Lily, seorang mahasiswi berusia dua puluh tahun, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena satu malam yang penuh jebakan. Ia dijebak oleh temannya sendiri hingga membuatnya terpaksa menikah dengan David Angkasa Bagaskara- seorang CEO muda, tampan, namun terkenal dingin dan arogan.
Bagi David, pernikahan itu hanyalah bentuk tanggung jawab dan penebusan atas nama keluarga. Bagi Lily, pernikahan itu adalah mimpi buruk yang tak pernah ia minta. Setiap hari, ia harus berhadapan dengan pria yang menatapnya seolah dirinya adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, di balik sikap angkuh dan tatapan tajam David, Lily mulai menemukan sisi lain dari pria itu.
Apakah Lily mampu bertahan dalam rumah tangga tanpa cinta itu?
Ataukah perasaan mereka justru akan tumbuh seiring kebersamaan atau justru kandas karena ego masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diandra_Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Bermuka Dua
BRAAKKKK!!!
Pintu dibuka lalu dibanting dengan kasar hingga seseorang di dalamnya terhenyak kaget.
"LILY!!" teriak pria itu memanggilnya dengan kasar.
"Tu–ehm maksudku Mas David? Ka–kamu sudah pulang?" Lily yang tengah berbaring karena merasa tak enak badan itu bertanya dengan gugup. Setiap kali melihat wajah David, ia selalu saja merasa ketakutan.
"Ini semua gara-gara kamu, Sialan!!!" pekik David dengan luapan emosi yang tak terbendung lagi. Ia terus saja menganggap bahwa apa yang terjadi padanya kini adalah salahnya Lily.
"M–mas... ka–kamu mau apa?" Lily beringsut mundur. Wajahnya terlihat panik saat David mendekat dengan kilatan amarah dari netranya. Tatapan pria itu seolah ingin memakannya hidup-hidup.
"Kau pikir aku mau apa? Aku akan menghabisimu, Wanita Sialan! Kau adalah biang dari semua masalah ini!" sergah David seraya berjalan dengan cepat menuju ranjang. Ia tutup kembali pintu kamarnya lalu menyeringai ke arah Lily yang ketakutan itu.
"Mas, jangan... aku mohon." Lily menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Ia takut namun pasrah dengan apapun yang akan terjadi setelah ini. Mungkinkah ia akan mati konyol di tangan pria yang sudah sah menjadi suaminya itu?
BRUUKKKK.
Wanita itu terdiam. Masih dengan posisi wajah yang ditutup kedua telapak tangan. Suasana langsung sunyi setelah bunyi sesuatu yang ambruk itu.
Perlahan Lily membuka matanya. Ia menurunkan tangannya dan melihat sekeliling. Betapa terkejutnya ketika mendapati David yang kini tersungkur tepat di sisi ranjang.
"Mas David? Astaga... apa yang terjadi?"
Panik, Lily segera turun dari ranjang lalu menghampiriku David yang kini tak sadarkan diri dengan posisi terlengkup.
Beberapa saat yang lalu, pria itu hendak menyerang istrinya sendiri. Ia ingin meluapkan amarahnya saat ini pada Lily. Namun nahas, malah dirinya yang ambruk. Emosi yang berlebih juga tubuh yang sakit akibat dipukuli preman-preman itu membuatnya lemah. Ia pun akhirnya pingsan seketika.
"Mas? Mas, kamu kenapa? Duhh, kok malah pingsan sih?"
Lily menepuk-nepuk kedua pipi pria itu. Namun David tak juga mau bangun. Ia panik, namun tak berani mencari bantuan keluar kamar. Dirinya takut jika disangka yang tidak-tidak, apalagi ia belum kenal dan dekat dengan siapa pun yang ada di rumah ini.
"Huuft, menyusahkan sekali. Ini pasti gara-gara dia marah-marah terus. Makanya jangan suka marah-marah, jadi kualat kan."
Dasar Lily anak yang jahil dan manja, disaat seperti ini dirinya malah meledek suaminya sendiri. Tentu saja ia berani saat David tak sadarkan diri. Karena jika pria itu sadar, bisa-bisa Lily dibunuh karena telah berani meledaknya.
Lily tak kehabisan akal. Ia yang tidak tahu harus berbuat apa sekarang, memutuskan untuk menghubungi ibunya. Ia yakin jika sang bunda bisa memberikan solusi saat genting seperti ini.
"Hallo, assalamualaikum Bun!"
"Wa'alaikumsalam... anak bunda apa kabar? Sehat?" Suara nan lembut terdengar diujung telepon sana.
"Sehat, Bun. Bunda sendiri gimana?" tanya Lily berbasa-basi. Padahal ia sedikit panik, ia tak hentinya mengigit bibir bawahnya. Bingung harus diapakan pria yang kini terbaring tak sadarkan diri itu. Mana wajahnya babak belur, batin Lily bergidik melihat suaminya sendiri yang nampak kacau.
"Bunda sehat juga, Sayang. Ada apa? Kok sepertinya ada sesuatu yang penting?" Tanya Bunda penuh perhatian. Meskipun sebelumnya sangat kecewa pada Lily karena skandal buruk yang mencoreng nama baik keluarga mereka, tapi tentu saja rasa sayangnya terlambat besar pada anak semata wayangnya itu.
"Ini, Bun... Mas David..."
"Ehemmm, Mas? mesra sekali ciyee." Belum sempat Lily melanjutkan kalimatnya, sang Bunda malah meledeknya hingga membuat wanita itu tersipu malu. Apa sih bunda, hanya panggilan saja, gumamnya.
"Ish, Bunda, aku belum selesai bicara nih," ucap Lily. Ia memang tidak pernah mangadu pada kedua orang tuanya tentang sikap David yang kasar. Biarlah ini menjadi resiko yang harus ditanggungnya. Meskipun Lily sendiri merasa dunia tak adil padanya karena harus bersanding dengan pria kejam ini.
"Ya ada apa dengan Mas-mu itu, Sayang?" tanya Cantika sedikit meledek.
"Ehm... Mas David, dia... dia pingsan Bun. Saat pulang ke rumah, wajahnya babak belur."
"Hah, kok bisa?"
"Aku juga gak tahu kenapa, Bun? Saat aku tanya, dia malah ambruk dan sekarang aku sudah baringkan di kasur. Aku bingung, Bun. Aku harus ngapain sekarang?" tanya Lily sambil menatap David yang wajahnya terlihat memprihatinkan itu. Namun jujur saja, meksipun babak belur, tak mengurangi sedikit pun ketampanannya.
"Kamu minta bantuan saja pada orang di rumah suamimu."
"Ehm, itu dia masalahnya, Bun. Gak ada siapa-siapa di rumah. Makanya aku telepon Bunda," ujar Lily berbohong. Tidak mungkin jika bilang jika dirinya tak berani keluar kamar ini. Jujur saja ia masih takut dengan penghuni rumah ini, apalagi setelah tahu jika ternyata Ricardo juga tinggal disini. Ia merasa tinggal satu atap dengan teman kampusnya itu bukanlah pertanda baik.
Sejenak terasa hening. Cantika terdiam, seolah tidak percaya dengan ucapan putri semata wayangnya itu. Tidak mungkin jika rumah sebesar itu tak ada orang sama sekali.
Namun meski begitu, ia tak ingin mencurigai putrinya. Dengan pelan namun jelas, ia pun memberikan arahan apa saja yang harus Lily lakukan saat ini.
"Ehm... baiklah. Coba kamu pegang dahinya!" titah Bunda.
Lily menurut dan langsung menempelkan punggung tangannya di kening pria itu.
"Panas, Bun."
"Hemm... mungkin suamimu habis dihajar orang makanya bisa babak belur. Luka lebam itu juga yang membuat badannya demam," ujar Cantika.
"Lalu aku harus ngapain lagi, Bun?" tanya Lily sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Buka bajunya!"
"Apa? Ish, bunda... apa-apaan sih? Kok malah suruh buka baju." Wajah gadis itu langsung merah karena malu.
"Ya memang harus seperti itu. Ganti semua pakaiannya dan pakaikan baju yang nyaman. Sebelum itu, kamu lap tubuhnya dengan air hangat. Jika sudah selesai, kamu obati lukanya. Bersihkan dulu, jika ada luka menganga jangan lupa dikasih antiseptik lalu tutup menggunakan plaster. Kompres dahinya agar demamnya turun. Kalau suamimu sudah sadar, nanti berikan Paracetamol untuk penurun demam. Gimana, sudah jelas?"
Lily mendengarkan dengan seksama. Ia mengangguk paham. Sepertinya ini tidak terlalu sulit. Tapi apa iya dia harus membuka baju pria itu?
"Baiklah, Bun. Aku kerjakan dulu ya. Bunda harus standby. Nanti aku kalau gak ngerti pasti nelepon bunda lagi," ucapnya manja.
"Iya, iya sayang. Ya sudah, semoga berhasil ya!"
"Iya, Bun. Terima kasih banyak . Lily tutup dulu ya. Assalamualaikum..."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah panggilan itu berakhir, akhirnya Lily pun mulai melaksanakan apa yang diperintahkan oleh bundanya.
Pertama-tama Ia membuka sepatu dan kaos kaki yang dipakai David. Setelah itu, ia membuka satu persatu kancing kemeja suaminya. Lily memejamkan mata saat ia harus membuka celana pria itu. Meskipun mereka sudah pernah saling melihat tubuh masing-masing, namun rasanya ia sangat malu saat ini.
"Ya Allah, semoga mataku ini tidak dosa," ucap Lily ketika menyeka bagian demi bagian tubuh suaminya.
'Eh kenapa harus dosa? Dia kan suamiku?' Gumam Lily.
Selesai membasuh tubuh suaminya dengan air hangat, ia pun segera memakaikan pakaian baru yang Lily ambil dari dalam lemari. Piyama berwarna biru tua ia pilih dan langsung disematkan dengan susah payah.
Ya, tentu saja Lily sangat kesusahan mengingat tubuh besar suaminya. Ia sampai berkeringat saat memakaikan pakaian pada orang yang sedang tidak sadarkan diri itu. Perlu tenaga untuk memiringkan tubuh David ke kanan dan kiri saat memakaikan baju.
Dengan telaten, Lily mengobati luka-luka yang ada di tangan maupun wajah suaminya. Dalam hatinya bergumam, 'kenapa kau berkelahi? Seperti anak kecil saja.'
Namun kata-kata itu hanya mampu tertahan dalam hati. Tidak mungkin Lily berani berkomentar apapun pada pria itu, bisa-bisa Lily kena marah besar jika sampai David mendengar dirinya meruntuk.
Lily tersenyum ketika pekerjaannya selesai. Ia kompreskan kain yang sebelumnya dicelupkan pada air dingin di dahi suaminya. "Hufft... ternyata tidak terlalu sulit ya."
Cekrek.
Lily memotret David yang masih tidak sadarkan diri lalu ia kirim pada Ibundanya.
[Bun, sudah selesai. Tapi sampai kapan dia akan pingsan? Kalau gak bangun-bangun gimana?]
Pesan langsung terkirim dan terbaca berikut dengan foto yang menyertainya. Tak lama, pesan balasan pun masuk ke ponsel Lily.
[Waah, anak Bunda hebat. Good luck sayang]
[Tunggu saja sebentar lagi. Jika dalam satu jam belum juga bangun, langsung bawa ke rumah sakit saja ya. Khawatir ada luka dalam.]
Cantika memang selalu memuji anaknya dalam hal apapun. Bahkan saat terkena skandal kemarin saja, ia tidak langsung menghakimi Lily. Dirinya sangat menyayangi putri semata wayangnya itu. Ia juga merasa kehilangan karena kini Lily sudah tidak tinggal bersamanya lagi.
Lily tersenyum lebar membaca pesan tersebut. Ia pun memilih untuk menarik kursi pada meja rias lalu duduk di samping ranjang. Ia terus menatap suaminya, berharap pria itu segera bangun. Meskipun David selalu bersikap kejam, namun ketika seperti ini, Lily merasa tidak tega.
Waktu terus bergulir hingga Lily tak sadar dirinya ketiduran. Dirinya yang memang merasa kurang sehat membuat tubuhnya mudah lelah. Dahinya pun tak kalah panas. Lily demam, namun ia menahannya hingga tak terasa ia pun tertidur saat menjaga suaminya.
Tanpa disadari, beberapa menit yang lalu David akhirnya sadar. Ia mengernyit saat melihat sekelilingnya.
Saat ia duduk, kain di dahinya terjatuh. "Apa ini?"
Pria itu menatap Lily yang tidur di kursi samping ranjang ini. David meraba ujung kening dan dagu yang sudah tertutup perban. Ia juga melihat pakaiannya yang sudah berganti.
"Apa wanita ini yang melakukannya?" tanyanya dalam hati.
Ia hendak membangunkan Lily dengan kasar. Meskipun Lily sudah merawatnya, namun tetap saja David sangat membenci wanita itu.
Namun emosi itu mengendur tatkala ia tak sengaja menyentuh tangan Lily yang terulur di sampingnya.
"Panas sekali. Apa dia sakit?" Kini David yang memeriksa keadaan wanita itu. Ia tempelkan punggung tangannya di dahi istrinya. "Astaga panas sekali? Jadi dia merawatku padahal dia sedang sakit?"
**
Bersambung...