pertemuan, percakapan, dan… sesuatu yang sulit didefinisikan.

dia mencoba mengalihkan pikirannya, tetapi setiap kali menutup mata, yang muncul bukan layar laptop, bukan angka-angka data atau codingan, melainkan tatapan seseorang — tenang, dalam, dan entah mengapa… selalu menenangkan.

dia mengingat cara pria itu menatapnya di tengah ruangan restoran, cara suaranya terdengar tenang ketika berbicara, dan bahkan cara dia tersenyum samar — senyum yang begitu singkat tetapi terlalu mudah diingat.

“malah ngebayangin orang itu sihh?” dia mengucapkannya pelan, setengah mendesah, sambil menatap bulan sabit yang sama di atas sana.

Angin malam kembali berembus, membawa udara dingin ke kulitnya. tetapi di dadanya, ada sesuatu yang tetap hangat. Sesuatu yang dia tahu bukan karena cokelat panas di tangannya — melainkan karena seseorang yang tanpa sadar sudah menempati ruang kecil dalam pikirannya.

Dua orang. Dua tempat berbeda. Dua hati yang sama-sama diam, tetapi tak benar-benar tenang.

Dan di bawah langit Surabaya yang sama, bulan sabit itu seakan tersenyum lembut — seolah tahu bahwa mulai malam ini, dua nama itu — Bhumi dan Bulan — sudah saling menatap, meski dari kejauhan.

**

Pagi datang dengan lembut. Cahaya matahari terlihat masuk menembus tirai jendela tinggi, menyinari ruangan dengan warna keemasan yang hangat. Langit biru muda terlihat dari balik kaca gedung Arjuno Grand Hotel, dan udara di lantai tiga puluh terasa segar, berkat aroma teh melati yang baru diseduh oleh Arsen — seperti biasa, sebelum Bhumi memulai harinya.

Namun pagi ini, ada yang berbeda. Arsen memperhatikan atasannya dari meja seberang dengan tatapan penuh analisis.

Biasanya Bhumi akan langsung membuka laptop, membaca laporan, atau menandatangani berkas-berkas penting. tetapi kali ini… pria itu hanya duduk di kursinya selama hampir lima menit, menatap ponsel di tangannya.

“Pak Bhumi?” panggil Arsen pelan.

“Hm?”

“Email yang saya kirim sudah dibaca?”

“Belum.”

Arsen menahan tawa kecil. “Bapak kayak lagi nunggu email penting?”

Bhumi mendongak, ekspresinya tetap datar. “Bukan. Saya cuma… memastikan jadwal meeting siang.”

“Meeting sama siapa, Pak?”

“Masih tentatif,” jawab Bhumi cepat.

Arsen mengangkat satu alis. “Tentatif? Atau belum dijadwalkan karena belum dikirim undangannya, Pak?”

Bhumi menatapnya datar. “Arsen.”

“Ya, Pak?”

“Kalau kamu masih lanjut, saya bisa ganti teh kamu jadi kopi tanpa gula.”

Arsen langsung tegap. “Baik, Pak.”

tetapi detik berikutnya, saat Bhumi menunduk dan mulai mengetik sesuatu di ponselnya, Arsen sempat menangkap sekilas nama kontak di layar itu:

Rembulan Adreyna.

Senyum kecil muncul di wajah Arsen — tidak jahat, tetapi geli. dia meneguk teh-nya perlahan, berpikir:

“Akhirnya, Mr. Kulkas 12 pintu punya thermostat juga.”

**

Di sisi lain kota, di kantor PT Global Teknologi, suasananya sudah mulai ramai. Suara tawa dari pantry lantai lima bercampur dengan aroma kopi, dan di ruang kerja utama, Bulan sedang fokus membaca laporan sistem.

Rambutnya diikat rendah hari ini, dan di meja kerjanya ada setumpuk kertas hasil monitoring semalam.

“Gue beneran salut sama stamina lo, Bul,” suara Liora terdengar dari sofa, sambil menggigit roti. “Abis kerja segila itu, lo masih sempat buka laporan pagi ini?”

“Harus,” jawab Bulan tanpa angkat kepala. “Kalau gak, gue gak bisa fokus ngerjain pembaruan data user Arjuno.”

“Arjuno,” ulang Liora pelan, lalu menatap Bulan dengan mata menyipit.

“Kenapa mata lo kaya gitu?” tanya Bulan, sadar akan intonasinya.

“Gak apa-apa. Cuma heran saja... akhir-akhir ini nama ‘Arjuno’ kayak jadi kata favorit lo.”

“Li—”

“Bulan,” potong Liora cepat, masih dengan nada menggoda.

“Gue ngerti perasaan orang yang berusaha keliatan tenang padahal hatinya... sudah diambil sama satu laki laki dingin juga tampan rupawan.”

“Dia cuma klien, Li.”

“Uh-huh. Klien yang ngajak lo makan siang di restoran paling romantis di Surabaya.”

“Itu fine dining, bukan restoran romantis.”

“Tempatnya tenang, lampunya hangat, dan pemandangannya bagus. Bulan. Itu. Bukan. Rapat Kerja.”

Bulan akhirnya tertawa pelan sambil menutup laptopnya. “Lo bener-bener gak bisa diem, ya?”

“Gue bisa diem kok,” jawab Liora cepat, “asal lo ngaku dahulu kalau mulai ada bunga-bunga asmara di hati dan pikiran lo.”

Bulan hanya menggeleng, menatap keluar jendela. “Gue cuma... kagum, Li. Dia punya sisi yang gak semua orang liat.”

Liora langsung mencondongkan tubuh, ekspresinya berubah lembut. “Nah, itu. Kagum. Itu kata pertama sebelum ‘suka’ muncul, Bul.”

Bulan terdiam. dia tak membantah — tetapi juga tak mengiyakan. Karena dalam diamnya, dia tahu: ada kebenaran kecil di balik kalimat Liora barusan.

Ponselnya tiba-tiba bergetar di meja. Satu pesan baru masuk.

Bhumi Jayendra:

Selamat pagi, Rembulan.

Saya ingin menindaklanjuti laporan evaluasi sistem yang Anda buat.

Apakah Anda punya waktu untuk membahasnya siang ini?

Bulan membaca pesan itu dua kali, mungkin tiga. Ia tak percaya akan penglihatannya hingga ia mengerjapakan matanya berkali kali. ‘ketemuan lagi?’ pikirannya langsung melayang dan akhirnya ia hanya bisa tersenyum kecil melihat isi chat itu.

Liora yang duduk di seberang langsung bereaksi seperti sensor radar manusia.

“Siapa tuh?”

“Klien.”

“Klien yang sama?”

“Liora.”

“Oke, gak nanya lagi.”

tetapi ekspresinya sudah cukup untuk menjawab semuanya.

Bulan mengetik balasan dengan hati-hati:

Rembulan Adreyna:

Selamat pagi, Pak Bhumi.

Tentu, saya bisa. Jam berapa Anda ingin bertemu?

Balasan datang cepat.

Bhumi Jayendra:

Pukul 13.00. Tempat sama seperti kemarin.

Bulan menatap layar itu agak lama, sebelum menekan lock screen pelan. Liora hanya menatapnya dari seberang meja, sambil mengangkat satu alis.

“di mana?”

“Fine dining.”

“Fine dining dua hari berturut-turut?”

Bulan akhirnya tertawa kecil, menunduk sambil menutup wajahnya.

“Gue nyerah, Li. Gue gak punya pembelaan untuk itu.”

Liora tertawa lepas melihat tingkah Bulan yang seperti orang yang ketahuan mencuri. Wajahnya masih ditutupi oleh tangannya tapi kedua telinganya terlihat merah padam, ini berarti Bulan sedang ditahap malu dan gak tahu harus berbuat apa.

Beberapa menit setelah pesan dari Bhumi terkirim dan dibalas, Liora masih duduk di kursinya sambil menggulir layar ponsel, tiba-tiba matanya berbinar.

“Eh, Bul!” serunya tiba-tiba.

Bulan yang lagi nyusun laporan terkejut kecil. “Apa?”

“Lo inget gak minggu kemarin gue bilang ingin pulang ke Malang buat jenguk orang tua gue?”

Bulan menatapnya, mengangguk pelan. “Inget. Why?”

“Gue berangkat Jumat sore besok. Kayaknya udah waktunya gue nongol di rumah sebelum nyokap mikir anak perempuannya lupa jalan pulang.”

Bulan tertawa kecil. “Nyokap lo udah hafal gaya lo, Li.”

Liora meringis manja. “Justru itu. Makanya gue mau ngajak lo ikut. Sekalian refreshing, liat kebun belakang rumah gue yang sekarang lagi penuh bunga mawar.”

Bulan mendongak dari layar laptop. “Naik apa?”

“Kereta. Gue males nyetir.”

“Hmm…” Bulan berpikir sebentar. Jadwal kerja memang agak padat, tetapi setelah dua minggu penuh lembur dan sistem digital yang akhirnya stabil, sepertinya sedikit udara pegunungan memang bukan ide buruk.

“Boleh deh,” jawabnya akhirnya, sambil tersenyum.

Liora langsung bersorak kecil. “Serius?! Akhirnya!”

“Iya, tetapi jangan lupa pesan tiketnya dari sekarang ya. Gue gak mau rebutan kursi sama anak-anak KKN.”

Liora tertawa sambil mengacungkan jempol. “Siap, Bu Bulan. Jumat sore, kita naik kereta bisnis kok jadi gak perlu rebutan kursi. Gue udah bisa bayangin perjalanan tiga jam penuh gosip dan makanan kereta yang... ya, you know.”

Bulan menggeleng pelan, tetapi bibirnya melengkung kecil. “Gue bisa prediksi, tiga jam itu bakal ramai banget karena lo gak bisa diem.”

Liora menatapnya dengan senyum lebar. “Persis. Dan lo bakal tetap dengerin kan? karena lo yang suka cara gue cerita.”

Bulan pura-pura mendesah. “Iya, iya. Sekalian gue siapin playlist buat perjalanan. Biar lo gak nyanyi.”

“Deal!” seru Liora senang.

Suasana di ruang kerja pun berubah hangat — dua sahabat yang terlalu sibuk dengan kerjaan, akhirnya sepakat memberi diri mereka sedikit ruang untuk bernapas.

**

Di waktu yang sama, di ruang kantor Bhumi, suasana terasa tenang namun penuh tekanan khas lantai eksekutif. Cahaya matahari pagi menembus kaca besar setinggi langit-langit, memantulkan kilau lembut ke lantai marmer dan meja kerja berlapis kayu hitam mengilap.

Mesin pendingin ruangan berdengung halus, nyaris tak terdengar. Di sudut ruangan, rak buku setinggi dua meter berdiri rapi, dipenuhi dokumen bisnis, jurnal teknologi, dan beberapa buku manajemen dengan sampul keras. Meja kerja Bhumi sendiri teratur sempurna—hanya ada laptop, dua berkas yang terbuka, dan secangkir kopi hitam yang uapnya masih tipis.

Arsen berdiri di depan pintu yang baru saja ia tutup perlahan, memegang satu bundel tebal berisi laporan terbaru. Penampilannya rapi seperti biasa: kemeja putih tergulung di lengan, dasi dilonggarkan sedikit, wajahnya serius tapi tetap sopan.

Ia menunggu beberapa detik sebelum melangkah lebih dekat. Di balik meja besar itu, Bhumi duduk tegap, matanya fokus pada laporan keuangan yang terbuka di layar laptopnya. Alisnya sedikit mengerut, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja—tanda bahwa ia sedang membaca angka-angka penting dengan konsentrasi penuh.

Lampu gantung minimalis di atas kepala mereka menyinari ruangan dengan cahaya kuning keemasan, menambah kesan hangat di tengah formalitas yang kaku.

Arsen menarik napas kecil, lalu berkata dengan nada hati-hati namun profesional,

“Pak Bhumi, ini laporan tambahan dari departemen finansial yang Bapak minta tadi pagi.”

Bhumi mengangkat kepala pelan, tatapannya dalam dan tajam seperti biasa, sebelum akhirnya fokus pada berkas yang disodorkan Arsen.

“Pak, rapat dengan tim pemasaran udah dijadwalkan jam dua belas. tetapi Bapak bikin janji lain jam satu, ya?”

Bhumi menandatangani dokumen tanpa menoleh. “Ya, itu lebih prioritas.”

“Prioritas perusahaan?”

“Bisa dibilang.”

Arsen mengangguk pelan, menyembunyikan senyumnya. “Kalau begitu, saya siapkan mobil, Pak.”

“Tidak usah. Saya nyetir sendiri.”

“Sendiri?”

“Ya.”

Setelah selesai dengan dokumen yang diantar Arsen, Bhumi mulai membereskan berkas dokumen yang sudah ia tanda tangani disisi kanan mejanya.

“Beneran Pak, mau nyetir sendiri?” tanya Arsen lagi kepada Bhumi

Bhumi yang terlihat sedang mengetik sesuatu di ponselnya, menengok sebentar kearah Arsen “Harus saya ulang kalo saya mau nyetir sendiri” ucapnya datar.

Mungkin bagi untuk orang awam ucapan dan tatapan Bhumi bisa dikatakan menakutkan serta bisa membuat nyali orang yang melihatnya langsung menciut seketika. Tapi tidak bagi Arsen, hampir delapan tahun ia mengikuti bosnya itu, segala macam mood yang keluar dari bosnya itu ia sudah kebal jadi tidak ada kata BAPER didalam kamusnya.

“Tidak Pak, saya mengerti” Jawab Arsen cepat, takut mood bosnya itu berubah.

Arsen menatap punggung Bhumi yang kini sedang menyimpan ponsel di saku jasnya. Dan untuk pertama kalinya sejak jadi asistennya, dia benar-benar yakin — Bos dinginnya itu sedang jatuh pelan-pelan, dan bahkan dia sendiri belum sadar seberapa dalam.

*

Beberapa Jam setelahnya Bhumi baru saja menutup laptopnya setelah rapat singkat dengan tim keuangan. Arsen masuk membawa dokumen baru, wajahnya seperti biasa tenang tetapi penuh tanya.

“Pak Bhumi, ada yang bisa saya bantu untuk jadwal akhir minggu?”

Bhumi menatap kalender di mejanya, diam sebentar.

“Siapkan tiket kereta ke Malang untuk Jumat sore.”

Arsen berhenti menulis. “Ke Malang, Pak?”

“Iya.”

“Sendirian?”

Bhumi menatapnya dengan ekspresi datar tetapi dalam. “Kamu pikir saya butuh rombongan buat pulang ke rumah sendiri?”

Arsen menahan tawa. “Enggak, Pak. Maksud saya… ya, siapa tahu ada agenda tambahan.”

“Agenda saya cuma satu: pulang ke rumah,” jawab Bhumi singkat.

Namun, setelah beberapa detik, dia menambahkan, “Dan siapkan juga mobil jemputan di Stasiun Malang. Saya akan langsung ke Lawang.”

Arsen mencatat cepat, tetapi tidak bisa menahan komentar pelan. “Lawang, ya… udara di sana pasti sejuk, Pak.”

Bhumi hanya menatap jendela, senyum samar terselip di wajahnya. “Iya. Sudah lama saya gak hirup udara itu.”

Arsen mengangguk, lalu keluar ruangan. Begitu pintu menutup, Bhumi menatap kalender di mejanya sekali lagi — hari Jumat.

**

Siangnya, langit Surabaya berwarna biru muda tanpa awan. Udara hangat, tetapi tidak terlalu terik, dan sinar matahari menembus kaca restoran Étoile dengan lembut, membuat bayangan dedaunan taman vertikal di luar menari di lantai marmer berwarna gading.

Restoran itu tampak sama seperti kemarin — tenang, elegan, namun entah mengapa terasa berbeda hari ini. Mungkin karena meja di dekat jendela besar itu kini menyimpan sesuatu yang tak terlihat:

sebuah kenyamanan samar antara dua orang yang sebelumnya saling jaga jarak.

Bhumi sudah tiba lebih dahulu. Kemeja putihnya digulung sampai siku, tanpa jas hari ini — terlihat sedikit lebih santai dari biasanya, tetapi tetap dengan aura yang tak bisa disembunyikan. dia duduk di kursi yang sama, memandangi taman di luar sambil menunggu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, menunggu terasa... tidak mengganggu.

Ketika pintu kaca terbuka, langkah pelan terdengar di lantai. Bulan masuk — kali ini mengenakan blouse ivory lembut dan trousers abu muda, rambutnya diikat setengah ke belakang, menyisakan beberapa helai yang menutup wajahnya. dia terlihat segar, tetapi tetap profesional.

Bhumi berdiri, senyum kecil muncul di ujung bibirnya tanpa dia sadari.

“Selamat siang, Bu Rembulan.”

“Selamat siang, Pak Bhumi.”

Nada suaranya ringan, tetapi cukup untuk membuat udara di antara mereka berubah pelan-pelan.

Pelayan datang menawarkan menu. Mereka memilih cepat, karena sepertinya keduanya lebih fokus pada percakapan yang belum dimulai daripada pada makanannya sendiri.

“Jadi,” ucap Bhumi membuka topik, “bagaimana perkembangan sistem lapis tiga-nya?”

“Sudah berjalan 80%, Pak,” jawab Bulan, membuka file di tabletnya. “Kami sudah perbaiki firewall dan jalur port, serta pasang pengamanan tambahan untuk data tamu. Mungkin dua hari lagi sistem bisa dioperasikan penuh.”

“Cepat sekali,” kata Bhumi, menatapnya. “Biasanya tim IT butuh seminggu.”

Bulan mengangkat bahu kecil. “Kami terbiasa kerja di bawah tekanan.”

“Dan Anda tampak menikmatinya,” balas Bhumi pelan.

Bulan tersenyum kecil. “Mungkin karena saya tahu kalau panik itu tidak akan membantu.”

Bhumi menatapnya beberapa detik sebelum berkata, “Saya rasa itu alasan mengapa kemarin semua orang terlihat tenang hanya dengan melihat Anda di depan layar.”

Bulan menunduk sebentar, menahan tawa kecil. “Pak Bhumi bisa saja.”

“Itu bukan pujian,” jawab Bhumi tenang, “itu fakta.”

Makanan mereka datang. Bulan mengambil sop krim jamur, sementara Bhumi memesan pasta truffle dan kopi hitam. Aroma butter dan truffle memenuhi udara, hangat, menenangkan.

“Boleh saya tanya sesuatu?” kata Bhumi pelan.

“Tentu,” jawab Bulan.

Bhumi memutar sendoknya di piring. “mengapa Anda memilih bidang ini? Dunia IT bukan dunia yang... ramah buat banyak orang, terutama perempuan.”

Pertanyaan itu sederhana, tetapi nadanya dalam. Bulan berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil.

“Karena saya suka memecahkan sesuatu yang rumit. Dan di dunia IT, bahkan kekacauan pun bisa diatur ulang kalau kita tahu di mana letak kodenya.”

Bhumi menatapnya diam-diam. “Jadi Anda suka memperbaiki kekacauan?”

“Kalau bisa, iya.”

“Termasuk kekacauan yang bukan digital?”

Bulan menatapnya, sedikit terkejut dengan nada kalimat itu. Mereka berdua tertawa kecil — bukan karena lucu, tetapi karena suasananya mulai terlalu jujur untuk disebut formal.

Sampai pada satu momen, seorang pria berjas biru mendekati meja mereka.

“Bu Rembulan?” suaranya ramah. “Kita pernah bertemu di acara Digital Tech Forum, kan? Saya Rendra — dari Vistar Systems.”

Bulan bangkit sopan, berjabat tangan. “Oh iya, Pak Rendra. Senang bertemu lagi.”

Rendra menatapnya dengan kagum yang terlalu jelas. “Wah, saya hampir gak ngenalin Anda. Masih di Global, ya?”

“Masih,” jawab Bulan dengan senyum profesional.

Bhumi yang duduk diam sejak tadi menatap interaksi itu — tidak dengan cemburu, tetapi dengan tatapan tenang yang dalam, seolah sedang mengukur jarak yang tiba-tiba terasa terlalu dekat antara mereka.

Rendra melirik sekilas ke arah Bhumi dan langsung berubah kaku “Oh— maaf, saya ganggu ya. Selamat siang, Pak Bhumi.”

Bhumi hanya mengangguk, tetapi suaranya datar dan cukup untuk membuat udara di meja menegang sedikit. “Tidak apa-apa. Silakan lanjutkan.”

Namun nada yang ditangkap telinga Rendra berbeda, ada nada intimidasi yang tak terlihat disana yang seakan akan menyuruhnya untuk cepat cepat pergi dari sana.

“Eh, saya permisi dahulu, Bu Rembulan,” ucap Rendra buru-buru, dan segera pergi betrlalu dari reatoran itu.

Bulan kembali duduk, menatap Bhumi yang kini menyesap kopinya perlahan.

“Pak Bhumi,” ucapnya pelan, “itu tadi—”

“Saya tahu,” potong Bhumi dengan nada tenang tetapi jelas. “Dia hanya menyapa.”

“Lalu mengapa nadanya kayak... peringatan?”

Bhumi menatapnya, bibirnya menahan senyum samar. “Mungkin saya lupa cara terdengar ramah.”

“Atau mungkin,” balas Bulan cepat, “Anda memang gak suka ada yang nyapa saya?”

Entah dapat keberanian dari mana Bulan bisa dengan berani mengatakan kalimat itu, rasanya ia mau menyembunyikan wajahnya didalam serbet makan yang ada didepannya. Ia mulai menenangkan pikiran juga degup jantungnya. Bulan berdeham dua kali sebelum berani menatap Bhumi lagi.

Bhumi terlihat terdiam sebentar. Lalu, dengan nada datar yang terlalu lembut untuk dibantah, dia berkata,

“Mungkin.”

Bulan terkekeh, menunduk. “Gawat nih, Pak Bhumi mulai protektif.”

‘Aduh mulut gue~’gumannya dalam hati sambil menunduk dan memukul pelan bibirnya.

Bhumi menatapnya lebih lama kali ini, senyum kecil terlihat disudut bibirnya ketika ia melihat Bulan yang sedang memukul pelan bibirnya, ‘Imut’ ucapnya dalam hati.

“Bukan protektif,” katanya pelan. “Hanya... refleks.”

Refleks. Satu kata sederhana yang berhasil membuat Bulan kehilangan fokus pada supnya selama beberapa detik. Matanya sampat bertatapan dengan mata hitam Bhumi. Sedangkan Bhumi malah makin terjerat akan mata cokelat susu milik Bulan, terlihat jernih di mata Bhumi.

Mereka kembali berbicara, kali ini topiknya ringan — tentang kebiasaan kerja, perjalanan, bahkan hal-hal kecil seperti kopi favorit. Bulan bercerita bagaimana dia bisa menghabiskan malam di depan laptop hanya dengan teh dan playlist instrumental, sementara Bhumi diam-diam berpikir bahwa dia bisa mendengarkan cerita itu selama berjam-jam tanpa bosan.

Setiap kali Bulan tertawa, mata Bhumi melembut. Setiap kali Bhumi bicara, Bulan terdiam sedikit lebih lama dari seharusnya. Dan di antara sendok, tawa, dan tatapan yang kadang terlalu lama bertemu, ada sesuatu yang diam-diam mulai tumbuh — bukan besar, bukan cepat, tetapi pasti.

Ketika mereka keluar dari restoran sore itu, angin hangat menerpa wajah Bulan, membuat beberapa helai rambutnya terlepas dari ikatan. Bhumi berjalan di sampingnya, langkahnya pelan.

“Terima kasih untuk makan siangnya, Pak Bhumi,” katanya lembut.

“Terima kasih juga untuk waktunya, Bu Rembulan.”

dia menatapnya sekilas — tatapan yang singkat tetapi mengandung terlalu banyak hal untuk disebut sekadar sopan.

“Dan...” Bhumi menambahkan pelan, “kalau nanti ada proyek tambahan, saya akan langsung menghubungi Anda.”

“Melalui email?”

Bhumi menatapnya, senyum samar muncul di sudut bibirnya. “Mungkin lewat pesan.”

Bulan tersenyum, kali ini tak menahan diri. “Kalau begitu, saya tunggu... pesannya, Pak.”

**

tbc

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!